Hentikan Praktek Korupsi untuk Penuhi Kesejahteraan Buruh
Buruh dan korupsi memiliki keterkaitan yang erat, dimana dalam praktek perlindungan buruh, perilaku korup aparat menghalangi pemenuhan hak-hak mereka. Persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh buruh, seolah-olah berkutat pada soal upah, jam kerja, cuti, jaminan sosial, kebebasan berserikat, dan hak-hak normatif lain. Persoalan mencari akar permasalahan dari semua masalah-masalah buruh luput dipetakan dan diadvokasi agar ke depan perlindungan dan jaminan hak-hak buruh bisa terlaksana dengan semakin baik.
Jika kita melihat akar dan runutan dari permasalahan hak buruh, maka akan terlihat bahwa kapitalisme, oligarki, dan korupsi akan saling mendukung satu sama lain. Outputnya adalah penyerapan nilai lebih dan akumulasi modal.
Korupsi memiliki pengertian yang luas dan dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu korupsi dalam bentuk tindakan penyuapan, manipulasi proyek atau pengadaan barang dan/atau jasa, dan korupsi dalam bentuk regulasi yang membenarkan suatu perbuatan/transaksi yang salah sehingga seolah-olah menjadi benar.
Korupsi Sebagai Akar Masalah
Sebuah penelitian dari International Monetary Fund pada tahun 1998 menemukan fakta bahwa korupsi memiliki keterkaitan erat dengan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di sebuah negara.[1] Lebih lanjut, riset lain juga menunjukkan fakta bahwa korupsi memengaruhi pemenuhan hak warga negara di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang salah satu aspeknya adalah hak atas pekerjaan yang layak. Penelitian tersebut mengutarakan bahwa korupsi menghalangi kerja pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar dari warga negara yang diatur menurut hukum HAM internasional.[2] Dalam konteks ketenagakerjaan, United Nations mencatat bahwa korupsi juga mengakibatkan terlanggarnya pemenuhan hak pekerja oleh perusahaan dan pemerintah – karena kedua pemangku kepentingan tersebut saling terkait, tetapi sama-sama tidak menjalankan kewajibannya sebab korupsi. Hal inilah yang kemudian turut melatarbelakangi lahirnya United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights pada tahun 2011, sebuah pedoman standar pemenuhan HAM bagi pemerintah dan pengusaha di sektor bisnis, yang diantaranya memuat:
- Bisnis harus menjunjung tinggi hak atas kemerdekaan berorganisasi dan pengakuan efektif atas hak berunding;
- Menghapuskan seluruh bentuk kerja paksa;
- Menghapuskan pekerja anak secara efektif;
- Penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan;
Dalam konteks Indonesia, Transparency International dalam Corruption Perception Index 2014 melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia – berada pada posisi 107 dari 175 negara yang turut disurvei.[3] Sedangkan untuk index korupsi dalam 3 (tiga) tahun terakhir, kondisi korupsi Indonesia masih pada kisaran angka 30-39 dari skala 0-100.
Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia juga berada pada angka 0.41, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan peningkatan ketimpangan terpesat dan angka ketimpangan tertinggi di Asia pada tahun 2014.[4] Dalam 3 tahun terakhir, tingkat ketimpangan Indonesia berkisar pada angka 0,4 dala skala 0-1 yang berarti cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Tingginya ketimpangan (ataupun tren perubahannya) dalam sebuah masyarakat bisa disebabkan oleh:
- Ketimpangan dalam usaha, kerja keras, atau talent dari individu;
- Ketimpangan dalam opportunity (kesempatan); dan
- Kebijakan[5]
Bila dikaitkan data tersebut dikaitkan mampu memberikan gambaran mengapa hingga saat ini marak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak pekerja. Korupsi adalah akar masalahnya.
