Gerakan Buruh Indonesia serta Tim Advokasi Buruh dan Rakyat mempertanyakan keputusan persidangan untuk menggunakan aparat kepolisian sebagai saksi untuk Jaksa Penuntut Umum dalam sidang kriminalisasi 26 aktivis yang diamankan dalam aksi unjukrasa.
“Kesaksian para aparat polisi tersebut jelas penuh konflik kepentingan dan memperkuat dugaan kriminalisasi dan penuh rekayasa,” kata juru bicara Gerakan Buruh Indonesia (GBI), Michael, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Tim Advokasi Buruh dan Rakyat (Tabur) dan GBI, menilai kesaksian polisi tidak akan objektif, pasalnya pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, menyebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan.
“Akibatnya, dengan prinsip korsa kepolisian membuat mereka membela rekan-rekannya. Polisi akan bersaksi berdasarkan surat tugas atasannya, bukan fakta yang ia ketahui, tapi mewakili institusi,” ujar pengacara TABUR dari LBH Jakarta, Maruli Rajagukguk.
Terlebih, lanjut Maruli, dalam perkara kriminalisasi ini, pihak yang melaporkan para buruh, berasal dari kepolisian yaitu Kapolres Jakarta Pusat Hendro Pandowo, untuk itu, Tabur dan GBI mengusulkan para saksi untuk tidak usah disumpah.
“Dengan begitu, martabat pengadilan tetap terjaga sebagai tempat para pencari keadilan,” ujar Maruli.
Menurut GBI dan Tabur, kepolisian justru pihak yang seharusnya mendapat hukuman dalam pembubaran aksi 30 Oktober 2015 lalu tersebut, sebab kepolisian melakukan pembubaran paksa disertai tindak kekerasan dalam aksi menolak kebijakan pasar bebas ekonomi Joko Widodo tersebut tanpa alasan jelas.
Dari informasi yang dihimpun, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kepolisian pada sidang pada hari Senin (9/5) untuk memberi kesaksian pada perkara dua pengacara LBH (Tigor dan Obed) serta 1 Mahasiswa Hasyim Ilyas dan akan menjelaskan tentang pembubaran aksi unjuk rasa 30 Oktober 2015.
Kepolisian Daerah Metro Jaya membubarkan paksa aksi damai itu dengan kekerasan. Para peserta, pengawal, hingga perangkat aksi menjadi sasaran kekerasan aparat. Setelah pembubaran itu, kepolisian menjadikan 23 buruh, dua pengacara LBH Jakarta, dan satu mahasiswa tersangka pasal karet melawan perintah pejabat (216 dan 218 KUHP).
Dalam persidangan sebelumnya Majelis Hakim mengeluarkan putusan sela pada pokoknya menolak eksepsi dua pengacara LBH Jakarta dan satu mahasiswa serta kuasa hukum. “Kami kecewa atas putusan sela tersebut, pasalnya putusan sela tersebut menegaskan tidak profesionalnya jaksa penuntut umum dan penyidikan yang sarat dengan kriminalisasi, meskipun demikian Tim Tabur menghormati keputusan majelis hakim tersebut,” tutur maruli.
Selain itu, sebanyak 23 buruh akan mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas sanggahan atau ekspesi. Jaksa seharusnya membacakan tanggapan itu di persidangan sebelumnya, namun, Jaksa mengaku belum mampu menyelesaikan tugas tersebut. (antaranews.com)