Sejumlah organisasi buruh berharap calon presiden dan calon wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla bisa merealisasikan upah layak sebagaimana visi dan misi yang pernah mereka sampaikan saat kampanye Pemilu Presiden 2014.
“Saat ini masih terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara standar upah minimum di Indonesia dengan standar kebutuhan hidup layak,” kata kuasa hukum organisasi buruh dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Wirdan Fauzi di Jakarta, Kamis (16/10).
Wirdan mengatakan kesenjangan itu mengakibatkan para pekerja tidak dapat hidup layak dan memenuhi standar-standar tertentu dalam kehidupan mereka.
Apalagi, belum semua perusahaan di Indonesia patuh terhadap ketentuan upah minimum. Karena itu, Wirdan menilai pemerintah perlu melakukan pengawasan secara ketat dan rutin untuk menegakkan pembayaran upah layak bagi para pekerja.
“Dalam janji kampanye yang Jokowi-JK sampaikan saat Pemilu Presiden 2014, salah satu yang mereka tawarkan adalah konsep ’upah layak, kerja layah dan hidup layak’,” tuturnya.
Karena itu, LBH Jakarta bersama KSBSI, PPMI, SBSI, SBSI Nikeuba, SPJSI, FBLP, PPMI (Percetakan), OPSI, Geber BUMN, Aspek Indonesia, FSP2KI, Progresip (SGBN), KPO, SPC PPJ dan Jala PRT telah menyerahkan sejumlah rekomendasi kepada Rumah Transisi.
“Ada 16 rekomendasi yang kami sampaikan. Salah satunya mengenai upah layak. Saat itu, rekomendasi diterima Anies Baswedan,” jelas Wirdan.
Terkait upah layak, rekomendasi yang disampaikan antara lain revisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang masih menetapkan 60 butir kebutuhan.
Seperti hal janji Jokowi-JK dalam visi misi mereka, LBH Jakarta dan organisasi buruh merekomendasikan pemenuhan upah layak harus melibatkan peran APBN dengan merealisasikan fasilitas-fasilitas penunjang bagi buruh di kawasan-kawasan industri.
“Saat ini terdapat 74 kawasan industri yang perlu fasilitas seperti perumahan untuk buruh, transportasi murah, pendidikan, rumah sakit dan sebagainya. Rancangan tersebut harus masuk dalam APBN untuk menjamin pelaksanaannya,” katanya.
LBH Jakarta dan organisasi buruh juga merekomendasikan agar setiap kebijakan terkait pengupahan melibatkan serikat pekerja atau serikat buruh secara langsung. Serikat, sebagaimana diatur dalam undang-undang, memperjuangkan nasib dan kesejahteraan buruh atau pekerja.
“Dengan tidak melibatkan serikat pekerja dan serikat buruh, maka pemerintah sebenarnya telah melalaikan kewajiban dan melanggar ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Konvensi ILO Nomor 131 Tahun 1970,” tuturnya.
Terakhir, LBH Jakarta dan organisasi buruh juga merekomendasikan penghapusan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja.
“Inpres tersebut mengesampingkan kesejahteraan buruh karena lebih mengedepankan penegakkan upah minimum yang jauh dari angka KHL daripada peningkatan kesejahteraan buruh,” pungkasnya. (sp.beritasatu.com)