RULE OF LAW ATAU RULE BY LAW?
Jumlah dan Profil Pencari Keadilan
Selama jangka waktu 5 tahun terakhir, LBH Jakarta telah menerima 5.249 pengaduan. Pengaduan terbanyak diterima pada tahun ini, 2014, sebanyak 1.221 pengaduan. Sementara 2012 tetap menjadi tahun terendah, dengan jumlah 917 pengaduan. Jika selama 5 tahun diperkirakan rata-rata sebesar 1.049 pengaduan per tahun.
Pada tahun 2014, LBH Jakarta menerima total pengaduan sejumlah 1.221 pengaduan, yang terdiri dari 1.053 pengaduan kasus Individu dan 168 pengaduan kasus kelompok.
Sebagian besar pengadu yang mengajukan kasusnya berasal dari daerah Jakarta dan sekitarnya. Namun, ada juga pengadu yang berasal dari wilayah luar Jakarta, misalnya Aceh sejumlah 1 pengaduan, Sumatera sebanyak 12 pengaduan, Bali sebanyak 2 pengaduan, Jawa Tengah + DIY sebanyak 15 pengaduan, Jawa Timur sebanyak 7 pengaduan, Kalimantan sebanyak 2 pengaduan, Sulawesi sebanyak 4 pengaduan, NTB sebanyak 1 pengaduan, dan NTT sebanyak 1 pengaduan.
Latar belakang pendidikan terakhir pengadu paling banyak ialah SMA sebanyak 538 pengadu, lalu Perguruan Tinggi sebanyak 423 pengadu, SD sebanyak 96 pengadu, SMP sebanyak 67 pengadu, dan tidak sekolah sebanyak 10 pengadu. Selain itu, sebanyak 87 pengadu tidak mengisi latar belakang pendidikannya.
Dari pengaduan-pengaduan tersebut dijabarkan jenis-jenis kasus yang ditangani, diantaranya: Kasus Perburuhan sebanyak 228 pengaduan, Perkotaan dan Masyarakat Urban sebanyak 114 pengaduan, kasus sipil dan politik sebanyak 153 pengaduan, kasus Keluarga sebanyak 158 pengaduan, Perempuan dan anak sebanyak 47 pengaduan, dan kasus non-struktural sebanyak 521 pengaduan.
Kasus-kasus yang Diadukan
Secara garis besar, LBH Jakarta mengelompokkan kasus-kasus ke dalam klasifikasi berdasarkan isu utama, yaitu Perburuhan, Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU), Kasus Sipil dan Politik, Kasus Keluarga, Kasus Perempuan dan Anak, dan Kasus Non Struktural. Deskripsinya terlihat dalam penjelasan berikut:
1. Kasus Perburuhan
Permasalahan-permasalahan yang diantarkan oleh pencari keadilan ke LBH Jakarta seputar perburuhan diantaranya meliputi persoalan hubungan kerja sebanyak 115 pengaduan, hak normatif sebanyak 71 pengaduan, kepegawaian (PNS) sebanyak 17 pengaduan, proses hukum sebanyak 3 pengaduan, serikat pekerja sebanyak 7 pengaduan, pidana perburuhan sebanyak 7 pengaduan, Buruh Migran Indonesia sebanyak 3 pengaduan, Pekerja Rumah Tangga sebanyak 3 pengaduan, dan kasus terkait diskriminasi sebanyak 2 pengaduan. Apabila melihat dari orang yang terbantu dari setiap jenis pengaduan, pencari keadilan terbanyak yang telah mengadukan ke LBH Jakarta ialah persoalan hubungan kerja sebanyak 24.253.
Kasus Perburuhan yang diadukan ke LBH Jakarta, berasal dari berbagai wilayah, diantaranya Jakarta Pusat sebanyak 26 pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 29 pengaduan, Jakarta Barat sebanyak 26 pengaduan, Jakarta Timur sebanyak 35 pengaduan, Jakarta Utara sebanyak 22 pengaduan, Tangerang dan Banten sebanyak 27 pengaduan, Bogor sebanyak 13 pengaduan, Bekasi sebanyak 16 pengaduan, Depok sebanyak 15 pengaduan, Jawa Barat sebanyak 15 pengaduan, Sumatera sebanyak 1 pengaduan, Jawa Tengah + DIY sebanyak 2 pengaduan, dan 1 pengaduan yang tidak mengisi wilayah asal.
2. Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU)
LBH Jakarta menerima pengaduan sebanyak 114 pengaduan, bagi 6.989 orang, selama 2014 untuk kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban. Permasalahan yang paling banyak ialah terkait Hak tanah dan tempat tinggal sebanyak 64 pengaduan, diikuti dengan hak lingkungan sebanyak 16 pengaduan, pelayanan publik sebanyak 14 pengaduan, hak kesehatan sebanyak 9 pengaduan, hak pendidikan sebanyak 8 pengaduan, hak usaha dan ekonomi sebanyak 2 pengaduan, dan hak atas identitas sebanyak 1 pengaduan. Dari seluruh permasalahan PMU klien paling banyak mengadukan hak atas lingkungan sebanyak 4.529 orang, sementara paling sedikit ialah hak atas identitas sebanyak 1 orang.
Pengaduan yang diajukan ke LBH Jakarta berasal dari berbagai wilayah diantaranya Jakarta Pusat sebanyak 16 pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 14 pengaduan, Jakarta Barat sebanyak 11 orang, Jakarta Timur sebanyak 1 orang, Jakarta Utara sebanyak 15 orang, Tangerang dan Banten sebanyak 6 orang, Bogor sebanyak 2 orang, Bekasi 1 orang, Depok sebanyak 6 orang, Sumatera sebanyak 3 orang, Kalimantan sebanyak 1 orang, Aceh sebanyak 1 orang, NTB sebanyak 1 orang, dan Jawa Barat sebanyak 4 orang.
3. Kasus Sipil dan Politik
Pengaduan kepada LBH Jakarta terkait kasus sipil dan politik juga cukup banyak dan beragam. LBH Jakarta paling banyak menerima pengaduan terkait kasus hak kebebasan bagi warga negara asing, sebanyak 70 pengaduan, dilanjutkan dengan kasus fair trial sebanyak 56 pengaduan, selain itu pengaduan-pengaduan lainnya seperti hak bebas dari siksaan dan perlakuan tidak manusiawi sebanyak 2 pengaduan, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi sebanyak 4 pengaduan, hak bebas dari penahanan atas hutang atau kewajiban kontrak sebanyak 3 pengaduan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama sebanyak 2 pengaduan, hak atas kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi sebanyak 2 pengaduan, hak berpolitik sebanyak 3 pengaduan, hak bagi kaum minoritas sebanyak 7 pengaduan, hak atas kewarganegaraan sebanyak 1 pengaduan, dan hak atas kepemilikan yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun sebanyak 3 pengaduan.
Para pencari keadilan yang mengadukan kasusnya terkait sipil dan politik berasal dari berbagai daerah yang beragam diantaranya Jakarta Pusat sebanyak 12 pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 11 pengaduan, Jakarta Barat sebanyak 9 pengaduan, Jakarta Timur sebanyak 13 pengaduan, Jakarta Utara sebanyak 3 pengaduan, Tangerang dan Banten sebanyak 10 pengaduan, Bogor sebanyak 4 pengaduan, Depok sebanyak 5 pengaduan, Bekasi sebanyak 7 pengaduan, Jawa Barat sebanyak 3 pengaduan, Jawa Timur sebanyak 3 pengaduan, Jawa Tengah sebanyak 2 pengaduan, Bali sebanyak 1 pengaduan, Sulawesi sebanyak 2 pengaduan, Maluku sebanyak 1 pengaduan, dan 66 pengaduan yang tidak memiliki alamat, serta 1 pengaduan yang tidak mencantumkan alamatnya.
4. Kasus Keluarga
Sepanjang 2014, LBH Jakarta menerima pengaduan terkait kasus keluarga sebanyak 158 pengaduan, dengan perincian kasus pernikahan sebanyak 9 pengaduan, KDRT sebanyak 21 pengaduan, perceraian sebanyak 64 pengaduan, dan waris sebanyak 64 pengaduan.
Sementara itu, pengadu berasal dari berbagai tempat, diantaranya Jakarta Pusat sebanyak 2 pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 28 pengaduan, Jakarta Barat sebanyak 16 pengaduan, jakarta Timur sebanyak 26 pengaduan, Jakarta Utara sebanyak 8 pengaduan, Tangerang dan Banten sebanyak 19 pengaduan, Bogor sebanyak 7 pengaduan, Bekasi sebanyak 13 pengaduan, Depok sebanyak 5 pengaduan, Sumatera sebanyak 2 pengaduan, Jawa Barat sebanyak 6 pengaduan, dan Jawa Tengah sebanyak 1 pengaduan.
