Sejumlah organisasi buruh dan elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) dan LBH Jakarta melakukan audiensi dengan Mahkamah Agung (MA), Senin (02/04). Audiensi ini dilakukan guna membahas banyaknya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang merugikan buruh. Surat edaran yang dibahas adalah SEMA Nomor 7 Tahun 2012, SEMA Nomor 3 Tahun 2015, dan SEMA Nomor 3 Tahun 2018.
Audiensi ini dibuka dengan pernyataan dari masing-masing perwakilan buruh yang tergabung dalam GEBRAK. Perwakilan dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menyoroti SEMA Nomor 7 Tahun 2012, dalam pernyataannya ia menyatakan bahwa SEMA Nomor 7 Tahun 2012 itu jelas sekali merugikan buruh. Hal tersebut dikarenakan dalam SEMA No. 7 Tahun 2012 debitur yang sudah dinyatakan pailit, tidak dapat ditindaklanjuti oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pemutusan hubungan kerja. Ini menghilangkan hak-hak buruh atas upah dan hak-hak lainnya.,” ungkap Perwakilan KPBI.
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana juga menyoroti SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang upah proses yang dibatasi hanya selama 6 bulan. Menurut penelitian LBH Jakarta terhadap 3.000 kasus perburuhan, upah proses paling lama baru bisa terselesaikan setelah 7 tahun proses hukum.
“Kewenangan dari MA tampaknya telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga yudikatif. MA juga telah melakukan pembangkangan secara eksplisit terhadap Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang merupakan aturan yang lebih tinggi,” kata Arif.
Sedangkan Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) mengeluhkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penghilangkan Hak Pengurus Serikat Buruh di Luar Perusahaan dan Konfederasi untuk Beracara Pengadilan Hubungan Industrial yang tertuang pada Pasal 82. Permasalahan pada SEMA No. 3 Tahun 2018 juga tidak kalah krusial. Dalam SEMA tersebut buruh yang dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kemudian berubah status menjadi buruh dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), kemudia di PHK, tidak berhak atas upah proses.
Gebrak mengungkapkan pada audiensi tersebut bahwasannya Konstitusi sesungguhnya telah mengatur peran negara dalam rangka memberikan keadilan dalam relasi yang tidak seimbang ini. Namun, hubungan yang tidak seimbang ini semakin diperparah dengan munculnya SEMA. Munculnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012, SEMA Nomor 3 Tahun 2015, dan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 semakin menguntungkan kelompok modal yang berakibat semakin menindas buruh.
Sebagai penutup, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dengan tegas meminta kepada MA untuk mencabut atau merevisi semua surat edaran yang merugikan buruh. (Ryan)