Siaran Pers
Jakarta, 12 September 2014-09-17 Wacana pembangunan 6 ruas jalan tol dimulai sejak tahun 2007 diprakarsai oleh PT. Jakarta Toll Development yang merupakan gabungan dari PT. Pembangunan Jaya dengan PT. Jakarta Development.
Bahkan di tahun 2009 pun sudah disetujui untuk dimulai pembangunannya namun karena banyaknya pro dan kontra akhirnya proyek ini menguap begitu saja sampai dengan awal tahun 2013 dimana masa kepemimpinan Jokowi yang dahulu dimasa kampanye menolak kehadiran program pembangunan 6 ruas jalan tol, akhirnya pun menyetujui pembangunan 6 RJTDK dengan 3 persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Memfasilitasi dan mengintegrasikan busway Transjakarta ke dalam lintasan.
2. Lulus Amdal dan Analisa Dampak Lalu Lintas
3. Manajemen dan pengendalian lalu lintas di gerbang keluar-masuk tol.
Akhirnya dipertengahan tahun 2014 tepatnya 25 Juli 2014, wagub DKI yang saat itu bertugas sebagai PLT mendeklarasikan bahwa pembangunan 6 RJDTK harus segera dilaksanakan dalam rangka menyambut Asean Games 2018 sekaligus menjadi saksi penandatanganan perjanjian pengusahaan Jalan tol 6 ruas dalam kota dan kesepakatan bersama antara BPJT & PT JTD.
Pertanyaannya adalah apakah Jakarta begitu mendesaknya untuk membangun jalan tol dalam rangka mengatasi kemacetan yang semakin kronis dan darimana modal yang digunakan untuk pembangunan proyek yang menelan angka Rp 42 Triliun?
Dengan pergerakan manusia di Jakarta, sebanyak 18 juta disiang hari, Jakarta lebih membutuhkan transportasi masal khususnya berbasis rel seperti MRT atau commuter line yang saat ini hanya dikuasai oleh PT KCJ atau bisa juga dengan mengoptimalisasi busway dengan penambahan koridor dan armada.
Jalan tol hanya akan melayani 30% dari penduduk Jakarta dan menimbulkan kemacetan yang baru khususnya di pintu-pintu keluar tol seperti yang sudah terjadi di JORR W2. Meskipun lintasan untuk transportasi publik juga akan diakomodir di jalan tol ini dengan diadakannya “busbay” akan tetapi timbul permasalahan baru yaitu bagaimana dengan proses naik turun penumpang dengan ketinggian jalan layang rata-rata 6-12 meter.
Selain pemindahan kemacetan, proyek yang akan dibangun 85 % diatas lahan hijau dan jalan kereta ini selain meningkatkan polusi dan mengancam kesehatan masyarakat juga akan mengurangi nilai estetika dari tata kota Jakarta itu sendiri. Dan pemenuhan persyaratan bahwa proyek ini boleh dilanjutkan atau tidak pun hingga hari ini belum dilaksanakan oleh pemilik proyek yang dalam hal ini PT JTD seperti lulus uji Amdal dan Analisa dampak lalu lintas.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana dengan modal pembangunan 6 RJTDK tersebut? Beberapa kali di media massa, Wagub DKI (Ahok) selalu menyatakan bahwa proyek 6 ruas tol ini dibangun oleh BUMD. Mengacu kepada pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 14, Publik berhak diberikan informasi yang benar terkait modal yang akan digunakan untuk pembangunan proyek ini sehingga tidak muncul akal bulus dalam pembiayaan.
Dengan diadakannya kajian yang mendalam terkait sumber pembiayaan proyek 6 RTJDK ini akan menjadi kunci dalam melihat kekuatan PemProv DKI dalam mengatur pelaksanaan proyek ini dan justru bukan “diatur” oleh para investor. Sebenarnya seberapa besar kekuatan Pemda DKI sudah dapat diukur dengan melihat siapa yang menjadi Direktur Utama dari PT JTD yang saat ini juga oleh Komisaris dari PT PJI yang hanya menguasai 0.07 % saham dari PT JTD. Perlu diselidiki lebih lanjut mengapa PT PJI menjadi sangat kuat meskipun secara kepemilikan saham cenderung minsoritas?
Selain itu patut diduga dengan diakuinya PT JTD sebagai BUMD maka publik harus kritis melihat kemungkinan adanya aliran dana APBD dari Pemprov DKI secara tidak langsung menuju PT JTD melalui PT Pembangunan Jaya Ancol sebagai anak perusahaan Pemprov DKI. Jika sudah demikian ada baiknya Badan Pemeriksa Keuangan mulai bergerak dan mengaudit ke PT Pembangunan Jaya Ancol.
Informasi lebih lanjut:
Darmaningtyas : 0818 846 30 20
Rahmawati Putri : 0857 807 62 987