5. Kasus Perempuan dan Anak
LBH Jakarta menerima kasus terkait perempuan dan anak sebanyak 47 pengaduan, diantaranya kasus tentang perlindungan anak sebanyak 37 pengaduan, dan perlindungan perempuan sebanyak 10 pengaduan. Mereka berasal dari berbagai wilayah yaitu Jakarta Pusat sebanyak 27 pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 28 pengaduan, Jakarta Barat sebanyak 16 pengaduan, Jakarta Timur sebanyak 26 pengaduan, Jakarta Utara sebanyak 8 pengaduan, Tangerang dan Banten sebanyak 19 pengaduan, Bogor sebanyak 7 pengaduan, Bekasi sebanyak 13 pengaduan, Bogor sebanyak 7 pengaduan, bekasi sebanyak 13 pengaduan, Depok sebanyak 5 pengaduan, Sumatera sebanyak 2 pengaduan, Jawa Barat sebanyak 6 pengaduan, dan Jawa Tengah sebanyak 1 pengaduan.
6. Kasus Non Struktural
Terhadap kasus non-struktural LBH Jakarta pada tahun 2014 juga menerima pengaduan sebanyak 521 yang terdiri dari kasus terkait pidana umum sebanyak 223 pengaduan, pidana khusus sebanyak 47 pengaduan, perdata sebanyak 238, kode etik advokat sebanyak 1 pengaduan, dan bukan kasus hukum sebanyak 12 pengaduan.
Atas kasus non struktural LBH Jakarta menerima pengaduan dari berbagai daerah diantaranya Jakarta Pusat sebanyak 68 pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 80 pengaduan, Jakarta Barat sebanyak 51 pengaduan, jakarta Timur sebanyak 95 pengaduan, jakarta Utara sebanyak 33 pengaduan, Tangerang dan Banten sebanyak 46 pengaduan, Bogor sebanyak 27 pengaduan, Bekasi sebanyak 47 pengaduan, Depok sebanyak 27 pengaduan, Kalimantan sebanyak 1 pengaduan, Sumatera sebanyak 6 pengaduan, Sulawesi sebanyak 2 pengaduan, Jawa Barat sebanyak 19 pengaduan, Jawa Timur sebanyak 4 pengaduan, Jawa Tengah + DIY sebanyak 10 pengaduan, Bali sebanyak 1 pengaduan, NTT sebanyak 1 pengaduan, dan juga 3 pengaduan yang tidak mengisi kolom alamat.
Rule of Law vs Rule by Law
Rule of Law atau Rule by Law? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan penutup akhir tahun LBH Jakarta pada tahun 2014 ini. Kondisi setahun terakhir menghadapkan LBH Jakarta kepada pertanyaan yang paling mendasar mengenai hukum dan bagaimana relasi negara, hukum dan warganya. Prinsip Rule of Law seolah mendapat tantangan dari praktek Rule by Law yang diperagakan oleh Penguasa untuk menjaga kekuasaan dan kepentingan kelompoknya.
Memerintah berdasarkan hukum, merupakan prasyarat utama dari jaminan pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia dari setiap warga negara. Absennya Rule of Law hanya akan mengakibatkan para pelanggar ham dapat bergerak secara leluasa. Oleh karenanya, untuk dapat memastikan praktek-praktek pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia dijalankan oleh Negara maka hukum seharusnya menjadi tuntunan mereka yang menjalankan roda pemerintahan.
Namun, fakta di lapangan berbanding terbalik dengan prinsip Rule of Law. Hukum justru kemudian digunakan oleh pemerintah untuk menjaga kepentingan dirinya dan kelompoknya. Hukum kemudian direduksi menjadi alat untuk menjaga kenyamanan penguasa ketika mempraktekkan kekuasaannya maupun sesudahnya. Inilah yang terjadi apabila Rule of Law telah menyimpang menjadi Rule by Law.
Dalam silang sengkarut kondisi politik tanah air paska pemilihan umum legislatif dan presiden, prinsip Persamaan dimuka hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu karakteristik dari rule of law secara telanjang disimpangi oleh pembuat undang-undang untuk menjamin diri mereka menjadi subyek yang mendapat perlakuan istimewa dimuka hukum melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 245 diatur “pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.” Aturan ini menjadi justifikasi pengibirian semangat persamaan di muka hukum bagi seluruh warga Negara. Kondisi yang bertolak belakang dihadapi oleh subyek hukum lainnya, khususnya mereka yang miskin dan buta hukum, pemanggilan dan pemeriksaan terhadap mereka seringkali dilakukan dengan menyalahi hukum, hal ini terlihat dengan tingginya angka pengaduan pelanggaran hak atas peradilan yang adil di tahun 2014, yakni sejumlah 124 pencari keadilan.
Pembangkangan terhadap prinsip persamaan dimuka hukum juga ditemukan dalam kasus-kasus pelanggaran kemerdekaan beragama. Bahwa persamaan dimuka hukum mengandung larangan untuk melakukan diskriminasi dalam bidang hukum. Namun, lagi-lagi, dalam prakteknya pembedaan perlakuan terhadap warga negara pemeluk agama minoritas masih terus berlangsung di tahun 2014. Pelarangan beribadah atau penutupan rumah ibadah masih ramai terjadi di berbagai pelosok tanah air.
