Rabu, 27 Maret 2019, Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) 40 yang diadakan LBH Jakarta memasuki hari ketiga. Dalam sesi kali ini Materi Kalabahu diisi oleh Bivitri Susanti, Bivitri adalah salah satu pendiri PSHK dan juga dosen yang mengajar di Sekolah Hukum Jentera. Bibip, Sapaan akrabnya, mengisi materi Kalabahu dengan tema “Demokrasi dan Negara Hukum Indonesia Pasca 20 tahun Reformasi.
Sebelum menyampaikan materinya, Bibip mengajak peserta Kalabahu untuk menonton sebuah acara di salah satu stasiun televisi yang bernama Melawan Lupa, dengan judul “Kejayaan Semu Orde Baru”. Ruangan yang diisi sekitar 54 orang tersebut tiba-tiba hening, diam, antusias mendengarkan dan menonton tayangan tersebut.
Setelah menonton acara yang berdurasi 25 menit itu, Bibip bertanya kepada peserta, dengan pertanyaan, apa yang teman-teman sekalian ketahui dan pahami soal tayangan yang baru sama-sama kita tonton? Salah satu peserta tunjuk tangan dan mengatakan bahwa, yang barusan kita tonton adalah, “Sejarah dan keadaan masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter di bawah pimpinan Soeharto, dimana dengan kekuasaannya selama 32 tahun ia menimbun kekayaan hanya untuk diberikan kepada istri, anak dan kroni-kroninya”.
Peserta lain juga tak kalah antusias ikut berbicara, “Pergantian pemerintahan dalam perjalanan sejarah Kenegaraan Indonesia selalu meninggalkan berbagai jejak yang menjadi bahan pelajaran bagi pemerintahan yang berkuasa sesudahnya. Salah satu masa pemerintahan di masa lalu yang bisa menjadi cermin di masa kini adalah kisah kesuksesan pembangunan pada masa pemerintahan orde baru serat berbagai kelemahan yang meruntuhkan pencapaian-pencapaian yang pernah diraihnya”.
Masuk ke dalam materi pembahasan, Bivitri menjelaskan tiga model kekuasaan, yaitu Otokrasi, Oligarki dan Demokrasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, Otokrasi merupakan model kekuasaan yang dipegang hanya oleh satu orang. Celah terbesar dari model kekuasaan Otokrasi adalah, apabila orang yang memegang kekuasaan tersebut menjalankan kekuasaannya tidak sesuai dengan konstitusi, maka model kekuasaan seperti ini akan melahirkan sebuah tirani. Sementara Oligarki merupakan model kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang saja. Umumnya orang-orang tersebut memiliki kekayaan dan memiliki hubungan yang erat dengan kekuasaan.
“Bagaimana dengan Indonesia?” Bivitri kembali memantik para peserta Kalabahu 40 diujung penjelasannya.
Bibip kembali menjelaskan bahwa pasca Reformasi, Indonesia telah mengusung model kekuasaan Demokrasi. Akan tetapi, menurut Bibip, demokrasi di Indonesia saat ini masih memiliki celah yang cukup besar. Menurut Bibip, demokrasi di Indonesia masih merupakan demokrasi dipermukaan, namun secara substantif Indonesia belum menyentuh demokrasi itu sendiri.
“Apa yang disebut dengan Demokrasi Substantif? Demokrasi Substantif ialah di mana pengambilan keputusan benar-benar menggambarkan keinginan “demos”. Tetapi yang paling berbahaya adalah potensi adanya tirani yang dilakukan oleh mayoritas,” jelas Bibip.
Ada dua perbedaan antara Rule of Law dan Rechtsstaat, Rechtsstaat (tradisi civil law) menekankan unsur hak dan keadilan. Hukum kebanyakan mengacu pada konstitusi dan undang-undang (law of the state). Sementara itu, Rule of Law menitikberatkan pada kekuatan hukum untuk mengatur, hukum diartikan secara luas termasuk aturan yang dibuat oleh hakim (tradisi common law), tetapi diantara kedua ini intinya sama, yaitu pembatasan kekuasaan.
Sementara itu kalau kita lihat pernyataan Negara Hukum dalam konstitusi adalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (Rechsstaat), bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka (maachtstaat). Pasal 3 UUD mengatakan Negara Indonesia adalah negara hukum (perubahan ketiga).
Selanjutnya Bibip menjelaskan bahwa ada dua titik penting perubahan pasca 1998, yaitu 1998-1999 terjadinya pembukaan ruang demokrasi, setelah itu tahun 1999-2002 terjadinya amandemen UUD 1945.
Pembukaan ruang demokrasi 1998-1999 yaitu, aktor-aktor politik yang baru menggantikan Suharto memberikan ruang untuk demokratisasi dengan membatalkan seperangkat UU yang membatasi demokrasi dan membuat ketetapan-ketetapan MPR yang mengangkat tuntutan reformasi sebagai kebijakan politik. UU yang dibatalkan diantaranya: UU Subversi, Paket UU Politik, UU Pers dan lain-lain. Ketetapan MPR penting: penghapusan referendum, Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN, HAM, dan lain-lain.
Sementara itu Amandemen UUD 1999-2002 merupakan milestone penting untuk negara hukum karena masuknya pasal-pasal untuk melaksanakan negara hukum. Terjadinya perubahan struktur kenegaraan dan meratanya lembaga negara, setelah amandemen dan reformasi tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara.
Selanjutnya Bibip menjelaskan tantangan demokrasi dan negara hukum diantaranya, relasi kekuasaan yang menghasilkan Oligarki, dari kalangan masyarakat sipil sendiri: kelompok antidemokrasi, pendidikan yang gagal menanamkan etika politik (termasuk demokrasi dan negara hukum, disrupsi teknologi. Bagaimana menghadapinya? Bibip menjelaskan ada beberapa cara untuk menghadapi tantangan tersebut yaitu, “pentingnya advokasi masyarakat sipil, karena perubahan itu tidak akan diberikan tapi harus diperjuangkan, ada tiga alat untuk memperjuangkan itu, ruang buat masyarakat sipil, instrumen HAM dan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum yang sudah tertuang dan institusi yang ada”. Tutup Bibip. (Anggi)