Komisi IX telah mengajukan empat RUU untuk masuk Prioritas Prolegnas 2015, di mana salah satunya adalah RUU Perlindungan PRT
Rabu, 26/11. Setelah melakukan mogok rasa selama dua hari, akhirnya perwakilan dan Pekerja Rumah Tangga diterima Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Melalui audiensi yang berlangsung di Ruang Rapat Baleg tersebut, para perwakilan menyampaikan tuntutan mereka agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2014-2019, serta menjadi prioritas Prolegnas 2015.
Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Perlindungan PRT (JALA PRT) Lita Anggraini menyatakan bahwa RUU Perlindungan PRT sudah diajukan sejak tahun 2004, setelah melakukan berbagai kajian, penelitian, dan pengorganisasian PRT. RUU ini masuk Prolegnas 2004, namun tidak mengalami pembahasan dalam jangka waktu yang lama, bahkan sempat hampir dikeluarkan dari Prolegnas. Setelah melakukan berbagai aksi dan tuntutan, baru pada 2012 RUU ini mulai dibahas. Studi Banding ke Afrika Selatan dan Argentina serta Uji Publik di Makassar dan Jawa Timur juga sudah dilakukan anggota DPR periode lalu. Namun hingga akhir pemerintahan mereka, tidak ada kemajuan yang signifikan di dalam pembahasan.
Ketiadaan regulasi mengakibatkan PRT berada dalam situasi yang tidak layak. “Kawan-kawan PRT adalah pekerja, dan mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak,” ungkap Lita. Selama ini, PRT tidak mendapatkan hari libur, tidak mendapatkan jaminan sosial, dilarang berkomunikasi, dan berserikat, sertadiupah dengan sangat rendah. “Contoh saja, di Jakarta, rata-rata PRT digaji Rp400 ribu sampai Rp500 ribu,” katanya.
Masih menurut Lita, PRT juga rentan mengalami berbagai kekerasan. “Selama tahun 2013, terdapat 653 kasus kekerasa ekstrim yang dialami oleh PRT,” ungkapnya. Hal itulah yang menjadikan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi penting untuk diatur di dalam UU. “Kalau bulan Januari nanti RUU ini tidak masuk Prolegnas, kami siap mogok makan lagi,” tegas Lita.
Tuntutan RUU Perlindungan PRT juga disampaikan oleh dua orang Pekerja Rumah Tangga asal Jogja yang mengikuti aksi Mogok Makan. Ririn Sulastri dari Serikat PRT DIY menyatakan bahwa selama ini banyak kasus yan dialami oleh PRT. Meski di Jogja sudah banyak yang berserikat, namun masih banyak yang mengalami berbagai kasus kekerasan, seperti pelecehan seksual. Berdasarkan pengalaman Ririn, ketika mengalami pelecehan dan melaporkannya ke pihak yayasan, pihak yayasan malah menyalahkan dan menuduh PRT yang menggoda. PRT juga tidak bisa melapor ke pihak lain, karena belum ada aturannya. “Kalau tidak ada peraturan, kita harus mengadu dengan siapa,” ungkap Ririn.
Kekerasan juga dialami oleh Jumiyem, yang menjadi PRT sejak usia 15 tahun. “lebih dari 10 kali saya pindah bekerja, tapi tidak ada perubahan sama sekali dalam kondisi kerja saya,” tandasnya.
Nisaa Yura dari Solidaritas Perempuan mengingatkan bahwa Pekerjaan Rumah Tangga merupakan pekerjaan yang sangat penting. Pekerjaan sebagai anggota DPR, atau pekerjaan di ruang publik lainnya mustahil bisa dilakukan dengan lancar tanpa ada yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Karena itulah PRT adalah pekerja yang sama seperti pekerja lainnya. Untuk itu, regulasi dalam bentuk UU sangat penting tidak hanya untuk melindungi PRT di dalam negeri tetapi juga sebagai dasar perlindungan bagi PRT migran.
Beberapa langkah yang sudah dilakukan oleh periode sebelumnya hendaknya diteruskan dengan langkah konkret untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT menjadi UU. “Saya mohon untuk periode kali ini tidak berjalan mundur,” pungkas Nisaa.
Perlindungan PRT juga menjadi tuntutan dari kelompok Buruh. Yunus Toisuta dari KSPSI mengungkapkan PRT sudah seharusnya diformalkan. “Kami minta supaya UU PRT segera disahkan, agar mereka juga menjadi pekerja formal dan mereka juga setara di depan hukum,” tegasnya.
Menanggapi tuntutan Pekerja Rumah Tangga, Wakil Ketua Baleg, Firman Subagyo menyatakan Baleg akan mendukung RUU Perlindungan PRT. Dia mengungkapkan Komisi IX telah mengajukan empat RUU untuk masuk Prioritas Prolegnas 2015, di mana salah satunya adalah RUU Perlindungan PRT. “Dari hasil pertemuan ini, pada waktu harmonisasi kami akan bicarakan pentingnya UU ini juga bisa menjadi skala prioritas untuk tahun 2014, 2015,” janji Firman.
Sementara itu, anggota Baleg yang lain, Chaerudin menyatakan kepeduliannya terhadap kasus-kasus yang menimpa PRT. “Kasus-kasus jangankan 600 kasus, satu kasus pun harus ada perlindungan harus ada Undang-undangnya,” tegasnya. Menurutnya, pendidikan, pelatihan, dan pembinaan, akses informasi dan komunikasi, hak untuk beribadah dan akses terhadap pendidikan agama merupakan hak PRT yang perlu diatur. “Berikan mereka ruang, dengan perjanjian kerja,” lanjut Chaerudin.
Senada dengan Firman dan Chairudin, tiga anggota Baleg lainnya, yaitu Jefri Wiru Kore, Moreno Suprapto, dan Delia Pratiwi juga menyatakan dukungan mereka terhadap RUU Perlindungan PRT.
Baleg juga membuka ruang untuk kajian dan argumentasi tertulis untuk RUU yang diajukan. Jala PRT menyerahkan pernyataan sikap dan lembar fakta sekaligus berkomitmen akan mengirimkan bahan-bahan lainnya terkait RUU Perlindungan PRT.
Diterimanya perwakilan PRT oleh Baleg, mengakhiri aksi mogok makan PRT yang diikuti oleh empat orang PRT dari Jogja dan satu orang dari organisasi PRT sejak Selasa, 25/11. “Saat ini kami hentikan aksi mogok makan kami. Namun kami akan terus mengingatkan dan mendesak Baleg, DPR dan Pemerintah agar memasukan RUU Perlindungan PRT dalam pembahasan Prolegnas Januari nanti, serta segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut,” tandas Lita.