Catatan Tahunan atau Catahu LBH Jakarta pertama kali disusun tahun 1972, satu tahun pasca LBH Jakarta memulai pelayanannya pada 1 April 1971. LBH Jakarta selalu berusaha menyampaikan kerja-kerjanya kepada publik, sebagai bentuk dari akuntabilitas, serta pertanggungjawaban kepada publik. Catahu ini juga dimaksudkan memiliki daya advokasi dengan menjadikannya sebagai upaya pendokumentasian kasus-kasus pelanggaran HAM, tidak hanya sebatas yang ditangani oleh LBH Jakarta, namun juga melingkupi peristiwa pelanggaran HAM yang secara masif terjadi dalam skala nasional.
LBH Jakarta sebagai satu kesatuan dengan 16 LBH kantor lainnya di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi yang terdepan dalam kerja kerja pendokumentasian. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum (PDBH) yang hanya dimiliki oleh LBH Jakarta. Persistensi dan konsistensi sejak awal pendiriannya dalam mengerjakan pendokumentasian membuahkan hasil yang tak dapat dipungkiri memiliki dampak penting dalam pembangunan peradaban advokasi Bantuan Hukum Struktural (BHS) YLBHI.
Seperti visi-misinya, Bantuan Hukum Struktural yang dikerjakan oleh LBH Jakarta pada akhirnya selalu bermuara pada harmonisasi dengan gerak langkah elemen masyarakat sipil lainnya baik yang berada di Jabodetabeka (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang), maupun di berbagai wilayah lainnya di seluruh Indonesia. Inilah yang terus menerus diperjuangkan dibalik segala advokasi LBH Jakarta, yang pada tahun 2024 ini dipercaya oleh 6,887 orang Pencari Keadilan, yang masuk melalui 548 pengaduan sejak November 2023 sampai Oktober 2024.
Kelesuan situasi dan kondisi ekonomi global yang berdampak pada level nasional selama setahun belakangan ini seolah tergambar dari pengaduan-pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta. Rekapitulasi pengolahan data LBH Jakarta menggambarkan bahwa Hak Asasi Manusia yang paling terdampak sepanjang setahun belakangan didominasi oleh pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) secara umum sebanyak 324 kasus. Sejalan dengan prinsip HAM, saling berhubungan i (interrelated), pelanggaran hak ekosob ini diikuti oleh pelanggaran hak sipil, politik dan individual sebanyak 252 kasus, dan 152 kasus terkait hak perlindungan kelompok khusus. Bukan kebetulan pula, di tahun ini layanan bantuan hukum LBH Jakarta paling banyak diakses oleh para pencari keadilan yang belum/tidak bekerja sebanyak 172 orang, serta pencari keadilan yang berprofesi sebagai karyawan swasta sebanyak 140 orang. Media online Kompas pada akhir September mencatat bahwa pada gelombang PHK besar-besaran yang dialami oleh para buruh, DKI Jakarta menjadi salah satu wilayah dengan jumlah PHK tertinggi, yakni sebanyak 7.469 kasus. Tentunya konteks ini berpengaruh besar pada kualitas penikmatan hak asasi manusia, terkhusus hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Belum lagi jika kita mencermati jumlah kasus yang masuk dari empat kategorisasi fokus isu LBH Jakarta, perkotaan dan masyarakat urban sebanyak 123 kasus, perburuhan sebanyak 96 kasus, peradilan yang adil (fair trial)sebanyak 39 kasus, dan kelompok minoritas dan rentan sebanyak 51 kasus. Dua fokus isu tertinggi memang lekat dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Di isu perkotaan dan masyarakat urban, kasus pinjaman online (pinjol) sebanyak 38 kasus, konflik agraria sebanyak 23 kasus, dan pelayanan publik sebanyak 23 kasus menjadi yang paling dominan. Sedangkan di isu perburuhan kasus PHK sebanyak 36 kasus menempati urutan pertama, dilanjutkan dengan persoalan hubungan kerja lainnya dan pemenuhan hak-hak normatif. Di sisi lain kekerasan berbasis gender masih terus juga marak dengan terdokumentasinya 35 kasus pengaduan yang masuk, yang terdiri atas kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Kekerasan terhadap Perempuan, pelabelan (stigma), dan subordinasi.
Data memang memiliki banyak keterbatasan, namun melalui data kita ditolong untuk dapat melihat symptom atau gejala yang sedang terjadi. Refleksi menjadi satu sisi mata uang yang tak dapat dilepaskan dari rangkaian aksi advokasi yang dikerjakan. Gabungan data dan refleksi advokasi menjadi satu kesatuan kekuatan solid dalam membaca situasi yang sedang terjadi, serta memprediksi masa depan. Seluruh data dan refleksi yang disajikan dalam Catahu LBH Jakarta 2024 ini merupakan upaya saleh dan tekun para PBH LBH Jakarta dalam terus memprediksi serta merumuskan langkah gerak strategis di tengah berbagai tantangan eksternal maupun internal yang juga mewarnai. Kekeliruan mungkin saja terjadi, namun konsistensi pada nilai dan keberpihakan pada masyarakat miskin, buta hukum dan tertindas adalah sebuah keniscayaan yang akan terus dihidupi.
2024 menjadi tahun yang tidak mudah bukan hanya bagi advokasi publik yang dikerjakan LBH Jakarta bersama jejaring masyarakat sipil lainnya. LBH Jakarta sendiri secara internal juga mengalami krisis multidimensi (krisis kader, krisis keuangan, krisis manajerial, dan krisis kepemimpinan). Namun krisis ini tidak didiamkan, LBH Jakarta bersama dengan Pengurus (satu kesatuan YLBHI)menyusun strategi untuk keluar dari krisis dan membangun kekuatan baru. Pada ii akhir 2024 ini dan melalui diluncurkannya Catahu LBH Jakarta 2024, para PBH LBH Jakarta, beserta kekuatan baru yang diberikan oleh ke-7 orang Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta membuktikan bahwa mereka bukan hanya mampu, tetapi juga tangguh menghadapi badai krisis yang menerpa. Melambat sejenak namun tidak berhenti. Bahkan mundur satu langkah untuk dapat memantapkan langkah langkah berikutnya yang akan lebih jauh dan panjang ditempuh. Pilihan itu lah yang diambil. Suka duka menjadi torehan yang mengukir tiang-tiang penyanggah baru yang ditancapkan, dengan disertai beribu harapan untuk menjadi lebih baik di waktu waktu ke depan.