Jumat, 15 Desember 2023, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meluncurkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2023. Tahun ini, LBH Jakarta mengangkat tajuk “Jalan Asa Demokrasi di Negara Oligarki” dengan dilatarbelakangi oleh kondisi demokrasi di tengah cengkraman oligarki, yang semakin kacau terlebih menjelang tahun politik 2024.
Dua periode Presiden Jokowi telah nyata membawa demokrasi mundur ke era yang lebih culas ketimbang keterang-terangan rezim orde baru. Melalui berbagai kebijakan pembangunan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan keberlanjutan lingkungan, maupun pasal-pasal karet dalam KUHP dan UU ITE, rezim ini berhasil merampas ruang hidup rakyat, serta berhasil merampas kemerdekaan berekspresi, berpikir, berpendapat, dan berorganisasi, ruang sipil pun semakin menyempit (shrinking civic space).
(Warisan) Di Ujung Masa Jabatan Jokowi
Salah satu ciri yang mencolok sekaligus warisan di ujung masa pemerintahan Jokowi adalah adanya regulasi-regulasi anti demokrasi. Hal tersebut ditandai dengan proses legislasi yang mengabaikan prinsip partisipasi warga secara bermakna (meaningful participation) sekaligus substansinya yang melenceng jauh dari kepentingan publik.
Beberapa contoh di antaranya adalah Perppu Cipta Kerja. Walaupun telah inkonstitusional secara bersyarat dan diperintahkan untuk diperbaiki berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pada 30 Desember 2022, alih-alih memperbaiki, Pemerintah justru menerbitkan Perppu 2/2022 tentang UU Cipta Kerja. Pada 21 Maret 2023, DPR RI memperparah situasi dengan menggelar rapat paripurna yang menghasilkan kesepakatan untuk menyetujui Perppu 2/2022 tentang UU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Hal tersebut jelas merupakan jalan culas penguasa untuk tetap memberlakukan substansi dalam ketentuan UU Cipta Kerja tanpa perlu memperbaikinya melalui proses legislasi.
Seolah tidak puas menyelundupkan pasal-pasal anti demokrasi, tahun ini Pemerintah dan DPR RI mengesahkan revisi kedua UU ITE. Beberapa norma dalam UU ITE mengadopsi dari UU KUHP. Walau berulang kali melakukan protes, hingga menunjukkan bukti dampak pasal-pasal ITE yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat, pembuat undang-undang tetap tidak menghapus pasal terkait. Misalnya, tindak pidana menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, dan pasal pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan. Tak mengherankan substansi undang-undang ini bermasalah. Selain itu, undang-undang ini secara formil juga tidak transparan dan tidak partisipatif. Pendapat masyarakat sipil tidak pernah dijadikan pertimbangan dalam proses pembahasannya.
Keadilan Di Ujung Tanduk, Rakyat Di Tepi Jurang Penderitaan
Tiga tahun pasca UU Cipta Kerja disahkan, undang-undang ini melahirkan kasus-kasus pelanggaran HAM. Regulasi tersebut nyatanya memfasilitasi pengusaha dengan beragam alasan yang sah untuk mengebiri hak buruh. LBH Jakarta kerap menemui kasus pelanggaran hak-hak normatif buruh/pekerja. Tercatat 120 kasus perburuhan (Nov 2022 s/d Oktober 2023) diadukan melalui mekanisme konsultasi hukum LBH Jakarta. Terdapat 8 kasus terkait PHK sepihak, 63 kasus terkait hak normatif seperti upah, lembur, tunjangan hari raya (THR), jam kerja dan lain-lain, serta 3 kasus terkait buruh migran. Sementara itu, kasus pidana perburuhan tercatat 39 kasus. Sisanya terkait masalah pekerja gig economy, serikat buruh dan lain-lain.
Di sisi yang bersamaan, investasi dan pembangunan merupakan mantra pokok masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tak ubahnya dengan rezim orde baru, Jokowi melanggengkan berbagai cara demi memuluskan agenda oligarki yang meminggirkan hak warga. Tak terkecuali hak atas tanah. Selama November 2022 hingga Oktober 2023, LBH Jakarta telah menerima pengaduan sebanyak 115 kasus konflik agraria dan 7 kasus penggusuran paksa. Hak-hak terdampak dalam sejumlah kasus tersebut diantaranya hak atas standar hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak mendapat perlindungan dari kekerasan aparat, hak atas perumahan yang layak, dan lain-lain.
Salah satu wujud konkret watak pembangunan yang eksesif adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Lewat dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, PSN justru menjadi alat merampas ruang hidup warga. Pada tahun 2023, LBH Jakarta menerima pengaduan ancaman penggusuran paksa dari warga Kampung Bulak, Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Warga yang menggarap lahan sejak tahun 1990-an tersebut harus menghadapi ancaman ini, demi pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), yang diberi ‘stempel’ Proyek Strategis Nasional. Penggusuran ini telah berlangsung sejak tahun 2019.
