Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah membacakan putusannya terhadap enam permohonan pengujian materiil mengenai Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (“UU Pemilu”), yang dibacakan Senin (16/10) khususnya terkait syarat usia menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Hal yang membuat pengujian materiil ini menjadi diskursus publik adalah dikaitkannya dengan sengkarut konflik kepentingan yang mendorong anak Presiden yang juga keponakan Ketua MK untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2024 mendatang. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 memberikan penafsiran syarat mencalonkan diri sebagai Calon Presiden/Wakil Presiden untuk yang belum genap berusia 40 tahun harus sudah pernah menjabat sebagai anggota DPR dan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.
Sebelumnya, MK melalui Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 telah mengkonfirmasi ketidakberpihakannya dengan menjadi stempel dalam upaya Presiden dan DPR untuk memberlakukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Atas adanya situasi dan kondisi akibat serangkaian peristiwa tindakan MK tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menolak keras praktik konflik kepentingan dan anomali putusan dari MK yang tentunya mencederai jalannya negara hukum (rule of law) dan iklim demokrasi di Indonesia. Atas dibacakannya putusan yang mengabulkan sebagian permohonan, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, praktik konflik kepentingan (conflict of interest) yang dilakukan secara terang-terangan antara Ketua MK dan Presiden RI. Konflik kepentingan dalam perkara a quo adalah dimana terdapat keterkaitan perkara yang sedang diadili dengan Ketua MK, Presiden dan Gibran yang mana merupakan kemenakan dari Ketua MK sekaligus anak dari Presiden RI.
Menyangkut konflik kepentingan, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang diperjelas dalam UU No 28 Tahun 1999 menyebutkan, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Kecenderungan konflik kepentingan diikuti dengan dilegalisasinya rangkap jabatan, hal ini membuat singgungan kepentingan kepentingan antar kementerian/lembaga tidak berpijak pada penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.
Kedua, Inkonsistensi penafsiran ke dalam ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dan doktrin MK sebagai negative legislator, terdapat fakta dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Perdebatan dalam RPH dan putusan a quo menunjukkan tidak ada alasan dan penjelasan yang cukup bagi MK untuk mengambil keputusan sebagai legislator from the bench dan bertindak sebagai judicial activism.
Pemenuhan pertimbangan MK untuk mengambil tindakan judicial activism dapat dilihat dari fakta-fakta dalam RPH memunculkan pandangan hukum (legal opinion) padanan usia minimal 40 tahun antara lain berpengalaman sebagai Gubernur/Bupati/Walikota, sebanyak 2 (dua) orang hakim mengabulkan untuk sebagian dengan alasan yang berbeda terkait pertimbangannya, yakni hanya terbatas berpengalaman sebagai Gubernur yang kriterianya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sebanyak 1 (satu) orang hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebanyak 2 (dua) orang hakim berpendapat bahwa perkara ini bukan merupakan permasalahan inkonstitusionalitas norma, tetapi merupakan opened legal policy, sebanyak 1 (satu) orang hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu permohonan pemohon dinyatakan gugur. Padahal, melihat komposisi pandangan hukum menyoal elected official sudah terbaca dalam kerangka kolektif kolegial seharusnya hanya menjangkau jabatan publik Gubernur sebagai padanan usia minimal 40 tahun. Selain itu, sebenarnya argumentasi pendapat hukum yang sama secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.
Ketiga, Anomali putusan MK, menjauhkan promosi demokrasi dan kepercayaan publik di Indonesia, terlepas jadi atau tidaknya kemenakan dari Ketua MK dan anak dari Presiden maju dalam kontestasi Pilpres 2024 kehadiran putusan ini sudah kadung menurunkan kepercayaan publik (declining public trust) terhadap jalannya ketatanegaraan terkhusus sisi integritas dan kenegarawanan para hakim konstitusi. Artinya, prasangka publik terhadap MK sekarang terkhusus adalah akibat perdebatan publik yang tidak imbang tentang peradilan, terdapat harapan publik terhadap putusan tidak terpenuhi.
Berangkat dari beberapa poin catatan kami di atas, LBH Jakarta mendesak:
- Pejabat pada Lembaga Tinggi Negara dan Kementerian/Lembaga lain untuk menghentikan praktik normalisasi konflik kepentingan yang berlangsung sebagai kewajiban pejabat publik yang menyelenggarakan fungsi bernegara agar tidak mencederai negara hukum dan iklim demokrasi di Indonesia;
- Ketua Mahkamah Konstitusi ke-6 merangkap Hakim Konstitusi untuk mundur dari jabatannya karena melakukan praktik konflik kepentingan antar Lembaga Tinggi Negara;
- Presiden RI untuk menyatakan sikap tegas atas adanya Putusan MK No. ..;
- Dewan Etik Hakim Konstitusi untuk bertindak sebagaimana tugasnya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim serta kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi, terkhusus fakta-fakta dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna mencegah Hakim Konstitusi tidak melakukan pelanggaran dari ketujuh prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi;
- Masyarakat sipil untuk terus melakukan kritik terhadap setiap kecenderungan kemunduran negara hukum dan iklim demokrasi di Indonesia.
Hormat kami,
LBH Jakarta