Diundangkan sejak tahun 2012 dan mulai efektif berlaku Juli 2014 lalu, pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dinilai masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), adalah pihak Kepolisian belum memahami arti diversi sebenarnya.
Merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU 11/2012, pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Lalu, Pasal 5 ayat (3) menegaskan “dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi”.
Aktivis LBH Jakarta, Tommy Albert Tobing mengatakan banyak aparat Kepolisian yang menangani diversi di lapangan justru terlihat kurang paham tentang arti diversi sebenarnya. Yang terjadi, kata Tommy, diversi maknai secara sederhana oleh polisi yakni mempertemukan anak pelaku dengan anak korban atau keluarga masing-masing untuk kemudian mereka berbicara.
“Saya pikir mungkin polisi tidak paham bagaimana posisi diversi yang sebenarnya, kemudian tidak cukup dibekali, kapasitasnya ditingkatkan untuk bagaimana mereka menjalankan tugasnya sebagai orang yang melakukan diversi,” paparnya dalam acara diskusi “Prospek Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”, Selasa pekan lalu (18/11).
Menurut Tommy, berdasarkan pengalamannya menangani kasus-kasus anak, ketidakpahaman tentang arti diversi tidak hanya dialami polisi, tetapi juga jaksa dan hakim. Tommy mengatakan permasalahan seputar pelaksanaan UU 11/2011 juga berpangkal pada kelambanan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan terkait undang-undang tersebut.
Selain ketidakpahaman aparat hukum, Tommy menyebut permasalahan lain yakni belum banyak pengacara yang terbiasa mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum memiliki kesadaran bahwa yang menjadi perhatian utama dalam sistem peradilan pidana anak adalah kepentingan terbaik untuk si anak. (hukumonline.com)