LBH Jakarta mendesak agar Kementerian Ketenagakerjaan mencabut Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada 6 Mei 2020. Surat Edaran tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai THR yang berlaku. Secara hukum perundang-undangan, Surat Edaran tidak boleh bertentangan dengan peraturan THR dan tidak bisa mengubah peraturan yang ada karena Surat Edaran tidak memiliki kekuatan hukum dan hanya bersifat internal.
Surat Edaran tersebut membiarkan buruh yang posisinya rentan untuk bernegosiasi sendiri dengan perusahaan, hal itu menunjukkan bahwa negara ingin lepas tanggung jawab untuk melindungi hak buruh atas THR. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tersebut juga dikhawatirkan menjadi restu pemerintah kepada perusahaan untuk melanggar aturan tidak menjalankan kewajibannya membayarkan THR kepada pekerja. Tanpa adanya surat edaran tersebut pun kewajiban THR seringkali dilanggar oleh perusahaan, lantas, kehadiran Surat Edaran ini akan memperburuk situasi pemenuhan hak atas THR bagi para buruh. SE ini tentu akan rentan disalahgunakan perusahaan nakal untuk menghindar dari tanggungjawabnya. Padahal,THR tentu akan sangat membantu buruh dan keluarganya untuk bertahan menghadapi situasi sulit akibat pandemi Covid-19 ketika pemerintah tidak sanggup menjamin pemenuhan hak dasar warga.
Dikutip dari Kompas, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan bahwa dalam Surat Edaran tersebut terdapat sejumlah pilihan bagi perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR ke pekerja dengan tepat waktu[1]. Hal ini diberikan kepada pengusaha terkait kondisi pandemi Covid-19 yang sedang terjadi.
LBH Jakarta menilai bahwa Surat Edaran THR yang dikeluarkan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, serta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Hal yang bertentangan terletak pada aturan kelonggaran jika perusahaan tidak mampu memberikan THR sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun LBH Jakarta mengakui jika kedua peraturan ini bukanlah peraturan yang sempurna karena ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.
Dalam Surat Edaran Menaker tentang THR, perusahaan yang tidak mampu membayar THR sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat melakukan dialog dengan para pekerja/buruh, untuk menyepakati beberapa hal. Kesepakatan yang perlu dilakukan dialog terkait cara pembayaran THR yang dapat dilakukan dengan cara mencicil atau melakukan penundaan yang tergantung dengan kondisi perusahaannya, serta waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR.
Sebenarnya aturan mengenai cara pembayaran dan pengenaan denda keterlambatan sudah diatur dalam PP Pengupahan dan Permenaker THR. Kedua aturan tersebut menegaskan bahwa pemberian THR adalah kewajiban setiap perusahaan[2]. Sehingga, perusahaaan yang tidak mampu membayar THR dapat dikenakan sanksi administratif[3]. Tidak ada ruang negosiasi yang dibuka untuk memutuskan sanksi bagi perusahaan yang tidak dapat membayar THR.
Perbedaan selanjutnya adalah soal Jika dalam SE Menaker denda dapat dirembukan lewat dialog, maka dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, denda bagi perusahaan yang terlambat membayar THR telah ditentukan sebesar 5%[4].
Dengan adanya Surat Edaran ini, dialog antara perusahaan dan buruh menjadi cara yang dianjurkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan problematika mengenai pembayaran THR di masa pandemi ini. Dan jelas, hal ini sangat bertentangan dengan PP Pengupahan dan Permenaker THR Keagamaan yang mengatur aturan terkait THR dengan jelas.
Secara hukum, Surat Edaran Menteri tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat ketika berhadapan dengan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri. Menurut Prof. Maria Indarti, Surat Edaran dibuat hanya untuk kalangan internal. Selain itu, Surat Edaran seharusnya lebih menjelaskan tentang peraturan yang sudah ada, bukan untuk membuat norma baru yang bertentangan[5]. Jika ditarik dalam permasalahan ini, maka norma baru yang ada dalam SE Menteri tentang THR tidak dapat berlaku menggantikan norma yang telah ada baik di dalam PP Pengupahan maupun Permenaker THR Keagamaan.
Selain itu, cara dialog yang direstui oleh pemerintah menunjukkan bahwa negara cq. pemerintah melepaskan tanggung jawabnya untuk menghukum perusahaan yang melanggar peraturan tentang THR. Pekerja dipaksa untuk berhadap-hadapan langsung dengan perusahaan ketika posisinya lemah atau tidak memungkinkan untuk melakukan dialog. Siapa yang akan menjamin jika perusahaan akan memberikan laporan internal keuangan dengan jujur untuk melakukan dialog? Siapa yg memastikan dialog yang tulus dan setara akan terjadi dan dilaksanakan? Berkaca dari kasus-kasus perburuhan yang masuk ke dalam pengaduan LBH Jakarta, banyak buruh yang dipaksa untuk menerima kehendak perusahaan tanpa diberikan pilihan apapun. Jika melawan, buruh pun mendapat tekanan maupun ancaman berupa mutasi maupun PHK.
Kementerian Ketenagakerjaan bersama dengan seluruh Gubernur harus mendorong pengawas ketenagakerjaan yang tersebar di setiap Dinas Ketenagakerjaan Provinsi untuk aktif turun langung mengawasi proses pemberian THR di perusahaan-perusahaan. Hal tersebut perlu dilakukan karena tidak semua pekerja/buruh bergabung dengan serikat pekerja/buruh yang dapat melakukan negosiasi dengan perusahaan dan tidak banyak pekerja/buruh mengerti peraturan maupun cara dalam melakukan negosiasi dengan perusahaan. Perlunya peran pemerintah yang tegas untuk memberikan jaminan bagi buruh, setidaknya dengan menegakan hukum yang sudah ada. Itulah fungsi negara untuk memastikan perlindungan hak pekerja.
Atas potensi permasalahan yang akan terjadi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menaker RI No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), maka LBH Jakarta mendesak:
- Kementerian Ketenagakerjaan RI harus mencabut dan membatalkan SE Menaker RI No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) karena bertentangan dengan peraturan tentang THR yang telah berlaku;
- Kementerian Ketenagakerjaan melaksanakan ketentuan THR yang ada dengan memperkuat pengawasan terhadap jalannya proses pemberian THR dari perusahaan kepada pekerja dan tidak segan memproses perusahaan yang melanggar ketentuan pemberian THR. Kemnaker dapat bekerja sama dengan Gubernur seluruh Propinsi untuk pengawasan tersebut;
- Pemerintah RI memberikan bantuan THR kepada pekerja/buruh yang perusahaannya tidak dapat membayarkan THR sama sekali dengan tidak menghilangkan proses pemberian sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku mengingat THR tentu sangat membantu buruh dan keluarganya bertahan menghadapi situasi sulit akibat pandemi Covid-19.
Jakarta, 9 Mei 2020
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta[1] https://money.kompas.com/read/2020/05/07/153200926/menaker-perbolehkan-perusahaan-tunda-pembayaran-thr-karyawan
[2] Pasal 7 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dan Pasal 1 angka 1 Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan
[3] Pasal 59 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dan Pasal 11 ayat (1) Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan
[4] Pasal 56 PP No. 78/2015 tentang Pengupahan dan Pasal 10 ayat (1) Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan
[5] https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18765/surat-edaran-bukanperaturan-perundangundangan/