KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP
Pada 20 Maret 2025i, Komisi III DPR RI menggelar konferensi pers terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam agenda pertama, Komisi III mengumumkan penerimaan surat presiden (surpres) yang menunjuk dua wakil pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan Menteri Sekretaris Negara, untuk membahas RUU KUHAP. Selain itu, agenda konferensi pers Komisi III menginformasikan bahwa draft dan naskah akademik RUU KUHAP ini sudah dipublikasikan melalui website resmi DPR berikut: https://www.dpr.go.id/kegiatan-dpr/fungsi-dpr/fungsi-legislasi/prolegnas-periodik/detail/632.
Lebih lanjut, dalam konferensi pers tersebut, Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa RUU KUHAP yang sedang dibahas tidak akan mengubah wewenang aparat penegak hukum, sama seperti KUHAP yang berlaku saat ini. Namun setelah mencermati draft tersebut, kami menilai bahwa terdapat sejumlah masalah mendasar yang bertentangan dengan klaim yang disampaikan dalam konferensi pers. Kami memberikan catatan setidaknya terhadap 5 (lima) poin yang disampaikan, yaitu:
- DPR Klaim RUU KUHAP akan Mencegah Penyiksaan dengan Menjamin Perekaman CCTV pada Pemeriksaan dan Penahanan
Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP menyebut pemeriksaan tersangka dilakukan dengan direkam CCTV, yang dapat menjadi alat pencegah kekerasan dan penyiksaan, tapi tidak wajib. Ketentuan ini memberikan celah besar terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, yang seharusnya dilindungi secara tegas. Selain itu, dalam pasal tersebut juga tidak disebutkan adanya kewajiban untuk pemasangan CCTV di tempat penahanan. Permasalahan lainnya ditemukan pada Pasal 31 ayat (3) RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa rekaman kamera pengawas berada dalam penguasaan
Penyidik. Untuk tujuan checks and balances, kamera pengawas seharusnya dikelola oleh lembaga lain, terutama lembaga yang tidak terlibat pada perkara seperti rutan Ditjenpas misalnya. Sebab rekaman tersebut merupakan bukti yang harus bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika membutuhkan. Yang jelas jangan sampai rekamannya dikuasai hanya oleh penyidik, dan tanpa pengawasan. Kami juga mencatat bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (4) RUU KUHAP, tersangka/terdakwa atas permintaan Hakim juga bisa mengakses atau menggunakan rekaman kamera pengawas tersebut untuk kepentingannya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Namun, RUU KUHAP tidak mengatur lebih lanjut terkait mekanisme yang jelas bagaimana pemberian akses rekaman ini. Oleh karena akses ini penting untuk menjamin hak tersangka/terdakwa dalam melakukan pembelaan, maka alur mekanisme pemberian akses tersebut wajib diatur dalam undang-undang. Di sisi lain, masalah penyiksaan dan kekerasan harus dicegah secara sistem melalui check and balances sejak awal penangkapan dan penahanan. Sistem check and balances ini harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan imparsial yakni pengadilan. Sedangkan dalam RUU KUHAP masih belum ada mekanisme yang mengatur kewajiban untuk menghadirkan orang yang ditangkap agar secara otomatis dibawa ke hadapan hakim setelah misalnya 1x 24 jam ditangkap, untuk ditinjau proses penangkapan yang telah dilakukan dan kemudian ditentukan perlu tidaknya penahanan. - DPR Klaim RUU KUHAP Akan Melindungi Hak Kelompok Rentan yang Diatur
dalam Bab Khusus
Hak-hak kelompok rentan dicantumkan dalam Pasal 137-139 RUU KUHAP tanpa adanya mekanisme operasional yang jelas dalam mengatur bagaimana hak-hak tersebut dapat diakses dan dipenuhi. Masalah yang sama juga ditemukan pada ketentuan soal hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban. Ini bukan hanya sekadar kekurangan, tetapi sebuah pengabaian terhadap kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dapat diakses dan dinikmati secara nyata. Selain itu, tidak jelas pihak mana yang dibebankan kewajiban atas pemenuhan hak-hak tersebut. Forum untuk mengajukan keberatan atas dugaan pelanggaran hak hingga konsekuensi pelanggaran hak juga masih belum diatur. Tanpa adanya langkah konkret, pencantuman hak-hak ini hanya akan menjadi simbol kosong. - DPR Klaim RUU KUHAP akan Memperkuat Peran Advokat
Sistem peradilan Indonesia mendudukan advokat sebagai pengemban profesi luhur (officum nobile) yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum. Namun dalam praktik, Advokat masih memiliki sejumlah hambatan, misalnya dalam hal mengakses alat bukti maupun berkas-berkas perkara yang menjadi kebutuhan mendasar untuk kepentingan pembelaan maupun upaya hukum. Ketidakseimbangan dalam proses peradilan sebenarnya sudah terjadi sejak tahap penyidikan. Pasal 33 RUU KUHAP mengatur bahwa pada pemeriksaan Tersangka di tahap penyidikan, Advokat hanya dapat melihat dan mendengar saja, serta menyatakan keberatan jika pertanyaan penyidik bersifat mengintimidasi dan menjerat.
