Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, aktivis, mahasiswa dan berbagai latar belakang mengecam keras proses kriminalisasi yang terus berjalan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia (HAM), Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Selama kurang lebih tujuh bulan sidang ini berlangsung, publik disuguhkan fenomena yang menempatkan aktivis dan pembela HAM sebagai musuh negara dan diperlakukan layaknya kriminal. Fatia dan Haris dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) masing-masing dengan tiga tahun enam bulan (3 tahun 6 bulan) dan empat tahun (4 tahun).
Kasus yang bermula pada penyampaian ekspresi lewat medium siniar (podcast) di youtube dengan membahas konflik bisnis pertambangan – kaitannya dengan penempatan militer yang berbasis riset berujung pada laporan polisi atas dugaan pencemaran nama baik. Pelapornya pun pejabat publik yakni Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Hal ini menunjukan watak kediktatoran dari pejabat publik yang menutup ruang diskusi akademik atas permasalahan HAM khususnya di Papua.
Kasus yang menimpa Fatia dan Haris tentu merupakan satu dari sekian banyak penggunaan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis (judicial harassment). Selama bertahun-tahun, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengandung pasal karet dan multitafsir sering dijadikan alat untuk mengkriminalisasi pendapat masyarakat di ruang digital. Terbaru, Dosen senior Fakultas Hukum Universitas Pakuan (FH Unpak), Bintatar Sinaga, pun menjadi korban, yakni resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) pada 3 November 2023 lalu. Alih-alih merevisi perangkat hukum ini lewat proses yang partisipatif dan menghilangkan pasal-pasal bermasalah, DPR RI bersama pemerintah justru telah menyetujui draf tanpa melibatkan publik secara maksimal.
Belakangan, situasi demokrasi di Indonesia terus saja memburuk, ditandai dengan penyempitan ruang kebebasan sipil dan masifnya bentuk-bentuk pembungkaman. Situasi ini diafirmasi lewat sejumlah indeks demokrasi, misalnya dari Economist Intelligence Unit (EIU), yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed demokrasi). Begitupun jika merujuk data dari Freedom House yang menunjukan penurunan angka kembali di tahun 2023 dengan 58/100. Adapun komponen signifikan yang menyebabkan rendahnya angka ini yakni civic space. Indonesia pun belum dapat memperbaiki situasi dengan keluar dari klasifikasi negara yang tergolong partly free.
Bukan tidak mungkin, memburuknya situasi demokrasi dan kebebasan sipil akan terus berlanjut, salah satunya jika Fatia dan Haris divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ekspresi yang disampaikan oleh Pembela HAM seperti Fatia dan Haris seharusnya diapresiasi dan dihormati karena merupakan pendapat sah serta konstitusional sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum HAM nasional maupun internasional dan sebagai bentuk untuk membantu Negara dalam pemajuan HAM.
Kasus Fatia dan Haris pun menjadi ‘alarm keras’ bagi demokrasi yang saat ini telah mengarah pada sistem pemerintahan otoritarian. Ragam serangan yang saat ini menimpa masyarakat sipil akan terus berlangsung secara sistematis dan meluas menyasar pada lintas sektor seperti lingkungan hidup, konflik agraria, sektor pendidikan. Maka, diperlukan solidaritas untuk melawan tindakan represif dan pembatasan eksesif yang berimplikasi secara signifikan terhadap ambruknya demokrasi.
Atas dasar uraian di atas kami mendesak:
Pertama, kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang mengadili dan memutus perkara kriminalisasi Fatia dan Haris untuk memutus bebas kedua aktivis tersebut dari segala Tuntutan Jaksa;
Kedua, aparat penegak hukum baik Kepolisian dan Kejaksaan untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi yang ditujukan kepada Pembela HAM, aktivis dan masyarakat sipil yang menyuarakan pendapatnya demi kepentingan umum;
Ketiga, pemerintah untuk menghentikan segala bentuk dan upaya pembungkaman terhadap masyarakat sipil yang aktif menyuarakan pendapat kritisnya.