PRESS RELEASE
No. 819/SK-RILIS/IV/2016
Lagi-lagi Itikad Baik Pemerintah terhadap Papua Dipertanyakan
(Jakarta, 15 April 2016) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keras penangkapan sistematis menjelang aksi serta ketika aksi sedang berlangsung serentak di berbagai wilayah di Papua pada tanggal 13 April 2016. Aksi yang dipimpin oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tersebut diikuti oleh sekitar 5.000 orang rakyat Papua tersebut dalam rangka mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULWMP) bisa diterima menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG).
“Kami memang sudah menduga bahwa aparat keamanan akan represif di Papua menjelang aksi besar-besaran tanggal 13 April itu. KNPB adalah organisasi di Papua yang paling dikriminalisasi secara sistematis saat ini. Makanya sehari sebelumnya kami bersama dengan 47 organ lain dari berbagai elemen, dari mahasiswa sampai kaum buruh, sudah bersolidaritas dengan memberikan pernyataan sikap kami supaya aparat jangan represif. Terbukti kan. Kami mengantongi semua nama 61 orang yang ditangkap tersebut,” ujar Alghiffari Aqsa, direktur LBH Jakarta.
LBH Jakarta mencatat bahwa terjadi penangkapan terhadap 15 orang di Timika pada tanggal 5 April 2016, 6 orang di Yahukimo dan 15 orang di Kaimana pada tanggal 12 April 2016; serta pada 13 orang di Merauke, 3 orang di Sorong, dan 11 orang di Jayapura pada tanggal 13 April 2016.
Selain penangkapan, orang Papua yang ditangkap tersebut juga ada yang sempat ditelanjangi, dipukuli dengan popor senjata, ditendang, dan dijemur. “Memang sekarang mereka yang ditangkap sudah dilepaskan, kecuali masih ada dua yang ditahan di Timika. Salah satunya dikenakan pasal makar padahal yang bersangkutan hanya sedang memimpin ibadah di halaman gereja mendukung ULWMP,” terang Veronica Koman, pengacara publik LBH Jakarta.
Selain itu, LBH Jakarta juga sedang menyelidiki adanya dugaan kuat penyiksaan yang terjadi di Dekai, Yahukimo. “Kami menerima laporan bahwa 6 orang yang sempat ditangkap dipukul kepalanya dengan palu, wajah ditendang dengan sepatu lars, disuruh merayap dan makan tanah, digebuki hingga berdarah-darah dan muka bengkak di dalam sel, serta disuruh menyanyi Indonesia Raya dan makan uang yang ada di saku. Kejadian ini melanggar konstitusi pasal 28I, Konvensi Anti Penyiksaan, dan KUHP pasal 351. Untuk itu, Mabes Polri khususnya Bareskrim dan Propam harus mengusut hal ini. Pelaku penyiksaan, meskipun aparat penegak hukum, harus dihukum,” tegas Veronica.
Penangkapan tersebut sudah dimulai sejak sehari sebelum aksi yang mana dilakukan untuk mencegah dilakukannya aksi. Pasal yang digunakan untuk penangkapan sehari sebelum aksi juga sangat tidak jelas dan mengada-ada. Di Yahukimo dan Merauke, polisi tidak bisa menerangkan pasal apa yang dipakai untuk penangkapan. Di Kaimana, polisi bilang penangkapan dilakukan karena kegiatan tidak ada ijin polisi. Narasumber LBH Jakarta di Kaimana mengatakan, “Kami sedang rapat internal persiapan aksi di dalam kantor kami sendiri kok, untuk apa kami perlu ijin?”
Lebih lanjut lagi, polisi juga menghadang massa aksi dan melakukan penangkapan ketika sedang aksi. Polisi juga sempat menghancurkan kaca mobil komando di Jayapura, namun massa aksi tidak terprovokasi dan melanjutkan aksi damai mereka.
“Rangkaian kejadian dalam 9 hari ini kembali menunjukkan bahwa belum ada perubahan sikap pemerintah terhadap Papua, masih sangat represif. Hak konstitusional atas kebebasan berekspresi dan berpendapat lagi-lagi dicederai. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekerasan,” tegas Alghiffari.
Untuk itu, LBH Jakarta menuntut kepada Jokowi untuk menindak Kapolri dan Kapolda Papua yang telah mencoreng hak konstitusional rakyat Papua, serta memerintahkan mereka untuk segera melepaskan Yus Wenda dan Steven Itlay yang masih ditahan di Timika.
“Kami serukan kepada rakyat Papua bahwa kalian tidak sendiri. Teruskan aspirasi kalian!” tutup Alghiffari.
Hormat kami,
LBH Jakarta
Kontak: Veronica (08170941833), Alghiffari (081280666410)