Policy Brief
Kasus yang menimpa Pertamina berimplikasi luas tidak hanya pada kerugian negara dari selisih subsidi dan kompensasi BBM. Konsumen jelas dirugikan karena membayar selisih harga BBM Pertamax dengan RON yang lebih rendah. Praktik Mafia Migas yang kembali berulang bahkan dengan mekanisme yang lebih kompleks. Pertama, permainan dari sisi penolakan minyak mentah dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) ke kilang milik Pertamina dengan alasan spesifikasi tak sesuai standar. Kedua, membuka ruang impor BBM dengan RON rendah, sehingga praktik banjir impor BBM semakin berisiko tinggi ke APBN. Ketiga, melakukan blending (oplosan) BBM yang tidak sesuai dengan peraturan. Ketiga alasan ini membuat LBH Jakarta dan
CELIOS berinisiatif membuka posko aduan konsumen yang merasa dirugikan dari praktik Mafia Migas Jilid II.
Permainan RON rendah sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya. Secara historis pernah ada suatu masa penggunaan RON kadar rendah atau RON 88 terjadi saat pemerintah mempunyai produk BBM yang relatif sedikit. Premium (RON 88) menjadi bahan bakar utama yang digunakan secara luas karena harganya yang murah akibat subsidi. Namun, seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia dan tekanan fiskal, pemerintah mulai mengurangi subsidi BBM,
terutama pada awal 2000-an.
Impor RON 88 turut menghiasi pemberitaan pada saat Mafia Migas Jilid I dimana Pertamina melakukan impor RON 88 via Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES) dalam rantai pasokan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Pada periode 2010-2013 para tersangka melakukan aksi suap menyuap impor RON 88 yang merugikan keuangan negara. Indonesia juga ditengarai menjadi negara yang bergantung pada RON 88 disaat banyak negara lain beralih ke RON yang lebih tinggi.
Sementara itu Pertamax RON 92 pertama kali diperkenalkan pada 10 Desember 1999 sebagai pengganti Premix 1994 dan Super TT 1998, karena kandungan MTBE yang berbahaya bagi lingkungan. Dengan kadar oktan minimal 92 dan standar internasional, Pertamax ditujukan bagi kendaraan dengan kompresi rasio 10:1 hingga 11:1 atau yang menggunakan teknologi EFI. Seiring waktu, Pertamina luncurkan Pertamax Plus (RON 95) pada 2003 dan Pertamax Turbo (RON 98) pada 2016 untuk memenuhi kebutuhan kendaraan dengan mesin berperforma tinggi. Kebijakan energi di Indonesia turut berpengaruh terhadap penggunaan Pertamax, terutama sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2015 mengurangi subsidi BBM, mendorong peralihan dari Premium ke Pertamax.
Seiring dengan pertumbuhan populasi dan ekspansi industri, konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Kualitas BBM menjadi kritikal karena langsung mempengaruhi efisiensi dan performa mesin, serta keberlanjutan lingkungan. Bahan bakar dengan oktan yang lebih tinggi seperti Pertamax (RON 92) menawarkan pembakaran yang lebih bersih dan efisien, penting untuk mengurangi emisi dan meningkatkan umur mesin.
Laporan Rekapitulasi Aduan Pertamax Oplosan LBH Jakarta & Celios: UNDUH