Siaran Pers
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Mahful Muis dan Abdussalam 12 tahun serta Andry Cahya 10 tahun penjara menunjukkan betapa ketidakadilan secara telanjang dipertontonkan dalam proses peradilan. Sebab, selama lebih dari 20 kali persidangan dalam waktu lebih dari 4 bulan, fakta-fakta persidangan yang terkumpul dari 24 saksi fakta dan saksi ahli yang dihadirkan justru mayoritas meringankan ketiga terdakwa. Ironisnya, fakta-fakta persidangan tersebut seakan diabaikan dalam tuntutan yang diajukan oleh JPU.
“Kita sudah berbulan-bulan sidang, tuntutan itu kan dibuat berdasarkan fakta-fakta persidangan, tapi ini berdasarkan BAP. Yang buat tuntutan Jaksa atau orang lain?” tanya Andry Cahya (Terdakwa III) kepada Majelis Hakim ketika JPU selesai membaca tuntutannya.
Senada dengan Terdakwa 3, Pratiwi Febry selaku Penasehat Hukum menilai bahwa isi tuntutan tersebut cenderung mengulang hasil penyidikan. Padahal, proses BAP lebih banyak menanyakan pendapat para saksi, bukan tentang fakta-fakta peristiwa dan hukum. Akibatnya, keterangan yang disampaikan para saksi lebih berupa perkiraan dan asumsi.
Keganjilan-keganjilan lain pun banyak ditemukan selama proses peradilan mereka, mulai dari BAP, administrasi peradilan, saksi pelapor, perlakuan Majelis Hakim yang berat sebelah dan lain-lainnya (terlampir). Penodaan agama dan makar sendiri adalah bentuk kriminalisasi yang tengah naik daun di Indonesia. Pasal penodaan agama sebenarnya adalah ‘pasal karet’ yang kerap digunakan sebagai praktik negara melakukan “inkuisisi” kepada seseorang atau organisasi tertentu yang berbeda paham atau pandangan keyakinannya dengan agama mainstream.
Dalam membacakan pembelaannya, Terdakwa I Mahful Muis Tumanurung berpandangan bahwa syahwat kelompok intoleran yang selalu ingin memidanakan pimpinan dan pengikut paham Millah Abraham dan paham keagamaan minoritas lainnya seharusnya dapat diredam dan dikendalikan.
“Pimpinan agama-agama, MUI dan pemerintah seharusnya mengedepankan langkah-langkah sosial berupa dialog dan mediasi,” ujar Mahful Muis.
Mengacu kejanggalan-kejanggalan di atas, Tim Penasehat Hukum menyatakan keberatan atas tuntutan yang dijatuhkan kepada ketiga terdakwa dengan alasan-alasan berikut:
- Menodai atau menistakan adalah perbuatan merendahkan atau menjadikan hina. Tidak ada niatan mereka untuk mencela atau menganggap rendah sebuah ajaran agama atau bahkan berniat untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dugaan makar yang dituduhkan kepada ketiga terdakwa tidak memenuhi syarat dan kompetensi.
- Perbedaan pendapat dan cara berpikir tidak dapat dihukum, karena hal tersebut bukanlah tindakan pidana atau membantu perbuatan jahat. Ketidaksetujuan atau perbedaan penafsiran adalah implikasi atas kebebasan manusia dalam menyatakan sikap dan mengeluarkan pendapat yang dilindungi dalam Pasal 28E UUD ‘45.
- Selain itu, sesuai konstitusi Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan memiliki UU terkait HAM maka keyakinan beragama atau berkeyakinan dijamin dalam Pasal 29 UUD ‘45. Oleh karenanya tuntutan yang diajukan oleh Tim Jaksa Penuntut Umum adalah merupakan bagian dari kriminalisasi terhadap kebebasan berkeyakinan, berpikir dan berekspresi.
Berdasarkan hal-hal di atas, Tim Penasehat Hukum meminta kepada Majelis Hakim dan Tim Jaksa Penuntut Umum untuk membebaskan mereka dari tuntutan Pasal Penodaan Agama Pasal 156a KUHP dan juga Pasal Makar Pasal 110 KUHP jo. Pasal 107 KUHP.
Jakarta, 17 Februari 2017
Narahubung: Asfinawati 0812 821 8930, Pratiwi Febry 0813 8740 0670, Yudistira ARH 0815 7884 7777
Keterangan: Ada dua pembacaan pledoi atau pembelaan dalam persidangan yang disampaikan oleh: pertama, ketiga terdakwa eks-Gafatar; dan kedua, Tim Penasehat Hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Takbir). Sidang pledoi digelar Kamis, 16 Februari 2017, dimulai pkl. 15.00 dan berakhir pkl. 23.40 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.