Praktek Korupsi dalam Pelaksanaan Hubungan Kerja
Dalam dunia perburuhan, buruh menghadapi praktek korupsi yang terjadi di berbagai tahapan proses hubungan kerja, diantaranya:[6]
- Buruh harus membayar sejumlah pungutan liar uang untuk mengurus surat-surat sebagai syarat kerja (seperti ijin domisili dan SKCK di kepolisian);
- Maraknya praktik calo yang juga menarik pungutan liar secara paksa terhadap buruh ketika berada dalam situasi kerja. Aktornya bervariasi, mulai dari orang Disnaker, orang dalam perusahaan (HRD), aparat desa, tokoh ormas, tokoh parpol yang biasanya mendapat koneksi perlindungan dari aparat polisi dan tentara yang menjadi keamanan di pabrik-pabrik;
- Upah di bawah UMK yang buruh terima;
- Pungutan liar dari calo setelah penerimaan upah;
- Penangguhan upah yang dilakukan oleh pengusaha tanpa melalui prosedur resmi;
- Pemotongan biaya administrasi yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan, misalnya seragam pabrik dan perangkat lainnya;
- Tidak terpenuhinya situasi kerja berdasarkan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan;
- Tidak diberikannya cuti, terutama bagi buruh perempuan, seperti cuti haid dan cuti hamil sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengusaha juga kerap melakukan pemotongan gaji tidak sewajarnya ketika buruh mengajukan cuti;
- Pemutusan Hubungan Kerja bagi buruh perempuan yang sedang hamil;
- Serikat buruh “kuning” yang tidak memperjuangkan hak-hak anggotanya;
- Kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat terhadap serikat buruh;
- Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap buruh dalam proses kriminalisasi;
- Penyelesian kasus melalui PPHI, dengan hakim yang mudah disogok, seperti yang terjadi dalam kasus PT. Onamba;
- Proses penentuan upah oleh dewan pengupahan yang menyebabkan pengusaha dan pemerintah menyepakati UMK yang nominalnya rendah;
- Buruh migran pun menghadapi praktek yang sama semenjak mereka direkrut oleh agen hingga proses pengaduan kasus dan kepulangannya;
Praktek Pelanggaran Hak Buruh Akibat Praktek Korupsi
Data Kasus Perburuhan LBH Jakarta
Sepanjang tahun 2014, kasus-kasus perburuhan yang diterima oleh LBH Jakarta adalah sebagai berikut:
Kewajiban Negara yang dimandatkan dalam UUD 1945 untuk memenuhi Hak-Hak Buruh
Negara sebagai pemangku kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia memiliki kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak pekerja sebagai berikut:
- Menjamin Hak Atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2);
- Menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28 jo Pasal 28E (3));
- Menjamin hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja (Pasal 28D(2));
- Menjamin hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28H (3));
Jaminan yang diberikan oleh negara harus dipastikan berjalan efektif mulaid ari proses pembentukan kebijakan, pelaksanaan, dan juga evaluasi/pengawasan atas jalannya kebijakan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
Kini Saatnya Buruh Lawan Korupsi
Jika melihat praktek penegakan hukum perburuhan, korupsi menjadi penyebab akut tidak berjalannya regulasi ketenagakerjaan secara efektif dan juga pengawasan pemenuhan hak-hak buruh. Dalam rangka Hari Buruh Internasional, LBH Jakarta menyatakan sikap:
- Menuntut pemberantasan korupsi agar terselenggara Pemerintahan yang bersih dan transparan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat;
- Menuntut Presiden mereformasi regulasi ketenagakerjaan yang melindungi buruh;
- Mereformasi kinerja institusi ketenagakerjaan, seperti Disnaker, PPHI, Pengawas Ketenagakerjaan yang bebas korupsi dan profesional;
- Menuntut Presiden menghentikan tindakan represif akibat MoU ataupun kerja sama dengan Polisi/Militer untuk melemahkan gerakan serikat buruh;
[divider]
[1] Rahma Iryanti, Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Permasalahan dan Tantangan, disampaikan dalam rangka mewakili Badan Perencanaan Pembangungan Nasional, dalam Seminar ‘Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia’ di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 5 September 2014.
[2] Prof. John Roemer, Yale University, 1998 yang dikutip dalam Rasio Gini Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir, Bappenas, 2012.
[3] Buruh Lawan Korupsi, http://www.karawangnews.com/2015/03/buruh-melawan-korupsi.html, diakses pada 28 April 2015;
[4] Sanjeev Gupta, dkk, Does Corruption Affect Income Inequality and Poverty?, International Monetary Fund: USA, 1998.
[5] Transparency International, Corruption and Human Rights: Making The Connection, Transparency International: Geneva, Switzerland, 2009, hal. 45.
[6] Transparency International, 2014 Corruption Perception Index: Results, Transparency International: Switzerland, 2014, hal. 2.