Rabu, 21 Desember 2022, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meluncurkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2022. Peluncuran ini dilatarbelakangi oleh kondisi Demokrasi yang semakin mengkhawatirkan beberapa tahun terakhir. Pelan tapi pasti, kemunduran terjadi di semua lini, senjakala demokrasi sudah tiba. Kedaulatan rakyat sedang dipinggirkan untuk diganti menjadi kedaulatan elit-oligarki dengan menggunakan cara-cara hegemonik yang seolah demokratis padahal tidak. Para sarjana bahkan tak segan menyebutkan demokrasi Indonesia telah tenggelam ke titik terendah sejak berakhirnya Orde Baru. Kemunduran demokrasi yang ditandai dengan penurunan kualitas demokrasi secara bertahap dan terus berlangsung hingga saat ini dapat mengakibatkan jatuhnya Indonesia pada otokrasi atau rezim otoriter.
Indeks Demokrasi Indonesia
Indeks demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan kemunduran demokrasi yang konsisten. Pengukurannya didasarkan pada indikator: proses pemilu dan pluralisme; kebebasan sipil; fungsi pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik. Meski sedikit merangkak naik di tahun 2021, Indonesia masih dianggap sebagai demokrasi yang tak sempurna (flawed democracy) oleh The Economist Intelligence Unit, kemunduran demokrasi di era Jokowi telah mendekatkan posisi Indonesia ke kategori ‘rezim hibrida’. Sementara itu, Rule of Law Index 2022 dari World Justice Project (WJP) menunjukkan kondisi negara hukum Indonesia tidak mengalami kemajuan sejak tahun 2016 lalu. Secara umum, dari delapan indikator yang dinilai, lima indikator untuk Indonesia masih tergolong rendah. Yaitu: (1) absennya korupsi; (2) ketertiban dan keamanan (Order and security; (3) sistem peradilan perdata (civil justice) dan (4) sistem peradilan pidana (criminal justice system); (5) penegakan regulasi dan pemerintahan terbuka.
Pada fokus advokasi LBH Jakarta, akses regresi demokrasi dirasakan dampaknya dalam aspek penegakan hukum dan hak asasi manusia. Dalam satu tahun terakhir, LBH Jakarta menangani dan mendokumentasikan berbagai fakta terus bertambahnya jumlah kasus ketidakadilan yang lahir akibat praktik pengelolaan negara yang semakin menjauh dari prinsip demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia. Polanya jelas dan sistematis. Meskipun tidak bermaksud menyederhanakan dan menggeneralisir, berbagai kasus yang diadvokasi LBH Jakarta dalam kurun waktu 2022 ini menjadi bukti hadirnya gejala pemimpin “legalistic autocrats” dalam praktik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang membawa pada signifikansi kemunduran demokrasi dan negara hukum Indonesia saat ini.
Permohonan Bantuan Hukum
Di sisi lain, LBH Jakarta juga terus mendapatkan pengaduan permasalahan hukum dari masyarakat. tercatat setidaknya sepanjang tahun 2022, LBH Jakarta menerima permohonan bantuan hukum dari masyarakat sebesar 1.034 dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 12.447. Sebanyak 920 permohonan merupakan pengaduan dari individu, dan sebanyak 114 permohonan merupakan pengaduan kelompok. Sedangkan, sebanyak 1.019 penerima manfaat merupakan pengaduan dari individu, dan sebanyak 11.428 penerima manfaat merupakan pengaduan dari kelompok.
Dilihat dari jenis kasusnya, tercatat 228 kasus PMU. Kemudian, disusul oleh kasus Perburuhan dengan jumlah pengaduan sebanyak 151 kasus, Isu KMR dengan 137 kasus, Isu Fair Trial dengan 72 kasus, dan yang terbesar yaitu di luar fokus isu sebanyak 442 kasus.
Jika dilihat dari jenis pelanggaran hak, berdasarkan Human Rights Information and Documentation Systems (HURIDOCS), pelanggaran Hak Sipil dan Politik menempati urutan tertinggi, dengan jumlah 733 pelanggaran. Selanjutnya, pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya berada di urutan ke-2 yaitu sebanyak 523, kemudian di urutan ke-3 diisi oleh pelanggaran hak terhadap Perlindungan Kelompok Khusus sejumlah 321 pelanggaran, di mana perlindungan terhadap kelompok khusus ini termasuk diantaranya hak pekerja, hak orang-orang yang ditangkap, hak tersangka, terdakwa, dan lain-lain.
Di tengah-tengah demokrasi, LBH Jakarta sebagai bagian dari masyarakat sipil terus melancarkan berbagai upaya advokasi menanggapi berbagai langkah terhadap berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Adanya Penyalahgunaan hukum dan lembaga penegak hukum oleh aktor politik untuk tujuan politik. Adapun kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah selesai diselidiki Komnas HAM dibiarkan mangkrak oleh Kejaksaan Agung tanpa kepastian penyidikan dan pemenuhan keadilan bagi korban. Sementara itu, terus terjadi berbagai pelanggaran HAM baru. Terkini, Presiden menerbitkan Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu yang dinilai merupakan sarana cuci dosa pelaku pelanggaran HAM Berat Masa Lalu karena bermasalah secara konseptual yang melanggar hak korban atas kebenaran dan keadilan dan membuktikan bahwa Negara melakukan pembiaran (by omission) terhadap pelaku pelanggaran HAM Berat. Pengesahan RKUHP yang memuat pasal-pasal bermasalah yang melindungi kekuasaan dan mengancam kebebasan sipil menjadi beban baru bagi demokrasi.
Aparat Penegak Hukum dan Kekuasaan
Keberpihakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus yang melibatkan pemegang kekuasaan, terutama politisi partai politik. Kasus Kriminalisasi terhadap Haris Azhar (Lokataru Foundation) dan Fatia Maulidiyanti (Koordinator Kontras) yang menyuarakan temuan hasil riset terkait praktik skandal dugaan konflik kepentingan pejabat publik pada bisnis pertambangan Blok Wabu, Intan Jaya, Papua yang ditandai dengan penempatan militer illegal untuk kepentingan bisnis pejabat justru menjadi Korban Kriminalisasi dengan dalih usang, pencemaran nama baik. Padahal data mestinya dilawan dengan data bukan dengan pidana. Dalam kasus tersebut, jelas aparat berpihak dan tidak melihat dengan kacamata jernih persoalan bahwa apa yang diungkap adalah bagian dari kritik dan pengawasan warga terhadap laku ilegal pejabat negara.
Tak hanya itu, berbagai kasus penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan kepolisian tidak diproses secara adil. Polisi yang melakukan tindakan brutal melakukan represi terhadap masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa aman dari jerat hukum. Pasca pembusukan KPK melalui revisi UU, pimpinan KPK bermasalah dan pemberhentian illegal para pegawai berintegritas KPK. Penegakan hukum pemberantasan Korupsi menjadi politis. Kooptasi pemerintahan terhadap independensi Mahkamah Konstitusi, menjadikan lembaga ini kehilangan marwah dan kepercayaan publik. Betapa tidak dalam beberapa permohonan JR yang diajukan oleh LBH Jakarta dan masyarakat sipil seperti JR UU KPK, JR UU MK, JR UU Minerba, JR UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) dll, putusan MK tidak menjalankan kewenangan konstitusionalnya seperti yang diharapkan. bahkan MK tidak lagi disebut sebagai penjaga konstitusi namun penjaga kepentingan oligarki.
