Pada hari Selasa, 22 Oktober 2013, LBH Jakarta bersama Serikat Buruh mengadakan Focuss Group Discussion (FGD) mengenai pembentukan unit khusus perburuhan di Kepolisian RI. Narasumber dalam FGD tersebut, diantaranya; Dr. Surastini, S.H., M.H. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Dr. Andari Yurikosari, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Diskusi ini dibuka oleh Eny Rofiatul Pengacara Publik LBH Jakarta, kemudian dilanjutkan Restaria F. Hutabarat memaparkan tentang urgensitas dibentuknya unit khusus perburuhan di Kepolisian RI. Dimana Resta mencontohkan beberapa best practices yang pernah dicapai untuk mendorong Polri membentuk tim khusus/divisi khusus, misalnya unit khusus perempuan dan anak, unit khusus sumber daya alam dan lingkungan, unit khusus cyber crime dan unit khusus lainya. Unit khusus yang paling cepat di bentuk di Kepolisian menurut Resta yaitu unit khusus cyber crime dimana kurang dari 2 tahun sejak UU ITE dibuat sudah ada unit kusus cyber crime di Kepolisian, dari pengalaman itu LBH Jakarta mendorong adanya unit khusus perburuhan di kepolisian di karenakan dari banyak data penanganan kasus LBH Jakarta dan sangat banyak kasus yang tidak diproses lebih lanjut di Kepolisian ujar resta.
Resta menjelaskan lebih lanjut, karena tidak adanya unit khusus perburuhan di Kepolisian menyebabkan kasus pidana perburuhan terhambat penanganannya di internal Kepolisian yang merugikan para buruh, karena;
- Pihak kepolisian mengalihkan penanganan pidananya ke ranah perdata (PHI);
- Buruh dipaksa menerima kesepakatan dan pengusaha melaporkan balik buruh kepada kepolisian dengan tuduhan pasal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, akhirnya pengusaha memaksa buruh mencabut laporannya.
- Pada saat buruh melaporkan dugaan tindak pidana perburuhan kepada Kepolisian RI tidak diterima, karena Kepolisian tidak mengerti hukum pidana perburuhan dan menganggap bahwa bukan kewenangannya tetapi merupakan kewenangan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
- Penyidik di Kepolisian kurang memiliki Pengetahuan dan kemampuan dalam membongkar tindak pidana perburuhan akhirnya penyidik tidak mampu untuk menanganinya;
- Keengganan aparat Kepolisian untuk menindak pelaku pidana perburuhan, biasanya dipicu oleh iklim investasi (pemerintah cenderung melindungi investor);
Setelah Resta menjelaskan urgensitas dibentuknya unit khusus perburuhan, kemudian Dr. Andari Yurikosari, S.H., M.H. menjelaskan bahwa menurut Penyidik di Kepolisian, buruh bukan bagian yang penting karena mengganggu keamanan negara dan merusak lingkungan, selain itu permasalahannya polisi tidak memahami hukum perburuhan pada umumnya, kasus dilaporkan di Kepolisian seperti anti serikat pekerja/buruh (union busting), upah tdk dibayar dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ketika dilaporkan kepada pihak kepolisian, Kepolisian kerap kali menggiring ahli ke arah yang mereka inginkan.
Menurut Andari kendala lainnya yang dimiliki oleh Penyidik di kepolisian dalam menyidik tindak pidana perburuhan yaitu menentukan suatu perkara perburuhan apakah masuk ranah pidana atau perdata. Terkadang Penyidik yang menangani kasus perburuhan bukan polisi yang memiliki kompetensi dan pengetahuan dibidang hukum perburuhan sehingga kasus tidak selesai, ditambah Pengawas sebagai PPNS pun fungsinya kurang sekali, terkadang pengawas menjadi ahli juga, “pengalaman pribadi saya hal seperti itu tidak mendukung penyelesaian, karena sebagian pengawas memiliki kompetensi yang sangat kurang” ujar Andari. Maka Menurut Andari Penting untuk membentuk unit khusus perburuhan di Kepolisian.
Setelah Ibu Andari selesai menjelaskan, selanjutnya Ibu Surastini yang menyampaikan pendapatnya, Surastini mengatakan bahwa sebetulnya ketentuan pidana yg ada di UU Ketenangakerjaan sifatnya hanya memperkuat sanksi lain, UU Ketenagakerjaan merupakan UU administrasi yang bersanksi pidana, berbeda dengan UU Tipikor. “Saya melihat dalam UU yang modelnya seperti ini cukup sulit bagi polisi, karena rumusan tindak pidana tidak jelas, karena tidak merumuskan unsur dengan jelas, kalau menurut saya harusnya pidana ultimum remedium” ujar Surastini.
Surastini menjelaskan lebih lanjut bahwa hukum perburuhan sangat erat dengan unsur-unsur perjanjian, itu juga yang membuat polisi menjadi kesulitan. Permasalahan lainnya Kepolisian RI tidak memahami hukum perburuhan, dan perburuhan dianggap tidak penting dan diberi ke penyidik yang kurang kompeten. Surastini mempertayakan Kepolisian dan pemerintah melihat seberapa penting masalah perburuhan itu ditambah “Pola relasinya antara PPNS Disnaker dan Kepolisian belum jelas, apakah PPNS bisa langsung ke jaksa atau tidak” ujar Surastini.
Atas penjelasan dari Surastini dan Andari, Ais dari Gerakan bersama buruh BUMN (Geber BUMN) menanggapi bahwa ia sepakat polisi tidak memiliki kemauan dan tidak menguasai hukum perburuhan. Saya melihat PPNS tidak berfungsi dalam kasus perburuhan, sampai sekarang saya masih bingung, padahal putusan MA (PHI) terbukti terjadi pelanggaran hukum ketenagakerjaan, rekomendasi ombudsman sudah keluar, tetapi sampai sekarang belum ada penegakan hukum, disamping itu juga menurut Ais Seringkali kasus perburuhan di Kepolisian berakhir dengan SP3.
Maruli dari Pengacara Publik LBH Jakarta menambahkan bahwa ia melihat hal yang berbeda, bahwa seringkali Penyidik di Kepolisian dalam menyidik tindak pidana perburuhan, Penyidik mencari jalan aman, dalam menentukan suatu perkara perburuhan merupakan tindak pidana dengan bergantung kepada pendapat ahli, sehingga pendapat ahli menjadi legitimasi bagi Penyidik Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara perburuhan di Kepolisian. “Oleh karena itu Menurut Maruli harus dibentuk unit khusus perburuhan di Kepolisian RI dengan adanya unit khusus tersebut maka Kepolisian akan lebih focus untuk menyidik tindak pidana perburuhan tutup Maruli.