Pengungkapan kasus pembunuhan dengan peracunan terhadap Munir menghadapi dinamika dan tantangan baru. Pasca Komnas HAM membentuk tim ad hoc kasus Munir, akun twitter @Bjorka mengungkap kembali fakta-fakta pembunuhan Munir. Fakta-Fakta tersebut sejalan dengan fakta-fakta dalam temuan TPF dan proses hukum lanjutan, termasuk yang mewajibkan Pemerintah untuk mengumumkan kepada masyarakat hasil temuan dan rekomendasi. Namun sayangnya, tidak pernah dilakukan dengan alasan yang tidak masuk akal, yakni tidak menyimpan dokumen TPF tersebut.
Sebenarnya jika ditelusuri dari berbagai dokumen hukum yang dimiliki oleh KASUM, munculnya nama Deputi V BIN Muchdi Purwoprandjono sebagaimana disebutkan oleh @bjorka bukanlah hal baru. Keterkaitan antara Muchdi dan Pollycarpus berhasil ditemukan oleh TPF yang di antaranya saat itu menyatakan bahwa “adanya fakta sambungan telepon antara Polly dan Muhdi itu berlangsung sebelum dan sesudah aktivis HAM Munir tewas pada 6 September 2004. Terlacak ada 35 kali sambungan telepon antara keduanya.”[1]
Bahkan temuan TPF tersebut dikuatkan lagi oleh amar/pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan Fakta Persidangan dalam Putusan Perkara Pidana dengan Nomor: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, yaitu adanya komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi sebanyak “tidak kurang dari 41 kontak bicara”.
Muchdi pernah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk ditahan dan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun sayangnya keadilan dan kebenaran bagi korban menjadi kandas setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Muchi PR (Putusan No. 1448/Pid.B/2008/PN.JKT.SEL).
Kasum menilai putusan tersebut tidak sama sekali mempertimbangkan fakta hukum yang mengemuka di persidangan Muchdi PR, Indra Setiawan, maupun Pollycarpus Budihari Priyanto.
KASUM menilai Majelis Hakim kurang objektif, independen, imparsial, kompeten, jujur, adil dan benar sehingga salah menerapkan hukum pembuktian, termasuk juga mengabaikan bukti-bukti yang disajikan oleh jaksa penuntut umum. Kondisi itu lebih jauh diperparah oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membenarkan putusan tersebut.
Bahkan Tim Eksaminasi Putusan kasasi Muchdi PR yang hasilnya disampaikan oleh Frans Hendra Winarta memberikan rekomendasi untuk ”mengulang penyidikan,
penyelidikan, dan peradilan karena jaksanya tidak independen dan hakimnya tidak kompeten,”
Selain nama Muchdi, sebenarnya TPF menyebutkan nama mantan Kepala BIN AM Hendropriyono. TPF beberapa kali pernah memanggil AM Hendropriyono. Namun yang bersangkutan tidak pernah memenuhi undangan dan bersikap tidak kooperatif atas semua panggilan yang dilayangkan TPF. TPF juga pernah merekomendasikan kepada Presiden agar memerintahkan Kapolri saat itu untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap sejumlah nama, antara lain AM Hendropriyono, Muchdi PR, Bambang Irawan, Indra Setyawan, dan Ramelga Anwar, karena diduga merupakan aktor-aktor yang terlibat dalam permufakatan jahat pembunuhan Munir,[2] Sekali lagi, upaya tersebut kandas. AM Hendropriyono tetap tidak dapat disentuh oleh proses penegakan Hukum menunjukkan bahwa ada impunitas hukum di sini.
Sekarang kasus Pembunuhan Munir memasuki babak baru dengan dibentuknya Tim Ad Hoc Penyelidikan Pembunuhan Munir oleh Komnas HAM, Penyelidikan tersebut akan menyelidiki kasus ini dalam kerangka Pelanggaran HAM Berat yakni, kejahatan kemanusiaan. KASUM Meyakini bahwa pendekatan Pelanggaran HAM berat dalam kasus Munir sudah bisa dijalankan oleh Komnas HAM pasca hasil temuan dan rekomendasi TPF diserahkan ke Presiden pada 2004 karena semua unsur pidana kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma, dan UU Pengadilan HAM sudah terpenuhi secara sempurna.
Terkait Tim Ad Hoc tersebut KASUM menilai Pemerintah dan DPR RI ke depan wajib memastikan Tim ini dapat bekerja secara aman dan dapat memiliki akses terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kasus Pembunuhan Munir. Selain itu Lembaga Negara/Pemerintah lainnya, termasuk Badan Intelijen Negara, Garuda Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) wajib terlibat aktif membantu pelaksanaan penyelidikan Tim Ad Hoc tersebut.
Jakarta, 13 September 2022
Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)