Sidang perdana untuk 2 orang anak, KK (14) dan AA (16) yang dijerat Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951, digelar Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, (03/11). Kedua anak tersebut ditangkap karena kedapatan membawa benda tajam, keduanya terlibat perkara yang berbeda. Dalam persidang tersebut hakim menyatakan diversi tidak dapat dilakukan karena ancaman pidana kasus tersebut lebih dari tujuh tahun.
Kuasa hukum KK dan AA dari LBH Jakarta, Bunga Siagian, telah menyampaikan bahwa penafsiran diversi dapat diperluas jika hakim bijak. Sayangnya, hakim tidak sependapat dan tetap menggelar sidang perdana serta meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaannya.
Sebelumnya, Minggu 18 September 2016, KK ditangkap ketika sedang bermain di sebuah warnet di daerah Pasar Ikan, Penjaringan. Saat polisi memeriksa badan KK, Polisi mendapatkan sebuah alat panah kecil. Anak yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar tersebut langsung dibawa oleh polisi untuk diperiksa. Akan tetapi dalam prosesnya KK tidak didampingi, baik oleh penasehat hukum, orang tua, maupun Balai Pemasyarakatan. Ia langsung ditahan dan digabungkan dengan orang dewasa.
“Pihak Polsek Penjaringan pun tidak menggali fakta yang lebih dalam,” kata Bunga kuasa hukum KK.
Berdasarkan pengakuan KK, alat panah tersebut bukanlah miliknya, melainkan milik orang lain yang tidak dikenal. KK dipaksa dan diancam agar memegang senjata tersebut, sesaat sebelum KK memasuki warnet.
Di lain kesempatan, AA yang merupakan pelajar SMK kedapataan membawa senjata tajam dalam tasnya pada tanggal 13 Oktober 2016 lalu. AA ditangkap pada saat razia yang dilakukan oleh Polsek Penjaringan usai bermain futsal di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Menurut keterangan Bunga, proses penangkapannya AA terbilang cacat hukum.
“Tidak ada surat penangkapan, tidak didampingi baik orang tua, maupun penasihat hukum dan Balai Pemasyarakatan. Pada saat BAP, orang tua tidak diberitahukan, pada saat penahanan serta pelimpahan tahap 2 ke Kejaksaan orang tua juga tidak diketahui. Akhirnya AA ditahan sampai akhirnya ditangguhkan pada sidang kemarin,” terang Bunga
Menanggapi penolakan hakim atas permohonan diversi yang terjadi, Kepala Bidang Fair Trial LBH Jakarta, Arif Maulana mengatakan bahwa hakim sangat normatif. Menurutnya hakim tidak memiliki perspektif terhadap anak.
“Hakim masih memiliki stigma pelaku, dan tidak memandang anak adalah korban sebagaimana mandat Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Padahal undang-undang masih membuka kesempatan pada hakim untuk menggunakan kebijakannya dalam melakukan diversi pada setiap perkara anak,” jelas Arif.
Kuasa hukum AA dan KK pun selanjutnya menyampaikan di muka persidangan bahwa akan menggunakan hak anak untuk menyampaikan keberatan pada sidang selanjutnya, Kamis, 10 November 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. (Greg)