TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah pengamen Cipulir kemarin melakukan aksi unjuk rasa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka demo membela kawan-kawannya yang disidang karena dianggap melakukan pembunuhan.
“Mereka cuma korban salah tangkap, bukan pembunuh,” ujar Dusep, 18 tahun, salah satu kawan terdakwa saat ditemui di Cipulir, Jumat, 20 September 2013. Ia mengatakan saat kejadian, para terdakwa hanya mencoba menolong korban yang saat itu ditemui dalam kondisi luka parah.
“Jadi, waktu itu seseorang minta tolong baru dirampok motornya. Sudah banyak luka di leher dan perutnya ditusuk,” ujarnya. Para pengamen itu langsung melaporkan temuan mereka ke polisi dan puskesmas terdekat.
Sayangnya nyawa korban, Dicky Maulana, 16 tahun tak tertolong. Lebih nahas, dua dari enam pengamen yang ada di lokasi saat itu, yang dipanggil polisi sebagai saksi, tiba-tiba jadi tersangka. Mereka adalah Andro Yanto, 18 tahun, dan Nurdin, 23 tahun
“Jangan gitu Pak Polisi. Orang baik mau nolong orang malah dituduh yang enggak-enggak,” ujarnya. Tak hanya Andro dan Nurdin, empat pengamen lain yang saat itu menemukan korban juga dijadikan tersangka pengeroyokan. Mereka adalah AG, 14 tahun, MF, 13 tahun, BF dan FP, 16 tahun.
Kasus ini langsung mendapat sorotan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Mereka menganggap polisi melakukan salah tangkap terhadap keenam pengamen. Mereka juga menganggap ada indikasi pelaku dipaksa mengaku melakukan pembunuhan dan pengeroyokan saat diperiksa oleh polisi.
“Ada indikasi salah tangkap. Kami mencari tahu siapa pelaku sebenarnya,” ujar salah satu pengacara dari LBH Jakarta, Johannes Gea, saat dihubungi. Ia juga mengindikasikan terjadi penyiksaan saat terjadi penyidikan polisi terhadap keenam orang pengamen.
Pada 30 Juni 2013, 10 anak jalanan menemukan Dicky tergeletak tak berdaya di bawah jembatan Cipulir. Dicky yang ditemukan dalam kondisi penuh darah masih bisa cerita, ia baru dirampok.
Namun, akibat kondisi amat parah, Dicky hanya bisa bertahan 15 menit. Kejadian ini langsung dilaporkan ke Polsek Kebayoran Lama. Siang itu juga, polisi langsung memanggil ke-10 orang itu. Bahkan malamnya langsung dua di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya dengar banget pas mereka teriak-teriak,” ujar salah satu kawan korban, Indra, 16 tahun yang ikut diperiksa di Polda Metro Jaya. “Mereka dipukul dan disetrum,” ujarnya.
Dalam sidang kemarin, dua terdakwa didakwa Pasal 338 dan 170 KUHP tentang pembunuhan dan pengeroyokan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Mereka terancam hukuman maksimal 15 tahun.
Polisi membantah melakukan salah tangkap terhadap enam orang tersebut. Motif pembunuhan yang dilakukan keenamnya pun dianggap sudah jelas. “Mereka tidak senang dengan korban yang juga pengamen. Korban masih baru di sana, tapi dianggap belagu,” ujar juru bicara Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto. Korban lalu dihabisi oleh para pelaku di bawah jembatan Cipulir dalam keadaan mabuk.
Salah seorang penyidik di Unit V Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya membantah melakukan penyiksaan terhadap enam pelaku. “Mereka mengaku setelah dilakukan pendalaman atas keterangan mereka yang kami anggap janggal,” ujarnya.
Keterangan yang dinilai polisi janggal adalah soal korban disebut sudah sekarat, tapi masih bisa banyak bicara pada pengamen-pengamen itu. “Itu tidak masuk akal,” ujar penyidik. Polisi kemudian melakukan penyidikan dengan pemeriksaan lebih mendalam terhadap para pelaku. “Hasilnya ditemukan ada bercak darah korban di tubuh mereka,” ujarnya. Keenamnya pun mengakui perbuatannya dengan peran masing-masing.
Nurdin disebut sebagai otak pembunuhan itu dan menusuk perut korban dengan pisau lipat. Andro menusuk leher korban. FP membacok wajah korban dengan golok. Tiga tersangka lain AG, FP, dan BF memukuli dan memegangi korban agar tidak melawan. Keempat terdakwa di bawah umur ini juga dikenakan pasal yang sama dengan Andro dan Nurdin.