Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kembali menyidangkan gugatan terkait Keputusan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan No. 38 Tahun 2009 tentang Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam (08/10). Agenda persidangan pada kali ini memasuki tahapan pemeriksaan bukti dari pihak tergugat dan keterangan ahli. Pihak penggugat yang diwakili LBH Jakarta menghadirkan Bivitri Susanti sebagai ahli hukum tata negara dan Abdul Fickar Hadjar sebagai ahli hukum pidana.
Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam Surat Keputusan Menkopolhukam Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi, tercantum 3 tugas dan fungsi dari tim tersebut. Tim tersebut bertugas untuk melakukan kajian dan asistensi hukum terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum pasca pemilihan umum. Kemudian tim tersbut juga akan menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakkan hukum. Tim tersebut juga akan merekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil kajian hukum sesuai kewenangannya. Seluruh hasil kerja Tim Asistensi Hukum nantinya akan dilaporkan kepada Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Menanggapi tugas dan fungsi tim asistensi tersebut, Abdul Ficar Hadjar,S.H., M.H dalam persidangan menjelaskan bahwa dalam konteks peradilan pidana secara umum seluruh mekanismenya diatur dalam KUHP. Dalam Pasal 184 KUHP terdapat pengaturan mengenai alat bukti yang salah satu pengaturannya mengenai keterangan ahli.
“Maksud Saya disini adalah konteks Keterangan Ahli di dalam 1 rangkaian perkara pidana adalah ahli yang diperiksa setelah terjadinya perkara pidana dengan pendekatan scientific investigation penyidikan yang didasarkan atas dasar ilmu pengetahuan,” jelas Abdul Ficar.
Lebih lanjut, ahli menyebutkan bahwa bila sebagaimana tugas dan fungsi tim asistensi yang dimandatkan oleh surat keputusan berakhir dengan ‘memberikan rekomendasi kepada Aparat Penegak Hukum’, dan kemudian rekomendasi ini tidak masuk melalui 4 moda masuknya kasus pidana yang diatur oleh KUHP yakni melalui Pengaduan, pelaporan, tertangkap tangan maupun perkembangan perkara yang pernah ditangani oleh pihak kepolisian, maka dapat dikatakan hal ini merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Bivitri Susanti mengomentari korelasi Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan fungsi dan kewenangan dari kementerian itu sendiri. Bivitri menegaskan jika Kemenpolhukam ingin melakukan penegakan hukum sebaiknya dilakukan tanpa menimbulkan rasa takut dan disesuaikan dengan dasar negara hukum.
“Tapi kalau membentuk tim yang begitu mentereng begitu, diumumkan dalam sebuah Keputusan TUN dam pembentukan timnya kemudian diisi oleh para petinggi negara dan diumumkan ke masyarakat begitu sehingga menimbulkan rasa takut dan adanya pelanggaran negara hukum tadi,” jelas Bivitri.
Sebagaimana diketahui dasar dilayangkannya gugatan ini adalah surat keputusan ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum (inkonstitusional), mengancam demokrasi serta berpotensi menciderai nilai-nilai hak asasi manusia. Setelah pemeriksaan ahli berakhir, hakim menunda sidang hingga tujuh hari ke depan dengan agenda lanjutan yakni pemeriksaan akhir bukti surat, saksi dan ahli bagi para pihak. (Chikita)