Salah satu perubahan yang timbul sebagai dampak gerakan reformasi 1998 adalah semakin lebar ruang kebebasan anggota masyarakat untuk mengemukakan pikiran dan berserikat. Setiap individu atau sekelompok orang dapat berkumpul, mengikatkan diri dalam sebuah ikatan kebersamaan, hingga menyatakan pendapatnya. Namun, gegap gempita warga mewujudkan kehendak berorganisasi mulai terusik di saat Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) lahir dan semakin menampakkan watak represif dalam setiap episode pembahasannya.
Sejak 2006, rangkaian tanggapan dan penyikapan terhadap RUU Ormas telah disuarakan oleh berbagai pihak, bergelombang dari segala penjuru, hingga kemudian berujung pada penolakan. Argumentasi yang tersaji tidak menyisakan lagi ruang kegentingan akan kehadiran UU Ormas.
Sidang paripurna DPR-RI tanggal 2 Juli 2013 telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menjadi undang-undang, walaupun selama pembahasannya telah mendapat penolakan yang keras dari masyarakat sipil. Masyarakat menilai bahwa UU Ormas merupakan sebuah langkah mundur dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. selain itu, UU Ormas juga dapat mengekang kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi di Indonesia, dimana kebebasan masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi tersebut merupakan sebuah keniscayaan dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi.
Paradigma UU Ormas juga telah meletakkan masyarakat sipil sebagai ancaman terhadap pemerintah, sehingga masyarakat sipil ditempatkan sebagai objek yang harus diatur, diawasi, dan ditertibkan. Di negara demokrasi, masyarakat sipil lah yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, bukan sebaliknya. Negara selayaknya tidak terlalu jauh melakukan kontrol dan pengawasan terhadap organisasi masyarakat sipil, sebaliknya negara harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam mengontrol kekuasaan pemerintah melalui berbagai wadah organisasi.
Alasan pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol dan menertibkan organisasi-organisasi masyarakat yang selama ini kerap melakukan kekerasan dan pengerusakan melalui UU Ormas ini jelas sangat keliru dan mengada-ada. Persoalan kekerasan yang selama ini kerap dilakukan oleh ormas-ormas tertentu tersebut bukan merupakan persoalan normatif akibat kekosongan hukum, melainkan persoalan empirik atau problem penegakan hukum yang bertumpu pada kinerja aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum sebenarnya telah dapat menjangkau perbuatan tersebut dengan aturan yang sudah ada, seperti KUHP, UU terorisme, UU pendanaan terorisme, UU tentang pencucian uang, dll, sehingga hukum itu menjadi tegak dan berwibawa.
Selain bertentangan dengan konstitusi, UU Ormas juga telah menabrak aturan yang sudah ada, sehingga terjadi tumpang tindih aturan yang bersifat normatif dalam peraturan perundang-undangan, seperti terhadap UU Yayasan dan aturan hukum tentang perkumpulan. Jika pemerintah merasa aturan tentang perkumpulan ataupun yayasan sudah tidak dapat menjawab persoalan hukum kekinian maka selayaknya aturan tersebutlah yang diperbaharui atau disempurnakan, bukan dengan membuat aturan yang bersifat multi-tafsir seperti UU Ormas ini.
Kami menilai bahwa UU Ormas ini merupakan warisan hukum yang bersifat represif jaman rezim Orde Baru. Rezim Orde Baru menggunakan UU No 8 tahun 1985 tentang Ormas sebagai alat untuk mengontrol organisasi masyarakat sipil dan membungkam suara-suara dan kritik dari masyarakat. Maka kami menyimpulkan bahwa UU Ormas ini hanya akan melanggengkan budaya pemerintahan yang anti-kritik, feodal, represif, dan otoritarian. Pemerintahan yang demokratis tidak boleh antipati dan merasa terganggu dengan kritik dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Belum diberlakukannya UU Ormas ini saja, telah banyak terjadi kriminalisasi dan pembungkaman terhadap kelompok masyarakat yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Contoh terbaru adalah kriminalisasi terhadap aktifis anti-korupsi ICW. Beberapa anggota DPR-RI yang diindikasikan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia melaporkan aktifis ICW atas pencemaran nama baik ke Kepolisian. Hal ini tentu akan menjadi lebih berbahaya jika pasal-pasal karet yang bersifat multi-tafsir dalam UU Ormas ini nantinya diberlakukan, tentunya akan menjadi ancaman serius bagi suara-suara kritis masyarakat sipil. Maka dengan ini, kami yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak UU Ormas menyatakan untuk tidak tunduk dan patuh terhadap UU Ormas ini, dan kami juga telah siap untuk menghadapi apapun konsekwensinya.
GERAKAN MASYARAKAT TOLAK UU ORMAS
(Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Imparsial, Indonesian Corruption Watch (ICW), Yappika, KontraS, Walhi, LBH Jakarta, Elsam, Institut Perempuan, Wahid Institute, Falun Gong Indonesia, Greenpeace Indonesia, Arus Pelangi, PBHI, HRWG, Indonesian Police Watch, Setara Institute, PSHK, TURC, JSKK, Kasum, ILR, The Ridep Institute, Transparency International, Infid, KRHN, LBH Masyarakat, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Buruh Migran Indonesia, Pewarta, Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Forum Asia, Aliansi Tenaga Kerja Indonesia, PPR, KPO-PRP, Indies, GSBI, Yayasan WWF Indonesia, Perempuan Mahardika, Politik Rakyat, Pembebasan, National Papua Solidarity, Urban Poor Consortium (UPC), R. Valentina Sagala, S.E., S.H., M.H. (Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM), Konsil LSM, Liga Mahasiswa Nasional untuk demokrasi (LMND) dan lain-lain)