Sebuah Catatan untuk Kawan Dodo
Widodo Budidarmo, mendengar kamu meringkuk tak berdaya di rumah sakit saya kaget. Lintasan rasa kehilangan seorang kawan pun terbersit. Seolah kode untuk bersiap hati (lagi). Karena terlalu sering kawan-kawan kita tumbang karena cuek urusan kesehatan. Dan buru-buru saya buang jauh-jauh pikiran itu. Pilihan ini cuma dua: sehat atau mati. Tidak boleh ada sakit di antara kita.
Di Bojong Bogor 2004 lalu, saya ketemu kau bercengkerama di tengah ibu-ibu, dalam perlawanan warga menolak Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST), yang jaraknya cuma seratus meter dari rumah mereka. Kau melebur bersama: memasak, berdiskusi, menghadiri sidang, dan bergembira tentunya. Tiga belas tahun lalu kau melawan dengan gembira dan luwes bersama mereka. Dari situ saya akrab denganmu, Widodo, juga kawanmu Ridho yang sudah mendahuluimu.
Do, peranmu memang jarang di depan corong mikrofon, atau urusan tulis menulis. Tapi kau yang mencairkan gerakan ini menjadi lebih rileks, dengan banyolan-banyolanmu, menerobos batas-batas isu, melebur dengan semua kalangan sosial. Kau menengahi gerakan sosial antara gerakan “lawyer” dan pengorganisiran. Lakumu menjembatani antara isu orientasi seksual dengan hak atas lingkungan, buruh dan sumber daya alam. Sebuah keuletan dan keluesan dalam membangun langgam gerakan sosial saat ini.
Widodo Budidarmo, Delanggu, Klaten, adalah tempatmu lahir dan diistirahatkan. Dari tempatmu pula pergerakan nasional Indonesia awal abad 1920-an bangkit, menampilkan kesadaran politik baru “bumiputra” dengan kesadaran berorganisasi, bergerak dan ideologi. Ada Haji Misbach dengan “Islam”, Tjipto Mangoenkoesoemo “Nasionalis”, Marco Kartodikromo dengan “Komunisme’. Ketiganya membangkitkan kesadaran perlawanan pada kolonialisme dengan cara dan keunikan masing-masing, dari bangsa yang belum bernama dan sedang mencari nama.
Jika Tjipto menarik perhatian kaum Sarikat Islam karena tulisan-tulisannya yang cemerlang, maka saya melihatmu dalam pantulan wajah Haji Misbach yang menarik perhatian karena kehangatan, keterbukaan, dan keramahan serta konsistensi antara kata-kata dan perbuatan. Dia adalah seorang mubalig sekaligus propagandis yang cemerlang menggelorakan keberanian bergerak untuk “kebebasan negeri”.
Kawan Dodo, kamu beristirahat di tanah yang melahirkan gerakan politik modern di Indonesia. Kiprahmu juga mewariskan gerakan sosial modern: penggalangan dana publik dan membangun gerakan dalam satu napas. Dulu, itu hanya bisa dibayangkan dan dicita-citakan oleh banyak orang. Namun atas pikiran dan tindakanmu, sokongan satu milyar setahun untuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menjadi kenyataan. Lima puluh persen dompet LBH jerih-payah bersama kawan-kawanmu itu digunakan untuk membantu dua ratus ribu lebih para pencari keadilan. Kamu patut bangga, tertawa dan bahagia di sana. Selamat jalan.***
Jakarta, 20 Desember 2017.
Ali Nur Sahid