Minimnya regulasi yang memberikan perlindungan ketenagakerjaan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) nampaknya bukan satu-satunya permasalahan yang melanda PRT. Selasa (29/11) silam, Insiyah seorang PRT yang hendak melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan upah dalam hubungan kerja justru harus tertunduk lesu. Usaha untuk mendapatkan haknya kandas oleh pihak kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat.
Oleh Polsek (Kebayoran Lama) dan Polres (Jakarta Selatan), laporan Insiyah ditolak. Insiyah bermaksud melaporkan majikannya yang tak kunjung membayar upahnya setelah 13 bulan ia bekerja. Pihak kepolisian berdalih bahwa Insiyah tidak memiliki bukti-bukti yang cukup agar laporannya dapat diterima. Oleh pihak kepolisian pula laporan Insiyah disimpukan bukan sebuah tindak pidana.
Merujuk pada kasus yang dialami oleh Insiyah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 12/2009”) pada Pasal 8 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa:
“Setiap laporan dan/atau pengaduan yang disampaikan oleh seseorang secara lisan atau tertulis, karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang wajib diterima oleh anggota Polri yang bertugas di SPK.”
Ketakutan pihak kepolisian terhadap atasan dalam penindaklanjutan suatu laporan yang jauh melebihi ketakutan akan kegagalan terhadap tugas pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakat—khususnya masyarakat kecil dan tertindas seperti Insiyah. Hal tersebut merupakan pertanda buruk dalam tegaknya keadilan bagi masyarakat tertindas. Ditutupnya pintu pelaporan dengan dalih tidak cukupnya bukti yang diajukan merupakan bencana bagi mereka yang miskin dan tertindas.
“Mekanisme pengkajian dimuka mengenai apakah suatu peristiwa mengandung cukup bukti untuk memenuhi unsur suatu pasal atau memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana sebagai prasyarat diterima/tidaknya laporan dari masyarakat merupakan pengkhianatan terhadap sendi-sendi keadilan itu sendiri,” ungkap Gading Yonggar Pengacara Publik LBH Jakarta menyikapi kejadian yang menimpa Insiyah.
Lebih lanjut, Gading juga menyatakan bahwa aparat kepolisian akan terus membebankan pembuktian pada pelapor, tanpa memperhatikan kondisi timpang yang besar kemungkinan terjadi antara pelapor dengan terlapor.
“Jika kondisi ini diterapkan pada perkara yang dialami ibu Insiyah, maka tentunya akan pupus harapan bagi Ibu Insiyah untuk mendapatkan keadilan melalui jalur pelaporan di kepolisian,” tambah Gading
Tragedi yang terjadi pada Ibu Insiyah merupakan pertanda bahaya dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Institusi kepolisian terkesan hanya akan membela mereka yang secara hitam diatas putih kuat. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki bukti-bukti padahal secara nyata mereka berada dalam posisi tertindas, harus rela jika laporannya tidak ditanggapi.
Selain itu, Gading juga berharap agar pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap para PRT yang saat ini semakin dipasung hak-haknya.
“Peritiwa penolakan laporan ini semakin menegaskan urgensi dari adanya payung hukum tersendiri bagi para PRT yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak asasi manusia mereka khususnya dalam lapangan ketenagakerjaan,” tutup Gading. (Kosyi)