Penggusuran yang akhir-akhir ini banyak terjadi di DKI Jakarta dengan dalih normalisasi kali menyasar pemukiman warga di tepi sungai. Hal tersebut seperti kita ketahui bersama menyebabkan dampak yang tidak sedikit, dari sisi yang paling nyata adalah kehilangan tempat tinggal atau rumah. Secara sosial rumah tidak hanya sebagai bangunan untuk tempat berlindung dari cuaca panas dan hujan, beristirahat, tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya proses sosialisasi keluarga pertama kali untuk diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yang mana hal tersebut berpengaruh kepada pertumbuhan dan perkembangan karakter nanti menjalani kehidupan.
Selain hilang tempat tinggal dan rusaknya barang-barang terdapat dua kelompok yang paling rentan menjadi korban ketika terjadi korban penggusuran paksa, yaitu anak dan perempuan. Dampak yang terjadi terhadap anak-anak dapat bermacam-macam, seperti gangguan psikologis trauma dan stress, tidak bisa sekolah, kehilangan keceriaan, dan dampak lainnya.
Penggusuran yang disertai dengan penghancuran rumah dan barang (Demolition) menyebabkan terhambatnya pendidikan anak dan bahkan tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Contoh anak Pak Maman korban penggusuran paksa di Duri Tambora terpaksa mengikuti ujian akhir sekolah dengan menggunakan pakaian bermainnya dan sandal, ketika ditanya oleh gurunya anak tersebut menjawab dengan perasaan malu bahwa rumahnya baru saja digusur. Selain itu anak-anak korban penggusuran di Tanjungduren Jakarta Barat, nasibnya tak menentu dan tidak bisa sekolah karena pakaian dan buku miliknya tak sempat diselamatkan[1]. Belum lagi anak yang tidak mau sekolah malu atau mendapat bully dari teman-temannya karena tidak punya rumah lagi. Terhambatnya sekolah anak bisa juga karena orang tua yang juga korban penggusuran tidak dapat lagi membiayai anaknya sekolah. Hal ini jelas sangat merugikan anak dan terlanggar haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Selanjutnya dampak psikologis seperti trauma mendalam dan stress melihat dengan mata kepalanya sendiri rumah yang selama ini ditinggalinya hancur, barang-barangnya diangkut paksa dan kondisi diperparah bila terjadi tindak kekerasan. Selain itu pasca penggusuran anak-anak yang bertahan di lahan reruntuhan dengan tenda yang tidak layak akan memperburuk keadaan anak-anak. Bukan hanya sekedar memberikan dampak psikologi bagi anak seperti kehilangan keceriaan, tetapi dapat memberikan dampak kesehatan bagi anak. Biasanya penyakit yang muncul adalah ISPA dan gangguan pencernaan. Akumulasi dari dampak penggusuran ini terhadap anak-anak sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, ini yang sering luput dari perhatian pemerintah ketika melakukan penggusuran.
Bila tidak diatasi, dampak psikologi ini bisa bertambah parah atau akan terus ada pada anak-anak hingga dewasa nanti. Ini seperti bom waktu yang akan membentuk karakter dan kepribadian yang kurang baik bagi anak-anak. Biasanya penanganan terhadap korban penggusuran salah satu fokusnya adalah memastikan kondisi anak menjadi tidak lebih buruk saat digusur seperti diprioritaskan untuk mendapat shelter/penampungan sementara yang baik. Anak-anak juga mendapat pendidikan sementara dan permainan-permainan dengan difasilitasi oleh pendamping untuk mengurangi dampak stress dan trauma healing, disamping pemberdayaan lainnya.
Korban penggusuran yang rentan selain anak-anak adalah perempuan khususnya kaum ibu. Perempuan seringkali menanggung beban dan dampak yang paling berat dalam menghadapi penggusuran paksa. Hal ini terkait dengan peran, sumbangan dan komitmen perempuan terhadap keberlangsungan hidup keluarganya. Perempuan menjadi rentan karena ketika penggusuran seringkali menggunakan kekerasan dan upaya paksa sehingga perempuan sering menjadi korban. Tak jarang juga ketika terjadi penggusuran kaum ibu melakukan aksi menghadang petugas penggusuran dan terjadi bentrok. Saat penggusuran pun biasanya kaum ibu harus menjaga barang-barang miliknya beserta anak-anaknya disaat yang sama kaum laki-laki sibuk menghadang petugas penggusuran atau membereskan barang-barang.
Handika Febrian
Pengacara Publik LBH Jakarta
[divider]
[1] http://news.liputan6.com/read/64212/anak-anak-korban-penggusuran-tak-bisa-sekolah (diakses pada 27 oktober 2014)
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]