Ruang hidup warga juga terus dihantui penggusuran paksa. Melalui UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak, penggusuran paksa tanpa musyawarah dan tanpa melalui putusan pengadilan seolah-olah mendapatkan legitimasi hukum. Aturan tersebut bahkan diadopsi oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur No. 207 Tahun 2016 tentang Penertiban Pemakaian/ Penguasaan Tanah Tanpa Izin. Catatan LBH Jakarta, terdapat 3 wilayah atau kampung kota yang sudah, atau terancam penggusuran paksa melalui legitimasi Pergub ini, yakni Sunter Agung, Menteng Dalam, dan Pancoran Buntu II.
Kelompok Minoritas dan Rentan (KMR) tak luput pula dari represi dan pengabaian. Di Kota Bogor, terdapat Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S). Perda ini berpotensi melanggengkan stigma terhadap kelompok minoritas identitas gender dan orientasi seksual. Stigmatisasi tersebut merupakan akar penyebab terjadinya tindakan persekusi terhadap kelompok LGBTI+. Selain itu, tindakan diskriminatif juga masih dihadapi oleh kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Akhir tahun 2022, jemaat HKBP Betlehem (Pos Parmingguan) di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menghadapi pelarangan ibadah natal pada 24 dan 25 Desember 2022 oleh warga dan aparat kepolisian. Ibadah dianggap tidak sah lantaran dilaksanakan di rumah pribadi. Pembatasan hak beribadah ini adalah pelanggaran terhadap UUD 1945, UU HAM, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Sementara itu, di tahun ini LBH Jakarta telah menerima 61 kasus kekerasan terhadap perempuan. Beberapa diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Proses pemeriksaan perkara seringkali terhambat lantaran aparat penegak hukum, terutama kepolisian tidak memiliki perspektif korban dan adil gender. Tidak sedikit korban mengalami reviktimisasi selama proses peradilan. Penolakan laporan, undue delay, hingga sikap victim blaming aparat merupakan hambatan umum yang menghantui korban. Selain masalah kultur, keadilan bagi korban masih terjal dijalani lantaran beberapa aturan penting belum kunjung disahkan. Misal, aturan turunan dari UU TPKS, pengesahan RUU PPRT yang belasan tahun selalu parkir dalam daftar prolegnas, hingga belum diratifikasinya Konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Suara-suara kritis terhadap berbagai fenomena pelanggaran HAM justru diancam dengan pidana. Melalui pasal-pasal bermasalah (anti demokrasi), aktivis Fatiah Maulidiyanti dan Haris Azhar dikiriminalisasi hanya karena menyuarakan persoalan pelanggaran HAM di Papua melalui kajian riset yang disiarkan melalui medium podcast.
Aksi-aksi buruh, mahasiswa dan berbagai kelompok tidak lepas dari represifitas dan kriminalisasi. Presiden merestui aparat kepolisian melakukan tindakan brutal. Rakyat ditangkap sewenang-wenang, disiksa, bahkan diburu. Respons represif paling brutal dapat dilihat ketika kepolisian menangani aksi demonstrasi pada May Day 2019, aksi Bawaslu 21-23 Mei 2019, aksi Reformasi Dikorupsi 23-30 September 2019, hingga aksi protes penolakan omnibus law di berbagai wilayah. Represifitas ini memakan ratusan korban hingga meninggalnya beberapa mahasiswa di beberapa wilayah.
Jalan Asa Meraih Keadilan
Di tengah rendahnya indeks demokrasi dan menguatnya oligarki, masih banyak upaya yang patut dirayakan selama setahun terakhir. LBH Jakarta bersama klien, komunitas dampingan, dan jaringan kerja telah menorehkan berbagai bentuk langkah advokasi. Meski kepercayaan terhadap lembaga peradilan kian terkikis, tahun ini LBH Jakarta masih menempuh jalur litigasi sebagai ikhtiar mendorong independensi dan profesionalisme lembaga peradilan. Tak kalah penting, proses litigasi ini kerap menjadi alasan dan medium warga untuk berkonsolidasi dan berkampanye.
Beberapa kasus diantaranya, gugatan terkait pemutusan akses terhadap 8 situs layanan internet, aplikasi game dan platform digital (Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat); gugatan perbuatan melawan hukum terhadap KLHK melalui PTUN Jakarta terkait artikel opini Erik Meijaard dan Julie Sherman berjudul “Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends”; gugatan (Onrechtmatige Overheidsdaad – OOD) atas pemusnahan SDN Pondok Cina 1 terhadap Walikota Depok; gugatan warga Kampung Bayam terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT. Jakarta Propertindo (JakPro) ke PTUN Jakarta; praperadilan menguji keabsahan penyidikan dan pelanggaran hak tersangka (John Sondang) di PN Jakarta Selatan; serta praperadilan ganti rugi dan rehabilitasi M. Fikri (korban salah tangkap dan penyiksaan).
