Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Nomor 494/RILIS-LBH/XII/2024
Menanggapi Kasus Pemerasan oleh Polisi terhadap Pengunjung Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024
LBH Jakarta mengecam keras tindak tanduk sewenang-wenang dan koruptif yang dilakukan oleh aparat kepolisian lintas satuan kewilayahan di Polda Metro Jaya dalam pergelaran Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Berdasarkan berbagai pemberitaan media, aparat kepolisian tersebut melakukan tes urin secara acak kepada pengunjung yang sedang menikmati konser dan melakukan pemerasan terhadap pengunjung tersebut. Tak tanggung-tanggung, para pengunjung yang kebanyakan turis mancanegara dipaksa untuk membayar sebesar RM 9 juta atau setara Rp 32 miliar agar dilepas.
LBH Jakarta menilai bahwa kejadian ini bukan hanya sekadar masalah “oknum” belaka. Kejadian ini harus dipandang sebagai bagian dari permasalahan serius yang sudah berurat berakar dalam tubuh Polri secara institusional. Hal ini adalah buah paling matang dari ketiadaan niat politik (political will) pemangku kekuasaan untuk mereformasi Polri secara total. Akibatnya, Polri makin jauh melenceng dari mandat konstitusionalnya sebagai alat negara yang bertugas melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta melakukan penegakan hukum. Belakangan, Polri bahkan terlibat intens dengan peristiwa kekerasan dan dituding berbagai kalangan digunakan sebagai alat politik kekuasaan.
Berangkat dari kejadian ini, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, terdapat kesewenang-wenangan polisi dalam melakukan tes urin dalam pergelaran DWP 2024 yang juga berdampak pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pengunjung. Hal tersebut dapat dilihat mulai dari tes urin yang diduga dilakukan tanpa bukti permulaan yang cukup, hingga pemerasan terhadap pengunjung yang tertangkap.
Secara regulasi, tes urin hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum, tepatnya di ranah penyidikan. Artinya, polisi tidak bisa secara acak memaksakan pelaksanaan tes urin tanpa ada kepastian bahwa prosesnya sudah bergulir di ranah penyidikan. Terlebih, dalam kejadian ini, terdapat tindakan pemerasan oleh polisi terhadap pengunjung yang urinnya dinyatakan positif. Hal ini semakin memperjelas kesewenang-wenangan dan perilaku koruptif polisi.
Selain itu, pemaksaan tes urin dan pemerasan terhadap pengunjung dalam kejadian ini merupakan pelanggaran HAM. Polisi sebagai aparatur negara jelas telah melanggar hak atas privasi dan keamanan pribadi pengunjung sebagaimana dijamin Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Ketentuan HAM internasional tersebut dengan terang menjamin bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya tanpa alasan-alasan yang sah dan tanpa prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
Kedua, kami mengecam pernyataan pihak Polri yang menggunakan istilah “oknum” dalam kasus ini. Istilah “oknum” yang kerap digunakan berbagai pejabat Polri ketika institusinya disorot secara negatif oleh publik tak lebih dari upaya untuk menyederhanakan persoalan dan lari dari tanggung jawab kelembagaan. Misalnya, dalam kasus ini, Kepala Biro Penerangan (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko dalam pernyataan resminya mengenai kejadian ini pada Jumat, 21 Desember 2024, menyatakan “Kami memastikan tidak ada tempat bagi oknum yang mencoreng institusi.”
Istilah “oknum” menjadi tidak relevan lagi ketika kita melihat rentetan preseden mengenai perilaku koruptif polisi yang hampir menjangkiti semua level. Mulai dari yang berpangkat Jenderal seperti eks Kadivhubinter, Napoleon Bonaparte yang menerima suap miliaran, Irjen Teddy Minahasa yang terjerat masalah hukum karena menukar sabu barang bukti kasus narkoba dengan tawas, suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika yang melibatkan eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Pol. Edwin Hatorangan Hariandja, hingga bintara Satlantas Polres Bandara Soekarno-Hatta yang menerima pungli berupa sekarung bawang dari pengemudi truk pada 2021 lalu.
