Rabu (01/02), persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli pada perkara tiga orang terdakwa eks-anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yakni Mahful Muis, Drs. H. Abdussalam, dan Andry Cahya digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Agenda sidang kali ini masih dalam agenda mendengarkan keterangan saksi ahli. Ahli yang hadir pada persidangan kali ini adalah Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H, seorang pakar hukum pidana yang juga merupakan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dihadapan Majelis Hakim, ahli menjawab serangkaian pertanyaan yang diajukan oleh penasehat hukum para terdakwa. Ahli dalam keterangannya guna menjawab pertanyaan dari kuasa hukum terdakwa mengenai penodaan agama menerangkan, sebelum seseorang dijatuhi pidana berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 terlebih dahulu harus ada tindakan dari Menteri Agama bersama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia. Keterangan tersebut merujuk pada UU No. 1/PNPS/1965 yang dikenakan kepada para terdakwa.
Pada norma-norma yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, terdapat beberapa hal penting yang dikemukakan oleh ahli. Pertama, ahli menerangkan bahwa Pasal 3 dan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965, saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu persyaratan formil-administratif dalam Pasal 3 harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum Pasal 4 dapat diterapkan.
“Norma yang terkandung pada Pasal 4 juga terikat dengan norma pada Pasal 3 (UU 1/PNPS/1965), sehingga sudah seharusnya sebelum seseorang dapat dijatuhi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 4, terlebih dahulu harus ada tindakan dari Menteri Agama bersama Menteri/Jaksa Agung dan Mendagri atau oleh Presiden,” terang ahli dihadapan Majelis Hakim.
Masih dalam konteks yang sama, ahli menjelaskan bahwa jika ditinjau dari sisi historis pembentukan UU 1/PNPS/1965, maka masing-masing ketentuan dalam UU tersebut disadari oleh para penyusun UU sebagai hal yang sangat sensitif, sehingga tindakan represif dalam bentuk pemidanaan harus dihindari. Oleh karena itu ketika diajukan pertanyaan mengenai perlunya evaluasi terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri pasca tertuduh dijatuhi hukuman, ahli menilai tanpa adanya evaluasi tersebut, pemidanaan dengan menggunakan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 (156a KUHP) tidak memenuhi persyaratan formil.
Selanjutnya, penasehat hukum juga mengajukan pertanyaan perihal permulaan pelaksanaan terkait dengan pasal makar yang juga didakwakan oleh JPU. Terhadap pertanyaan yang diajukan, ahli menyatakan hal terpenting yang harus menjadi patokan untuk menilai apakah permulaan pelaksanaan tersebut telah terjadi atau tidak, adalah dengan melihat kemampuan untuk menyelesaikan delik. Ahli dalam hal ini tidak berada dalam posisi untuk dapat menilai sejauh mana kemampuan untuk menyelesaikan delik tersebut dapat diberikan, batasannya pada perkara makar untuk menggulingkan pemerintahan. Namun demikian, ahli menjelaskan bahwa yang penting untuk diperhatikan dalam konteks ini adalah kemampuan penyelesaian delik tersebut berkaitan dengan kemampuan untuk mengganti sistem pemerintahan yang sah, dan bukan dalam artian menandingi kekuatan TNI.
Setelah penasehat hukum selesai mengajukan pertanyaan, Majelis Hakim kemudian memberikan kesempatan bagi para terdakwa untuk bertanya pada ahli. Adapun pertanyaan yang diajukan oleh terdakwa salah satunya berkaitan dengan penerapan ketentuan Pasal 156a KUHP yang diselipkan kedalam KUHP melalui Pasal 4 UU 1/PNPS/1965. Terdakwa bertanya apakah Pasal 156a huruf a dan b dapat diterapkan secara alternatif, ataukah harus dibaca dan diterapkan sebagai satu kesatuan. Terhadap pertanyaan tersebut, Ahli memberikan penjelasan bahwa:
“Pasal 156a huruf a dan b merupakan satu kesatuan, dan tidak dapat dilihat secara sendiri-sendiri. Hal ini dapat dicermati dari susunan tata bahasa serta rumusan pasal tersebut, dimana huruf a mengatur soal perbuatan, dan huruf b mengenai kesalahannya, ketidakterpisahan ini juga terlihat dari dipergunakannya tanda baca titik koma pada bagian akhir huruf a,” jawab Eva Achjani.
Meskipun dalam praktiknya tidak pernah diterapkan sebagai satu kesatuan delik, namun Ahli berperndapat bahwa dalam kerangka berpikir yang teratur, kedua huruf dalam pasal tersebut tidaklah dapat dipisahkan penerapannya.
Selanjutnya, penuntut umum dan Majelis Hakim menanyakan kembali kepada Ahli mengenai hal-hal yang sebenarnya sudah ditanyakan sebelumnya oleh Penasehat Hukum maupun Para Terdakwa. Seperti perihal hubungan antara norma Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 dan penerapan Pasal 156a KUHP. Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan pada hari Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 10.00 WIB dengan agenda pemeriksaan ahli dari Penasehat Hukum dan para terdakwa. (Kosyi)