Upaya non litigasi juga terus ditempuh. Misalnya dalam kasus PSN-Kampung Bulak, warga mengadukan kasus ke lembaga-lembaga HAM. Warga berharap Komnas HAM dapat memaksimalkan perannya melakukan mediasi hingga mengeluarkan rekomendasi kepada pihak pemerintah untuk menjamin keamanan bermukim (secure of tenure). Lembaga lainnya yang seringkali menjadi tujuan advokasi berbagai isu adalah Komnas Perempuan, Ombudsman RI, Kompolnas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lain-lain. Selain itu, juga melakukan pertemuan-pertemuan audiensi dengan pihak pemerintah terkait kasus dan kebijakan.
Kemudian, LBH Jakarta bersama-sama jaringan masyarakat sipil juga fokus mengkonsolidasikan korban penggusuran paksa dan masyarakat urban lainnya. Tujuannya untuk memperkuat gerakan, dan menjahit relasi antar warga kota. Warga, bersama LBH Jakarta, dan jaringan masyarakat sipil bersepakat memilih Pancoran Buntu II dan Kampung Bulak menjadi titik api perlawanan. Sejumlah aksi dilangsungkan di depan gedung-gedung pemangku kewajiban. Pada penghujung akhir tahun, hari HAM diperingati di Kampung Bulak dengan mengangkat tajuk “Duka Cita HAM”. Lewat upaya ini, masyarakat lintas isu berhasil dipertemukan, saling mendukung dan menguatkan. Upaya ini ingin memastikan gerakan kota yang inklusif dan interseksi.
Untuk memperpanjang nafas perjuangan, tahun ini LBH Jakarta melakukan upaya merawat dan memperluas Probono Clearing House (PCH) dan Paralegal Komunitas. Tahun ini, LBH Jakarta berhasil mengajak 12 Advokat individu dan 4 kantor hukum terlibat dalam mekanisme rujukan Advokat Pro Bono. Langkah ini merupakan cara memperluas akses bantuan hukum, mengingat timpangnya jumlah pengacara publik jika dibandingkan dengan jumlah pencari keadilan.
Layanan Bantuan Hukum
Di sisi yang lain, LBH Jakarta juga terus mendapatkan pengaduan mengenai permasalahan hukum dan HAM dari masyarakat. Selama tahun 2023, LBH Jakarta tercatat menerima permohonan bantuan hukum sebanyak 726 pengaduan dengan total jumlah 8.467 pencari keadilan. Dari jumlah tersebut, 581 pengaduan berasal dari individu, sementara 145 pengaduan lainnya diajukan oleh kelompok dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 7.886 orang. Meski jika dibandingkan dengan tahun 2022, jumlah tersebut jauh menurun karena adanya pembatasan jumlah, data tersebut tetap mencerminkan peran penting LBH Jakarta dalam memberikan akses keadilan kepada individu maupun kelompok yang membutuhkan bantuan hukum di tengah kompleksitas hukum dan demokrasi.
Dilihat dari fokus isu yang diterima oleh LBH Jakarta, tercatat bahwa sebanyak 236 kasus atau 32,5% dari total pengaduan berkaitan dengan isu Pemukiman Masyarakat Urban (PMU). Kemudian disusul oleh isu Perburuhan sebesar 120 kasus atau 16,5%. Isu perburuhan menjadi sangat kompleks. Dominasi dua fokus isu LBH Jakarta diatas sangat relevan dan mencerminkan keberadaan LBH Jakarta yang berada di tengah konteks kota metropolitan. Fokus isu Fair Trial menjadi tertinggi ketiga, dengan 88 pengaduan dan isu Kelompok Minoritas Rentan (KMR) sebanyak 80 pengaduan.
Berdasarkan Human Rights Information and Documentation Systems (HURIDOCS), analisis terhadap jenis pelanggaran hak dari permohonan bantuan hukum yang masuk ke LBH Jakarta menunjukkan bahwa pelanggaran Hak Sipil dan Politik (SIPOL) menduduki peringkat tertinggi dengan jumlah sebanyak 465 pelanggaran dari seluruh kasus. Selanjutnya pelanggaran hak Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB) menempati urutan kedua sebesar 427 pelanggaran, dan terakhir Perlindungan Kelompok Khusus sebanyak 179 pelanggaran.
Hal-hal tersebut di atas membuktikan bahwa Negara masih menjadi aktor utama dan dominan dalam pelanggaran HAM. Hal tersebut sekaligus merupakan suatu kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa terdapat kehancuran demokrasi di segala lini yang sungguh merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui CATAHU LBH Jakarta, kami berharap dapat bermanfaat sebagai: 1) medium refleksi berbagai permasalahan ketidakadilan atau pelanggaran HAM yang dihadapi warga; 2) mampu menghadirkan diskursus strategi konkrit gerakan masyarakat sipil di tahun mendatang; 3) bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas kerja-kerja selama setahun; 4) sarana pembelajaran berbagai pihak dari hasil pendokumentasian kerja-kerja bantuan hukum struktural.
UNDUH CATAHU 2023