Perjuangan buruh menolak PP no. 78 tahun 2015 tentang pengupahan melalui unjuk rasa dan mogok kerja merupakan tindakan konstitusional. Pemerintah diminta tidak menghalangi aksi demo buruh.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Maruli T Rajagukguk menyatakan, Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat (Tabur) siap memberikan pendampingan dan advokasi, sepanjang aksi-aksi mereka sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku. Menurutnya, PP Pengupahan adalah bukti pemerintah telah menabrak sejumlah undang undang. Mulai dari UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU no. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan UUD 1945.
“PP Pengupahan menyatakan, kenaikan upah ditentukan pemerintah. Ini jelas mendelegitimasi peran serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana sudah dijamin dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Selain itu, PP Pengupahan menyatakan upah ditentukan berdasarkan formula, bukan kebutuhan hidup layak berdasarkan amanat UU Ketenagakerjaan,” katanya.
Maruli menerangkan, UU Ketenagakerjaan dan UU no. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, juga menjamin hak buruh melakukan unjuk rasa dan mogok kerja. Bahkan, aksi-aksi buruh yang sah secara konstitusi dan dibenarkan undang-undang, tidak boleh dihalangi dan dilarang siapapun, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum serta pengusaha.
“Jika ada yang berusaha menghalangi aksi-aksi buruh yang sah, yang bersangkutan dapat diancam pidana penjara, sebagaimana dinyatakan Pasal 143 jo Pasal 185 UU Ketenagakerjaan dengan ancaman satu hingga empat tahun penjara dan atau/denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta,” paparnya.
Maruli juga menekankan, sah tidaknya mogok kerja buruh, ditentukan oleh Pengadilan Hubungan Industrial. “Makanya, pengusaha jangan sembarangan PHK buruhnya karena mogok kerja. Berdasarkan undang undang, konsekuensi mogok yang tidak sah hanya dianggap mangkir kerja dan sanksi pemotongan tunjangan,” katanya.
Selain itu, jika perusahaan berusaha menghalang-halangi aktivitas serikat buruh, bisa mengarah pada pemberangusan serikat buruh (union busting). “Buruh mengajarkan pada rakyat, ketika haknya terlanggar, harus lawan. Unjuk rasa dan mogok kerja ini adalah langkah mengingatkan pemerintah. Jangan ragu, ini hak konstitusional warga negara,” jelasnya.
Maruli menegaskan, dalam konstitusi, pemerintah harus tunduk pada kedaulatan rakyat, bukan rakyat yang tunduk pada pemerintah. Ketika pemerintah diduga melanggar konstitusi, perlawanan rakyat merupakan sesuatu yang wajar.
“Kita sebagai rakyat yang sadar hukum, harus mereview setiap kebijakan pemerintah yang menyimpang dari konstitusi,” tandasnya.
Sementara peneliti Imparsial Ardi Manto menegaskan, perlawanan rakyat dalam bentuk unjuk rasa dan mogok nasional telah dijamin dalam konstitusi. “Undang Undang Dasar menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, menjamin setiap warga dapat menyampaikan aspirasinya, dan tidak dapat dihalang-halangi, apalagi dengan tindakan represif,” katanya.
Menurutnya, pemerintah harus membuka ruang dialog terhadap aspirasi rakyat. Imparsial, lanjut Ardi, menyatakan menolak pelibatan TNI dalam menangani aksi-aksi buruh karena jelas bertentangan dengan UU TNI. “Tugas militer adalah untuk pertahanan, bukan untuk melawan rakyat. Jadi oknum TNI di kawasan-kawasan industri kami mohon ditarik segera,” tandasnya.
Direktur LBH Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) M Jamsari menambahkan, perlawanan buruh murni karena ingin menuntut upah layak. “Kalau PP Pengupahan ini berlaku, maka buruh akan dimiskinkan. Upah rendah akan membuat buruh kehilangan daya beli,” katanya.
Jamsari menyebutkan, korporasi-korporasi yang tamak telah mendekati pusat kekuasaan. Akibatnya, pemerintah melalui kebijakannya berusaha menindas buruh dengan mempertahankan rezim upah murah.
Sementara itu, pemerintah meminta kepada pekerja untuk menempuh jalur hukum dalam penolakannya terhadap PP No. 78/2015 tentang pengupahan. Yakni, dengan mengajukan judicial review PP tersebut ke Mahkamah Agung (MA), ketimbang melakukan penolakan dengan aksi turun jalan.
Hal ini disampaikan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang. Dia menjelaskan, penolakan apa pun yang dilakukan pekerja tidak akan mengubah keputusan pemerintah untuk mengimplementasikan regulasi tersebut.
Menurut Haiyani, satu-satunya pihak yang bisa membatalkan keputusan pemerintah adalah pengadilan.
Rencana buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) menggelar mogok nasional pada 24-27 November mendatang mulai menghadapi banyak tantangan. Di antaranya, tindakan represif aparat dan teror yang dialami beberapa pimpinan serikat buruh. Meski demikian, buruh menyatakan akan tetap menggelar mogok nasional dengan tuntutan agar pemerintah mencabut PP no. 78 tahun 2015 tentang pengupahan. (rmol.co)