Preseden-preseden di atas merupakan bagian dari berbagai keberulangan masalah Polri seperti pelanggaran HAM, maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), hingga korupsi sebagaimana dicatat oleh berbagai organisasi masyarakat sipil maupun lembaga negara. Oleh karenanya, penggunaan istilah “oknum” dalam kasus-kasus yang melibatkan polisi merupakan kesalahan fatal dan merupakan bentuk pelecehan terhadap nalar publik.
Ketiga, walaupun sudah ada pernyataan tentang pemeriksaan terhadap 18 personil yang diduga berkomplot sebagai pelaku, namun hal tersebut masih jauh dari cukup. Hingga saat ini, berdasarkan informasi yang beredar, 18 personil tersebut sedang diproses oleh Bidang Propam Polda Metro Jaya yang diasistensi oleh Divisi Propam Mabes Polri. Namun, belum ada kejelasan mengenai proses hukum di ranah pidana terhadap para pelaku.
Kami khawatir proses ini hanya berujung dan terbatas pada proses etik semata. Pasalnya, sanksi etik tanpa proses pidana, atau bahkan tanpa sanksi sama sekali bagi Polisi yang melakukan tindak pidana merupakan pola yang jamak untuk melanggengkan impunitas polisi. Berdasarkan catatan pemantauan dan pendampingan LBH Jakarta, terdapat 58 kasus penyiksaan yang pelakunya tidak dihukum secara pidana dan etik sepanjang 2013-2022.
Dalam kasus-kasus lain yang menyita perhatian publik, kita dapat melihat gambaran yang lebih jelas. Dalam kasus represifitas dan penangkapan massal terhadap massa aksi seperti dalam aksi #ReformasiDikorupsi 2019, aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja 2020, atau Aksi Peringatan Darurat 2024, hingga saat ini tak ada proses sama sekali terhadap pelakunya, baik secara etik maupun pidana.
Keempat, kami menyayangkan ketiadaan transparansi mengenai identitas dan jabatan personil kepolisian tersebut, serta motif dan peran masing-masing dalam kasus ini. Hal ini kami nilai sebagai standar ganda apabila dibandingkan dengan kasus lain yang melibatkan masyarakat selain polisi. Dalam berbagai kasus narkotika misalnya, polisi kerap menampilkan pelakunya dalam konferensi pers, seperti artis Nunung yang terjerat kasus narkotika pada 2019, atau yang terkini artis Andrew Andika yang terjerat kasus narkotika pada Oktober 2024 lalu.
Selain itu, dengan kondisi yang demikian, menjadi wajar apabila publik mencurigai bahwa proses terhadap 18 personil ini hanya berada pada level pelaku lapangan dan tidak menyentuh pelaku di level pengambil keputusan. Padahal, dengan struktur Polri yang hierarkis, sulit bagi bagi seorang personil bawahan untuk bergerak tanpa persetujuan atau sepengetahuan atasannya. Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus ini, kami yakin proses yang ada hanya mengkambinghitamkan bawahan sebagai pelaku lapangan saja, sehingga kasus ini tidak diungkap secara komprehensif.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendesak agar:
- Kapolri meminta maaf kepada korban dan mengakui kejadian ini sebagai masalah institusional dan sistemik kepolisian;
- Kapolri segera mengungkap dan menyelesaikan kasus ini secara komprehensif dengan transparan dan akuntabel, serta menindak tegas para pelakunya yang tidak terbatas hanya pada pelaku level lapangan;
- Kapolri berkomitmen dan tidak resisten terhadap ikhtiar-ikhtiar reformasi total kepolisian;
- Komnas HAM RI, Ombudsman RI, dan Kompolnas RI secara proaktif mengambil sikap dan menindaklanjuti persoalan ini sesuai cakupan wewenangnya, serta aktif mendorong upaya reformasi total kepolisian;
- Presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang masalah di tubuh kepolisian serta urgensi reformasi total terhadapnya;
- Presiden dan DPR segera menindaklanjuti persoalan-persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan agenda konkret reformasi kepolisian total yang berkelanjutan, secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja profesional, transparan, dan akuntabel Polri.
Jakarta, 22 Desember 2024
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Narahubung:
- Fadhil Alfathan (Direktur);
- Astatantica Belly Stanio (Kabid Eksternal).