Jakarta, 13 April 2016 – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Dekrit Rakyat, menggelar konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Dalam konferensi pers tersebut, koalisi Dekrit Rakyat menyampaikan bahwa tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta merupakan bentuk fasisme.
Dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 April 2016, Pemprov DKI Jakarta melakukan penggusuran terhadap warga yang tinggal di Jalan Akuarium, Pasar Ikan dan Luar Batang Penjaringan, Jakarta Utara. Dalam penggusuran tersebut, Pemprov DKI Jakarta mengerahkan aparat gabungan yang terdiri dari aparat kepolisian, satpol PP, dan TNI yang jumlahnya ribuan. Sebagai respon atas penggusuran yang marak dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut, organisasi dan tokoh masyarakat sipil yang tergabung dalam Dekrit Rakyat, mengecam tindakan penggusuran paksa tersebut.
Sri Palupi, yang merupakan salah satu peneliti senior dari Ecosoc Rights dan juga bagian dari koalisi masyarakat sipil Dekrit Rakyat, menyampaikan bahwa tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai bentuk fasisme terhadap masyarakat miskin kota di DKI Jakarta. “Pemprov DKI Jakarta fasis terhadap warga miskin DKI Jakarta”, ujar Sri Palupi. Menurut Sri Palupi, ada upaya yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk mengusir warga miskin di DKI Jakarta dengan melakukan penggusuran terhadap mereka.
Senada dengan Sri Palupi, Romo Benny Susetyo, juga menyampaikan bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sudah terlalu berlebihan dengan melibatkan aparat militer dalam setiap penggusuran di beberapa wilayah DKI Jakarta. “Pemprov DKI Jakarta sudah berlebihan dalam menggusur warga miskin DKI Jakarta dengan melibatkan aparat militer dalam setiap penggusuran di beberapa wilayah DKI Jakarta”, jelas Romo Benny. Lebih lanjut, Romo Benny juga menambahkan bahwa militer seharusnya tidak boleh digunakan untuk penggusuran dan harusnya kembali ke barak. “Militer harusnya kembali ke barak saja, jangan digunakan untuk menggusur warga”, tegas Romo Benny.
Terkait dengan penggunaan aparat militer, menurut penelitian LBH Jakarta dalam kasus penggusuran di DKI Jakarta, 57 % dari 113 kasus penggusuran di DKI Jakarta melibatkan aparat militer. Menanggapi hal tersebut, Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, S.H. menyampaikan bahwa tidak semestinya militer digunakan untuk menggusur warga. “Menurut UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, tugas dan fungsi utama TNI adalah untuk pertahanan dan keamanan, bukan untuk menggusur”, jelas Alghif.
Selain penggunaan aparat militer, Alghif juga menyampaikan bahwa sebanyak 84 % kasus penggusuran di DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta tidak pernah melakukan musyawarah yang tulus terhadap warga ketika melakukan penggusuran terhadap warga DKI Jakarta. “Pemprov DKI Jakarta langsung melakukan penggusuran dan jarang, bahkan tidak pernah mengajak warga untuk berdialog. Hal ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia”, tambah Alghif.
Untuk diketahui sebelumnya, menurut data penggusuran yang dihimpun oleh LBH Jakarta, LBH Jakarta menemukan ada 113 kasus penggusuran di DKI Jakarta pada tahun 2015 dan 67 % diantaranya dibiarkan tanpa ada solusi dengan jumlah korban sebanyak 8.145 KK dan 6.283 unit usaha yang terdampak.
Atas dasar tersebut, maka organisasi dan tokoh masyarakat sipil yang tergabung dalam Dekrit Rakyat mendesak dan menuntut Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan penggusuran paksa di DKI Jakarta dan memoratorium penggusuran di DKI Jakarta.
Jakarta, 13 April 2016
Dekrit Rakyat
Narahubung: Alghiffari Aqsa – 081280666410, Matthew Michele Lenggu – 085920641931