Sidang kriminalisasi 26 aktivis yang ke 27 kembali digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (18/10). Agenda sidang ke 27 ini adalah pemeriksaan ahli dan sebagian dari terdakwa. Ahli yang dihadirkan kuasa hukum ke 26 aktivis adalah Sonny Maulana pakar ilmu perundang-undangan. Beliau dihadirkan untuk dimintai pandangannya terkait pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat ke 26 aktivis.
Dalam kesaksiannya, Sony menjelaskan ketentuan Pasal 216 ayat (1) KUHP yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) bukan merupakan amanat UU, tidak memenuhi unsur.
“Dalam dakwaan, saya menangkap bahwa tindakan tersebut adalah bukan berdasarkan undang-undang, namun berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2012, sehingga Pasal 216 ayat (1) yang didakwakan tidak memenuhi unsur, lagi pula berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Kapolri tidak sama dengan undang-undang yang secara hierarki lebih tinggi kedudukannya,” jelas Sony.
Tindakan guna menjalankan undang-undang dalam perkara ini diungkapkan oleh Sony baru akan tepat dijalankan jika tindakan tersebut merupakan langkah untuk menjalankan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Terkait Pasal 218 yang juga digunakan untuk menjerat para aktivis, ahli berpendapat bahwa kumpulan massa aksi unjuk rasa yang dilakukan pada 30 Oktober 2015 tidak termasuk dalam unsur kerumunan. Merujuk pada istilah dalam bahasa Inggris, kerumunan atau crowd berarti kumpulan orang dalam jumlah besar yang tidak teratur dan tidak terikat satu dengan lainnya. Untuk itu, Sonny mengatakan definisi tersebut bertentangan dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh pada 30 Oktober 2015 lalu.
Jika berpegang pada keterangan ahli, argumentasi yang mengemukakan bahwa dasar tindakan pembubaran aksi unjuk rasa adalah berdasarkan wewenang polisi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia tidaklah tepat. Sementara sejak awal dakwaan yang dijatuhkan kepada 26 aktivis berlandaskan pada Perka Polri 7/2012.
Keterangan Terdakwa
Setelah Ahli selesai memberikan pendapatnya, agenda persidangan kemudian langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap terdakwa Tigor, Obed, dan Hasyim yang merupakan bagian dari 26 aktivis yang dikriminalisasi. Selain perihal kronologi unjuk rasa yang berakhir dengan penangkapan, JPU pada intinya menanyakan perihal ada atau tidaknya surat tugas dari pimpinan LBH Jakarta dan kuasa dari para peserta unjuk rasa bagi Tigor dan Obed dalam melakukan pendampingan aksi unjuk rasa.
Tigor dalam jawabannya atas pertanyaan JPU, secara konsisten menjelaskan bahwa tugas pendampingan unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari pemberian bantuan hukum non-litigasi yang diberikan oleh LBH Jakarta. Menurut Tigor hal tersebut tidak memerlukan surat tugas dari pimpinan lembaga, sedangkan surat kuasa tidaklah perlu diberikan oleh peserta unjuk rasa dikarenakan yang melangsungkan unjuk rasa tersebut adalah peserta unjuk rasa sendiri.
“LBH Jakarta dalam pendampingan-pendampingan unjuk rasa seperti ini hanya menyiapkan surat kuasa kosong untuk menanggulangi terjadinya permasalahan hukum yang kami khawatirkan menimpa para peserta unjuk rasa,” jelas Tigor.
Sebelum sidang ditutup, hakim ketua memerintahkan kepada JPU agar tidak memperlambat proses pemeriksaan para terdakwa, dikarenakan perkara telah berlangsung cukup lama dan majelis hakim sendiri berencana akan merumuskan dan menjatuhkan putusan pada awal bulan November 2016 mendatang. (Kosi)