Peran Advokat yang lemah tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengumpulan konstruksi fakta yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Padahal, BAP pada praktiknya selalu digunakan sebagai dasar pemeriksaan, tak terkecuali pada pemeriksaan di persidangan, bahkan hingga tingkat upaya hukum. Oleh karena itu, peran Advokat seharusnya bisa diperkuat salah satunya dengan
memberikan kewenangan kepada Advokat untuk memberikan catatan/pandangan advokat terkait proses pemeriksaan kliennya, yang nantinya akan disatukan atau termuat dalam BAP dan berkas perkara. Di sisi lain, terdapat beberapa ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip keberimbangan dalam pembuktian di persidangan, antara lain Pasal 197 ayat (10) RUU KUHAP, yang menyatakan “Setelah pemeriksaan Terdakwa, Penuntut Umum
dapat memanggil Saksi atau Ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari Advokat selama persidangan”. Sedangkan terdakwa dan penasihat hukumnya tidak diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan penyanggahan lebih lanjut. Sistem adversarial memang memungkinkan para pihak dapat saling menyanggah, namun secara prinsip harus tetap berimbang. Kebebasan advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya juga dibatasi dalam RUU KUHAP ini. Dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP, advokat bahkan dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya. Rumusan pasal ini jelas bertentangan dengan berbagai ketentuan yang menjamin status advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana telah diatur dalam UU Advokat. Ketentuan ini juga menjadi ancaman bagi peran advokat
dalam melaksanakan peran non litigasi termasuk peran pemberi bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum di luar pengadilan. Terlebih, hal ini juga merupakan bentuk pembatasan terhadap hak berpendapat dan berekspresi. Selain itu, klaim mengenai penguatan peran advokat dalam RUU KUHAP kami nilai masih belum memadai karena tidak sejalan dengan jaminan yang layak terkait hak atas bantuan hukum. Hal tersebut justru mengakomodasi pola pelanggaran hak atas bantuan hukum yang terjadi selama ini. Dalam Pasal 146 ayat (4) dan (5) RUU KUHAP, tersangka/terdakwa tidak didampingi oleh seorang advokat apabila menyatakan menolak didampingi, dibuktikan dengan berita acara yang dibuat pejabat yang berwenang sesuai tahapan pemeriksaan. Rumusan pasal yang demikian justru melegitimasi modus pelanggaran hak tersangka/terdakwa yang selama ini sering terjadi, yaitu seperti tersangka/terdakwa diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Berita Acara Kesediaan Diperiksa tanpa Didampingi Pengacara. Dalam praktiknya, tersangka/terdakwa menandatanganinya dengan berbagai alasan, seperti: 1) dipaksa dan/atau disiksa untuk menandatangani; 2) dijanjikan kasusnya akan cepat selesai atau akan dilepaskan, dan 3) dimanipulasi bahwa penggunaan penasihat hukum akan
mengeluarkan biaya yang besar. Modus tersebut semakin parah dampaknya karena dalam RUU KUHAP tidak memuat konsekuensi hukum apabila hak atas bantuan hukum tidak dipenuhi.
