LBH Jakarta mendesak Majelis Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk meminta maaf dan menyatakan mereka telah melakukan salah tangkap, salah proses, dan penyiksaan terhadap para anak-anak pengamen Cipulir. LBH Jakarta juga mendesak negara melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk memberikan ganti rugi materiil dan immateriil terhadap anak-anak yang kini sudah dewasa tersebut.
Anak-anak pengamen Cipulir (Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), Pau (16)) ditangkap oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada Juli 2013. Keempat anak tersebut dituduh melakukan pembunuhan terhadap sesama pengamen anak dengan motif berebut lapak mengamen. Tanpa bukti yang sah secara hukum, mereka ditangkap dan dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan kepolisian. Bermodalkan pengakuan dan ‘skenario’ rekayasa hasil penyiksaan, keempat anak tersebut kemudian diajukan ke pengadilan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sehingga harus merasakan dinginnya jeruji penjara sejak masih kanak-kanak.
Belakangan terbukti di persidangan bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan mereka bukanlah pembunuh korban. Setelah melalui persidangan berliku dan diwarnai salah putus, mereka kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016. Total, mereka sudah mendekam di penjara selama 3 tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Belum lagi perlakuan penyiksaan yang mereka terima dari kepolisian dengan cara disetrum, dipukuli, ditendang, dan berbagai cara penyiksaan lainnya.
Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusan Peninjauan Kembali menyatakan, “Bahwa alasan penyiksaan, tidak ada pendampingan penasihat hukum sehingga keterangan tersebut terpaksa dikarang dan tidak sesuai dengan fakta dapat dibenarkan karena para terpidana masih anak-anak yang gampang untuk ditakut-takuti dan tidak ada saksi lain yang mendengar sendiri, melihat sendiri, atau merasakan sendiri pada saat kejadian. Oleh karena itu tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menyatakan para terpidana sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan terhadap korban”.
Bermodalkan putusan tersebut, anak-anak yang kini sudah dewasa ini mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian dengan pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebagai termohon serta Kementerian Keuangan RI sebagai turut termohon. Praperadilan ini juga merupakan kali kedua setelah sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan ganti rugi kepada kedua terdakwa lainnya yang saat itu sudah dewasa, Andro dan Nurdin. Ganti kerugian tersebut ditetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui penetapan Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel sejumlah Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) karena disiksa dan dipenjara selama 7 (tujuh) bulan. Kedua orang dewasa yang ikut dituduh membunuh bersama mereka ini telah dibebaskan lebih awal oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui Putusan Nomor 50/PID/201/PT.DKI pada 5 Maret 2014.
Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan Hari Bhayangkara pada 1 Juli yang lalu, namun kasus ini kembali mengingatkan kita bahwa praktik-praktik penyiksaan untuk memeras pengakuan terdakwa masih dilakukan oleh kepolisian. Serupa dengan Kejaksaan Republik Indonesia yang akan merayakan Hari Adhyaksa pada 22 Juli mendatang masih terus saja melimpahkan perkara yang tidak jelas bukti-buktinya ke pengadilan, seperti yang terjadi dalam kasus salah tangkap dan penyiksaan anak-anak pengamen Cipulir ini.
Berdasarkan hal tersebut di atas LBH Jakarta mendesak:
- Presiden untuk merumuskan dan mengimplementasikan langkah-langkah penghentian penyiksaan terhadap tersangka, antara lain membuat undang-undang tentang anti penyiksaan, ratifikasi Protokol Opsional Kovenan Internasional Menentang Penyiksaan yang sebelumnya telah diratifikasi pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;
- Majelis Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengabulkan permohonan praperadilan ini;
- Kepolisian Republik Indonesia menghentikan praktik penyiksaan terhadap para tersangka dan menghukum semua anggota kepolisian pelaku penyiksaan dan salah tangkap;
- Kejaksaan Republik Indonesia agar menolak perkara-perkara yang tidak jelas buktinya dan memaksimalkan fungsi pengawasan penyidikan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta menghukum jaksa-jaksa yang tetap memproses perkara yang tidak jelas alat buktinya tersebut.
Jakarta, 17 Juli 2019
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta