Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta selenggarakan Diskusi Publik “Kepolisian dalam Bayang-Bayang Penyiksaan” di Gedung YLBHI/LBH Jakarta (19/07). Diskusi tersebut diselenggarakan LBH Jakarta guna memaparkan hasil monitoring praktek penyiksaan yang diadukan ke LBH Jakarta sepanjang tahun 2013-2016. Dalam diskusi tersebut LBH Jakarta menghadirkan Ayu Eza Tiara (Peneliti LBH Jakarta), Poengky Indarty (Anggota Kompolnas), Critiantoro (Asian Human Rights Commission) dan Brigjen Pol Drs. Syaiful Zachri, M.M Irwil V Itwasum Polri sebagai pembicara.
Ayu Eza Tiara memulai diskusi publik ini dengan menjelaskan kenapa kepolisian menjadi fokus penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta. Menurutnya dari penelitian LBH Jakarta pada tahun 2008 dan 2012 menunjukan bahwa kepolisian menjadi aktor yang mendominasi praktek penyiksaan, untuk itu LBH Jakarta tertarik untuk mendalami praktek penyiksaan yang dilakukan lembaga tersebut. Pada penelitian kali ini, LBH Jakarta menemukan 37 pengaduan terkait praktek penyiksaan. Lebih lanjut, LBH Jakarta juga mendapati bahwa praktek penyiksaan tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa namun juga dirasakan oleh anak-anak.
“Penyiksaan tersebut bukan hanya melukai secara fisik, namun juga secara psikis, verbal dan seksual. Praktek penyiksaan tersebut mayoitas dilatar belakangi kepolisian untuk mengejar pengakuan dari seorang tersangka,” jelas Ayu Eza Tiara Pengacara Publik LBH Jakarta yang melakukan penelitian ini.
Dari pengaduan yang diterima LBH Jakarta tersebut sebanyak 17% atau 5 korban penyiksaan dilakukan oleh polisi yang tidak terindetifikasi. Sebanyak 15% atau 3 korban penyiksaan dilakukan oleh kepolisian pada tingkatan Polda. Sebanyak 26% atau 9 korban penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian pada tingkatan Polsek, dan sebanyak 44% atau 21 korban penyiksaan dilakukan oleh kepolisian pada tingkat Polres.
“Ironinya pihak kepolisian melakukan penyiksaan berada diberbagai tingkatan, baik pada tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) sampai dengan Kepolisian Daerah (Polda),” tambah Ayu.
Menanggapi temuan penelitian LBH Jakarta tersebut, Brigjen Pol Drs. Syaiful Zachri, M.M. menyampaikan permohonan maaf dari kepolisian atas kejadian penyiksaan yang dilakukan oleh polisi. Dalam pemaparannya, ia mengakui adanya kekurangan di kepolisian, untuk itu kepolisian masih terus melakukan revolusi mental.
“Sebenarnya Kepolisian sadar betul akan adanya kekurangan-kekurangan seperti perilaku koruptif, arogansi kekuasaan dan tindak kekerasan. Dan diharapkan revolusi mental yang sedang diupayakannya akan menghasilkan aparat yang tidak terkungkung dalam budaya buruk tersebut,” ujarnya merespon hasil penelitian.
Menurut Brigjen Pol Drs. Syaiful Zachri, M.M, beberapa aspek yang mengakibatkan terjadinya penyiksaan salah satunya adalah proses rekruitmen yang belum sempurna. Hal tersebut disadari oleh Polri mengingat pendidikan bagi tingkatan Bintara yang hanya 7 bulan, tekanan dari Pimpinan serta target waktu yang singkat dengan beban pembuktian yang harus ditemukan dan keterbatasan Polri sebagai manusia.
Poengky Indarti dari Kompolnas hadir mewakili badan pengawas eksternal kepolisian ini, menyarankan agar suatu tindak penyiksaan dapat segera ditindaklanjuti. Ia menekankan pada para peserta diskusi nahwa sebaiknya korban mengingat nama aparat kepolisian yang melakukan penyiksaan tersebut, ciri-ciri perawakannya serta waktu dan tempat penyiksaan terjadi. Menurutnya Hal tersebut akan mempermudah tim pengawas menemukan dan memproses aparat kepolisian yang melakukan praktek penyiksaan.
Sementara dari aspek perbandingan hukum dan HAM di beberapa negara Asia lain, Chrisbiantoro dari AHRC memberikan pandangannya terkait penyiksaan yang marak terjadi. Menurutnya, Penyiksaan tidak hanya terjadi di Indonesia atau oleh Kepolisian Indonesia, namun jumlah penyiksaan di luar negeri tidak sebanyak yang terjadi di Indonesia.
Setelah memaparkan beberapa contoh penyiksaan di berbagai negara seperti di India, Hongkong, Filipina dan lainnya, Chris mengungkapkan salah satu hal yang kerap memicu terjadinya penyiksaan adalah seringnya polisi melakukan penahanan sebelum peradilan dengan waktu yang terlalu lama.
“Segera lakukan reformasi KUHAP, dan membuka peluang pencari keadilan untuk mengakses hukum,” katanya menawarkan solusi.
Pada diskusi publik ini LBH Jakarta juga menghadirkan klien-klien LBH Jakarta yang pernah mengalami penyiksaan. Mereka bercerita tentang pengalamannya dalam mendapatkan perlakukan tidak manusiawi (penyiksaan) dari kepolsian serta kesulitan mereka dalam menuntut keadilan terhadap hal yang menimpanya.
Diskusi ini diselenggarakan juga untuk merespon Hari Internasional untuk Dukungan bagi Korban Penyiksaan yang jatuh setiap tanggal 26 Juni dan Peringatan Hari Bhayangkara yang jatuh setiap tanggal 1 Juli. Selain memonitoring praktek penyiksaan LBH Jakarta melalui momentum tersebut juga berharap agar kepolisian segera melakukan reformasi agar praktek-praktek penyiksaan tidak terjadi lagi.
Dalam kesempatan diskusi kali ini puluhan peserta hadir dan memenuhi ruang diskusi. Para peserta berasal dari beberapa kalangan, baik dari masyarakat umum, perwakilan Organisasi Bantuan Hukum hingga klien-klien LBH Jakarta korban penyiksaan dan salah tangkap. (Monik)