Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) dan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Kepolisian di Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Berdasarkan informasi yang beredar, warga mengalami kekerasan saat sedang berjuang mempertahankan ruang hidup mereka satu-satunya dari upaya penggusuran paksa yang dilakukan dengan dalih pengamanan aset Pemprov Sulawesi Utara. Peristiwa kekerasan dan berbagai tindakan sewenang-wenang yang terjadi pada Senin, 7 Oktober 2022 dilakukan oleh aparat kepolisian dengan menggunakan senjata lengkap, memaksa masuk lahan pertanian dan pemukiman warga, serta beberapa kali menembakkan gas air mata kepada massa aksi. Hal tersebut setidaknya telah menyebabkan warga dan massa aksi yang bersolidaritas mengalami luka-luka. Tak selesai di situ, setidaknya kurang lebih 40 orang juga ditangkap secara sewenang-wenang dan dibawa ke Polresta Manado, termasuk di antaranya petani, mahasiswa, dan Pengabdi Bantuan hukum LBH Manado yang sedang menjalankan kerja-kerja bantuan hukum.
Koalisi menilai, peristiwa ini menambah daftar panjang penggunaan aparat kepolisian yang jauh melenceng dari mandat konstitusionalnya sebagai alat negara yang bertugas melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta melakukan penegakan hukum.
Terhadap peristiwa ini, koalisi memberikan catatan sebagai berikut:
Pertama, upaya penggusuran paksa yang disertai kekerasan dan intimidasi oleh aparat kepolisian jelas mengabaikan musyawarah yang tulus, pencarian solusi, dan berbagai ketentuan lain terkait syarat-syarat perlindungan bagi warga dalam Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya) (General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant). Terlebih, kasus ini tengah dalam proses sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado dengan perkara nomor: 9/G/2022/PTUN.Mdo.
Selain itu, Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993 (Commission on Human Rights Resolution 1993/77) bahkan menegaskan bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.
Kedua, tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional sebagaimana dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekuatan dan penggunaan senjata api. Dalam ketentuan tersebut, tindakan-tindakan tanpa kekerasan harus didahulukan dan diutamakan, sedangkan penggunaan kekuatan diletakan sebagai alternatif terakhir (the last resort)
Ketiga, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) oleh aparat kepolisian merupakan masalah serius yang hingga saat ini belum diselesaikan dalam institusi kepolisian. Berulangnya kasus-kasus serupa mulai dari kasus Wadas hingga Tragedi Kanjuruhan menunjukkan bahwa pemolisian yang tidak demokratis merupakan langgam pemolisian arus utama dalam tubuh Polri. Kondisi demikian jelas merupakan konsekuensi langsung dari tumpulnya mekanisme kontrol dan absennya akuntabilitas polisi dan pemolisian.
Keterlibatan aparat kepolisian dalam upaya penggusuran paksa tersebut tidak hanya telah mencoreng wibawa negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia, namun juga telah melukai rasa keadilan warga–khususnya korban penggusuran paksa. Oleh karenanya, hal ini menjadi indikator penting yang dapat kita nilai bahwa negara melalui aparatnya tidak menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh atas penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Oleh karena hal-hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar:
- Kapolri memerintahkan jajarannya untuk melakukan penegakan hukum dengan mengusut dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian;
- Kapolri segera menindaklanjuti komitmennya untuk memperbaiki kinerja Polri dengan melakukan evaluasi total penggunaan kekuatan dalam tugas-tugas pemolisian;
- Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman RI, dan Lembaga terkait untuk aktif mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini serta mengusut tuntas pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia yang terjadi, mulai dari peristiwa upaya penggusuran paksa hingga berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga;
- Presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang penggunaan kekuatan kepolisian dan eksesnya terhadap keamanan warga negara; dan
- Presiden dan DPR segera menindaklanjuti persoalan-persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja profesional, transparan, dan akuntabel Polri.
Jakarta, 7 November 2022
Hormat kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan