Pernyataan Pers
No. No. 1116/SK-RILIS/VI/2016
Dua pengamen Cipulir, Andro dan Nurdin, menggugat Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta atas perlakuan keji yang dialaminya beberapa tahun silam. Pada awal tahun ini, Mahkamah Agung menguatkan putusan bebas kedua korban salah tangkap di tingkat banding. Kedua pengamen ini bersyukur atas kebenaran yang akhirnya terkuak, namun keadilan bagi mereka masih harus diperjuangkan.
Sebelumnya, Andro dan Nurdin sempat diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi pada saat penyidikan kasus yang menewaskan Dicky Maulana. Mereka dipukuli, ditendang, digampar, ditelanjangi, juga disetrum tubuhnya oleh anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya. Penyiksaan itu semata-mata agar Andro dan Nurdin mengakui bahwa pembunuhan Dicky adalah perbuatan mereka. Tidak kuat disiksa, mereka pun mengaku. Pengakuan itulah dasar Kepolisian menangkap, menahan, dan selanjutnya Kejaksaan menuntut keduanya. Padahal, proses peradilan tersebut tidak berdasar, makanya Pengadilan Tinggi membebaskan keduanya.
Kemarin, Senin (21/06) Andro dan Nurdin melayangkan gugatan ganti kerugian ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui praperadilan. Dalam permohonan tersebut, mereka meminta Majelis Hakim untuk mempertimbangkan kerugian yang dialaminya baik materil maupun immateril. LBH Jakarta, kuasa hukum keduanya, beranggapan jika Majelis setia dengan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (PP 92/2015) maka setidaknya Andro dan Nurdin berhak atas ganti rugi sebesar Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
Realisasi PP 92/2015: Perlindungan HAM dan Pembenahan Aparat Penegak Hukum
PP 92/2015 yang disahkan pemerintah 2 hari sebelum Hari HAM Internasional tahun 2015 ini memang wujud kesadaran pemerintah Republik Indonesia akan perlindungan HAM korban peradilan sesat. Pengaturan khusus terkait ganti kerugian terhadap korban salah tangkap sebelumnya telah diatur dalam PP Nomor 27 tahun 1983, namun jumlahnya masih sangat kecil, yaitu minimal Rp 5000 (lima ribu rupiah) dan maksimal Rp 1.000.000 (satu juta rupiah). Pembayaran ganti kerugian ini pun, menurut PP terbaru, harus dilakukan selama 14 hari oleh Kementrian Keuangan.
Namun demikian, Pemerintah semestinya tidak hanya melihat permasalahan ini dari sisi pemenuhan hak korban saja, tetapi juga ajang pembenahan bagi para aparat penegak hukum. Padahal masalah ini muncul akibat budaya kekerasan yang terus dilestarikan dalam Kepolisian, apalagi dalam mendapatkan pengakuan seperti kasus Andro dan Nurdin ini. Tidak hanya itu, Kejaksaan yang semestinya memiliki kewenangan sebagai “penguasa perkara” hanya memeriksa secara formil sehingga “termakan” skenario yang dibentuk Kepolisian sejka awal.
Oleh karena itu, melalui permohonan praperadilan ganti kerugian perkara salah tangkap ini LBH Jakarta berharap tentunya korban dapat menerima haknya sebagaimana tertuang dalam peraturan. Terlebih lagi, ini merupakan pesan kepada Kepolisian dan Kejaksaan untuk berbenah diri dalam melakukan penyidikan dan penuntutan. Pesan perubahan ini pun disuarakan oleh para korban, “salah tangkap tidak boleh terjadi lagi”. Sesungguhnya perubahan tersebut dapat terjadi jika KUHAP diubah dengan pengaturan kewenangan jaksa sebagai penguasa perkara (prinsip dominus litis) sebagaimana RKUHAP yang masih terus digodok dan belum disahkan hingga hari ini.
Demikian Surat Pernyataan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
22 Juni 2016
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung: Bunga M. R. Siagian (08567028934 / 085210544512) atau Arif Maulana (0817256167)