Serangan Terencana dan Berkesinambungan Pada Institusi Pengawas
Penggunaan Serangan yang terencana dan berkesinambungan pada institusi-institusi yang tugasnya justru mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban atas tindakan pemerintahan. Setelah dalam dua periode kepemimpinannya berhasil menundukkan partai politik di parlemen untuk menjadi pendukung pemerintahannya melalui beragam taktik politik seperti bagi-bagi kekuasaan, “mengintervensi” masalah internal partai politik, dan represi terhadap aktor masyarakat sipil yang kritis, pemerintahan Jokowi ingin memastikan lembaga peradilan kekuasaan kehakiman tetap sejalan dengan agenda pemerintah. Hal ini nampak jelas dari bagaimana pemerintah merevisi UU Mahkamah Konstitusi tahun 2020 dan saat ini kembali merencanakan agenda revisi UU MK yang akan memudahkan mereka mengganti hakim penjaga konstitusi.
Tak hanya itu, Pemerintah membelenggu independensi hakim dengan ‘gratifikasi’ pemberian penghargaan Bintang Mahaputra dari Presiden kepada hakim MK aktif pasca pengesahan UU Cipta Kerja, mengukuhkan pertalian keluarga antara Adik Presiden dengan ketua MK dan terakhir terjadinya politisasi MK pada kasus pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR karena dianggap sering menganulir undang-undang usulan DPR. Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya di tahun 2019 Jokowi merevisi UU KPK dengan alasan memperkuat lembaga antirasuah tersebut dan faktanya kini lembaga itu kehilangan kemandirian, taji dan integritasnya. Hasilnya, kini rezim dengan mudah menjawab upaya protes masyarakat atas berbagai produk hukum bermasalah dengan mengatakan silahkan uji ke Mahkamah Konstitusi. Tidak ada korupsi di pemerintahan.Sebagaimana kita lihat, tindakan yang menggerus sistem demokrasi tersebut dilakukan dengan cara-cara yang disebutkan oleh power.
Manipulasi Peraturan
Manipulasi peraturan atau perubahan aturan-aturan hukum untuk mendorong terjadinya penggelembungan kekuasaan eksekutif. Untuk hal ini, kita bisa melihat bagaimana UU Cipta Kerja yang dibuat dengan ugal-ugalan dipaksakan pengesahannya meski menabrak aturan main pembentukan UU termasuk pelanggaran serius prinsip transparansi dan partisipasi bermakna warga negara. Termasuk berbagai UU bermasalah lainnya seperti UU KPK, UU Minerba, Revisi UU MK, UU IKN, UU P3 dsb. Ironisnya, UU Cipta Kerja meski telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, UU ini terus diberlakukan.
Bahkan untuk memuluskan agenda kekuasaan, bukan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang direvisi, namun aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak mengenal metode Omnibus Law justru direvisi. Sejak UU Cipta Kerja diberlakukan. Pemerintah pusat kini memiliki kewenangan begitu besar dalam berbagai hal menyangkut izin dan sebagainya. Desentralisasi yang menjadi mandat reformasi untuk mendorong terbaginya konsentrasi kekuasaan dari pusat ke daerah untuk mendorong pemerataan dan perimbangan kewenangan, dikembalikan ke sentralisasi yang memperkuat kewenangan pemerintah pusat.
Pengesahan KUHP, Pengesahan Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) memperpanjang praktik pembentukan peraturan perundang-undangan yang represif otoriter, Kebijakan Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 menjadi contoh aturan di bawah UU yang bermasalah dan melanggar hak asasi warga. Tindakan pemerintahan yang melampaui batas. Selain itu, Pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang menempatkan Kedudukan Lembaga Otoritas Perlindungan Data Pribadi yang berada di bawah Presiden/Kementerian membuka ruang penyalahgunaan untuk kepentingan politik penguasa.
Semestinya Lembaga ini independen. Kebijakan Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 bermasalah yang melanggar hak warga. Pengesahan RKUHP yang memuat pasal-pasal bermasalah seperti pasal penghinaan martabat presiden dan wakil presiden, pasal-pasal penghinaan terhadap lembaga negara, pasal ancaman pidana bagi aksi tanpa pemberitahuan akan menjadi ancam baru kebebasan sipil dan menjadi senjata ampuh kekuasaan untuk membatasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga ketika mereka mengawasi jalannya pemerintahan.