Dalam Rule by Law, hukum digunakan sebagai instrumen penguasa untuk membatasi hak warga negara dan memperluas hak mereka dalam menentukan jalannya kehidupan bernegara, Undang-undang No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi salah satu buktinya. Aturan hukum ini telah merampas hak warga negara untuk untuk memilih dan dipilih dan menyerahkannya ke tangan elit yang duduk menjadi anggota DPRD. UU ini merupakan bukti otentik dari watak penguasa yang tidak mau tunduk pada prinsip pokok negara hukum yang menghargai kehidupan berdemokrasi.
Menurut The International Commission of Jurist salah satu prinsip negara hukum adalah Negara harus tunduk pada hukum. Tunduk pada hukum seyogyanya ditaati dengan ketaatan pemerintah terhadap aturan yang lebih tinggi termasuk juga dengan menyesuaikan aturan yang terdahulu dengan aturan yang lahir kemudian. Namun hal ini tidak dilakukan dalam banyak kasus, salah satu kasus yang telah dan berpotensi mengakibatkan jumlah korban dalam jumlah besar dan berkelanjutan dipertontonkan oleh Pemerintah Privinsi DKI melalui pembangkangannya terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang LIngkungan Hidup. Pemprov DKI Jakarta tetap menjalankan Keputusan Gubernur No. 76 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan dan Kelayakan Menggunakan Bangunan yang bertentangan dengan UU a quo. Melalui Kepgub tersebut, Peprov DKI dapat memberikan izin mendirikan bangunan sekalipun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan belum dimiliki, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup. Namun dalam proses penegakan hukum lingkungan di Jakarta.
Ketidaktaatan negara terhadap produk hukum yang dibuatnya sendiri adalah bentuk lain dari Rule by Law. Ketidaktaatan ini juga tercermin dari tidak dibentuknya atau dibentuk namun melewati batas waktu yang ditentukan, peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Hal ini bisa dilihat selain dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup juga dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, hingga saat ini negara tidak menjalankan perintah undang-undang yang memberikan kewajiban hukum di pundak mereka untuk membentuk 6 Peraturan Pemerintah dan 2 Peraturan Presiden.
Rupa lain dari Rule by Law juga terekam dalam penggusuran paksa yang dilakukan negara, sebagaimana yang dilakukan PT. KAI terhadap 6532 pedagang di 80 Stasiun Kereta Api. PT. KAI sebagai representasi dari negara menggunakan alasan hukum keperdataan (baca : perjanjian sewa menyewa) untuk menjadi alasan pembenar pengabaian terhadap hak kepemilikan dan hak atas pekerjaan para pedagang yang dilindungi oleh sumber hukum tertinggi di negara ini Undang-Undang Dasar 1945. Keadaan ini bertambah ironis karena PT. KAI sebagai representasi Negara justru melakukan semuanya itu tanpa melalui proses peradilan melainkan menggunakan tenaga pengamanan internal, kepolisian dan tentara.
Muh. Yamin salah satu pendiri negara Indonesia pernah berkata Indonesia adalah “negara hukum dimana (rechtstaat goverment of laws) tempat keadilan tertulis berlaku…bukan pula negara kekuasaan (maschstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan kesewenang-wenangan.” Penggusuran oleh PT KAI merupakan penyimpangan terhadap salah satu karakteristik dari Rule of Law yang menempatkan pengadilan sebagai ruang penyelesaian sengketa hukum, termasuk ketika sengketa itu terjadi antara Negara dengan rakyatnya sendiri.
Kondisi di atas hanya sebagian kecil dari berbagai fakta yang memaparkan ketiadaan Rule of Law di Negara ini. Demi kepentingan diri dan kelompoknya, penguasa telah sengaja menyimpangi prinsip Rule of Law. Kesewenang-wenangan serta pengkhianatan terhadap prinsip non diskriminasi dan persamaan di muka hukum telah ditiadakan untuk menjaga kekuasaan mereka. Tak ayal, hari demi hari permasalahan hukum di Negara ini tidak kunjung usai.
Melalui Catatan Akhir Tahun 2014 ini, LBH Jakarta, selain memberikan transparansi kerja-kerjanya, ingin mengajak para pegiat HAM, pemerintah, dan masyarakat untuk berefleksi serta semakin menyadari perubahan yang utama berawal dari diri sendiri. Semoga di tahun 2015 masyarakat yang selama ini mengais-ngais cahaya keadilan mampu meraihnya sehingga harapan terpenuhinya Rule of Law di Indonesia pun segera terwujud.
Salam merebut Keadilan!