Ketentuan Pasal 146 ayat (4) RUU KUHAP juga membuka ruang ketiadaan pendampingan Penasihat Hukum terhadap Tersangka/Terdakwa yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih, serta yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih tetapi tidak mampu dan tidak mempunyai Advokat sendiri – jika Tersangka/Terdakwa menolak. Mahkamah Agung melalui Rumusan Kamar Nomor PIDANA UMUM/B.8/SEMA 7 2012, memang menyatakan bahwa terdakwa yang tidak - DPR Klaim RUU KUHAP Mengatur Syarat Penahanan yang Tidak Ditentukan Secara Subyektif Oleh Penyidik
Syarat penahanan diatur dalam Pasal 93 ayat (5) dengan list alasan penahanan yang lebih banyak. Sebelumnya KUHAP hanya mengatur 3 alasan seseorang dapat ditahan, sekarang RUU KUHAP mengatur 9 alasan penahanan. Namun alasan penahanan di RUU KUHAP justru sangat karet, antara lain: memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan, tidak bekerja sama dalam pemeriksaan,
dan menghambat proses pemeriksaan. Apa yang dimaksud dengan menghambat proses pemeriksaan? tidak jelas. Pada akhirnya penyidik malah menafsirkannya secara subjektif, misal pada praktiknya selama ini penyidik merasa tersangka yang
meminta penasihat hukum telah menghambat proses pemeriksaan. Alasan penahanan berupa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat
pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum acara pidana yang memberikan hak ingkar bagi tersangka/terdakwa. Hal tersebut tidak dapat menjadi dasar melakukan penahanan yang harus berdasarkan keadaan objektif, apabila penahanan tidak
dilakukan pemeriksaan akan terhambat. Kriteria/indikator pemenuhan tindakan-tindakan sebagai alasan penahanan dalam
RUU KUHAP tidak ditentukan. Padahal masalah utama dari praktik pengambilan keputusan penahanan selama ini salah satunya bersumber dari tidak adanya standar yang jelas dalam melakukan penahanan. Kemudian pengambilan keputusan penahanan saat ini hanya dari Aparat Penegak Hukum yang melakukan pemeriksaan itu sendiri, bukan hakim pemeriksa yang bebas dari kepentingan penegakan hukum. Selain itu, tidak ada kewajiban untuk menjelaskan penilaian berdasarkan keadaan faktual yang membuktikan syarat-syarat penahanan tersebut. Dengan demikian, RUU
KUHAP bukan hanya tidak menjawab masalah-masalah yang terjadi selama ini, malah semakin membuat kabur pengaturan penahanan. - DPR Klaim RUU KUHAP akan Memaksimalkan Restorative Justice (RJ) Karena Diatur dalam Bab Khusus
Kami mempertanyakan, bagaimana RUU KUHAP memaksimalkan restorative justice (bertujuan memulihkan korban) apabila konsep RJ yang diatur dalam draf itu keliru. RJ merupakan pendekatan dalam menangani perkara pidana yang bertujuan memulihkan korban, seperti dengan pemberian ganti rugi pengobatan luka fisik dan psikologi, pelibatan korban dalam Mediasi Penal untuk menyampaikan kerugian dan
kebutuhan pemulihannya. Namun RUU KUHAP hingga kini masih keliru mengira RJ merupakan penghentian perkara di luar persidangan (Diversi). Padahal RJ dan Diversi adalah dua barang yang berbeda. Tak berhenti di situ, dalam menyusun pasal-pasal Diversi pun RUU KUHAP masih
salah memahami apa itu penyelesaian perkara di luar persidangan (Diversi). Penuntut umum bisa menangguhkan tuntutannya pada perkara yang ringan bila tersangka mau memenuhi kewajibannya melakukan hal tertentu, misalnya jika membayar ganti rugi kepada korban. Pasal 74-83 RUU KUHAP yang mengatur RJ dilakukan oleh penyidik Polisi menjadi tidak masuk akal, karena urusan penangguhan tuntutan adalah wewenang penuntut umum.
Lebih tidak masuk akal, penghentian perkara dilakukan pada tahap penyelidikan, yang bahkan masih belum tau apakah ada tindak pidana atau tidak. Anehnya, RUU KUHAP memberikan wewenang penuh mekanisme Diversi pada penyelidik dan penyidik Kepolisian. Sama sekali tidak ada pengawasan lembaga lain, sangat problematis dan tidak akuntabel. Tanpa kepastian akuntabilitas, proses ini berisiko menjadi alat untuk
mengabaikan keadilan bahkan pemerasan. Sama seperti yang terjadi selama ini, Kepolisian justru mengintimidasi korban agar mau berdamai.
Berdasarkan catatan di atas, kami mendesak agar RUU KUHAP ke depan secara substansial harus mampu memperbaiki kerangka dasar sistem peradilan pidana. Hal ini dapat diwujudkan dengan penyusunan DIM di Pemerintah yang harus merespons permasalahan dalam RUU
KUHAP sebagaimana dijelaskan di atas. Klaim DPR bahwa RUU KUHAP memuat berbagai kebaruan ternyata omong kosong belaka dan justru problematik. RUU ini harus menjadi rekodifikasi hukum acara pidana yang berlandaskan pada prinsip due process of law dan penguatan hak asasi manusia.Jakarta, 21 Maret 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP:
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
PBHI Nasional
KontraS
AJI Indonesia
AJI Jakarta
Aksi Keadilan
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Koalisi Reformasi Kepolisian
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
LBH Masyarakat
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
Imparsial
Perhimpunan Jiwa Sehat
LBH APIK Jakarta
Themis Indonesia
PIL-Net
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)