Pembelajaran Advokasi
Situasi di atas seolah menggambarkan begitu suramnya kondisi demokrasi, negara hukum, dan penegakan HAM Indonesia dari perspektif LBH Jakarta. Ketika hukum menjadi alat kekuasaan, tentu tidak akan ada keadilan, apalagi menyangkut kasus yang menghadapkan warga vis avis melawan kekuasaan. Meski demikian, dalam perjalanan beberapa tahun terakhir, khususnya di tahun 2022 LBH Jakarta memiliki beberapa pembelajaran advokasi yang memperkuat keyakinan bahwa akan selalu ada harapan jika warga pemilik kedaulatan terus bergerak memperjuangkan demokrasi.
Seperti halnya pergulatan sejarah demokratisasi di Indonesia, sejatinya demokrasi adalah proses menjadi yang terus menerus harus diperjuangkan. Pemahaman dan keyakinan warga bahwa hanya dengan pemerintahan yang berdasarkan prinsip demokrasi dan negara hukum perjuangan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia mendapatkan tempat terbaiknya harus terus dijaga.
LBH Jakarta bersama masyarakat sipil memiliki berbagai cerita perlawanan salah satunya terkait advokasi kebijakan publik yang buruk di wilayah Jakarta terkait isu perkotaan dan masyarakat urban. Memang bukan selalu tentang kemenangan namun terus tumbuhnya gerakan perlawanan. Melalui Koalisi Perjuangan Warga Jakarta KOPAJA terbangun kesadaran kolektif masyarakat untuk mengkonsolidasikan advokasi lintas isu dan permasalahan yang terjadi di DKI Jakarta seperti penggusuran, reklamasi, hak atas lingkungan hidup yang sehat, isu polusi udara, pelanggaran hak atas air akibat swastanisasi air jakarta dsb. Dengan konsolidasi lintas isu advokasi menjadi lebih besar dan kuat. Bukan hanya itu, lahir Komunitas Anak Muda Paralegal Jalanan yang mengambil peran untuk memperjuangkan perlindungan hak kebebasan berkumpul dan berekspresi yang semakin tergerus, menguatnya kesadaran masyarakat untuk bergerak menuntut hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan terus mengalirnya kepercayaan dan dukungan masyarakat dengan terlibat dalam Gerakan Bantuan Hukum Struktural LBH Jakarta menjaga keberlanjutan gerakan.
Disamping itu, LBH Jakarta bersama masyarakat mendapatkan momentum penting paska litigasi strategis yang dilakukan dengan adanya preseden putusan pengadilan bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas khususnya hak atas pekerjaan bagi disabilitas mental di Indonesia, putusan wajib bayar hak lembur pekerja transportasi Transjakarta, maupun langkah keberhasilan advokasi publik untuk pengesahan UU TPKS yang menjadi berkah ditengah praktik jamak lahirnya regulasi bermasalah.
Dari berbagai pembelajaran dari cerita perlawanan diatas penting bagi masyarakat sipil untuk memikirkan strategi gerakan perlawanan baru menghadapi ancaman regresi demokrasi yang semakin akut. Perlawanan yang berdampak besar secara sosial dan politik untuk mengubah struktur politik hukum yang dikuasai oligarki. Jika sebagian dari masyarakat sipil telah mengambil jalan politik dengan mendirikan partai dan berkontestasi dalam pemilu dengan kerangkeng regulasi yang menguntungkan oligarki dan partai-partai penguasa, lantas bagaimana jalan masyarakat sipil yang lain?
Lewat peluncuran CATAHU 2022 ini, diharapkan dapat menjadi sumber refleksi dan pengingat bahwa permasalahan ketidakadilan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak bisa dilupakan begitu saja, namun harus diingat dan diselesaikan. Selain itu, kerja-kerja advokasi dalam kerangka gerakan bantuan hukum struktural perlu didokumentasikan dan dicatat sedemikian rupa agar menjadi pelajaran berbagai pihak dan tak lupa sebagai upaya melawan oligarki dan menegakkan kendali demokrasi.
Jakarta, 21 Desember 2022
Hormat Kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
_
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.