Thailand merupakan Negara Kerajaan di Asia Tenggara yang memiliki populasi sekitar 65 juta orang. Thailand baru dikenal pada tahun 1939 yang ratusan tahun sebelumnya dikenal dengan Negara Siam. Thailand memiliki sejarah atas kekerasan dan pemberontakan, hal ini mulai terjadi ketika Thailand (Siam pada masa itu) menganeksasi Kesultanan Patani (catatan: “Patani” adalah Kesultanan Thailand Selatan, sedangkan “Pattani” adalah salah satu provinsi di Thailand Selatan) pada tahun 1902 yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan separatis. Separatisme dilakukan karena pada kala penganeksasian, terdapat kebijakan asimilasi dari segi linguistik dan kebudayaan. Asimilasi ini merupakan kegagalan Negara karena menimbulkan diskriminasi kepada penduduk Patani yang mayoritas Melayu Muslim yang dihadapkan dengan budaya Thailand yaitu Thai Buddhist. Larangan menggunakan bahasa Melayu, larangan mengajar ajaran Islam di sekolah-sekolah dan tindakan represif aparat Negara terhadap protes masyarakat Melayu Muslim seperti pelanggaran hak asasi mereka, pembunuhan di luar prosedur hukum dan penghilangan paksa. Beberapa hal yang disebutkan ini adalah bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh Negara Thailand.
Semenjak asimilasi, konflik di Thailand merupakan suatu hal yang lumrah. Sekitar tahun 1960, gerakan separatis memuncak akibat diskriminasi kepada masyarakat Melayu Muslim tidak kunjung usai. Konflik mulai meredam ketika memasuki tahun 1980, para ketua gerakan separatis mulai menyerah. Hasilnya, tahun 1990 merupakan saat dimana Thailand berada dalam kondisi stabil dalam hal konflik, meskipun masih terdapat 233 kematian yang terjadi karena konflik politik yang menyebar di Pattani, Yala dan Narathiwat, terhitung sejak 1979 – 2003. Namun, ternyata keadaan stabil tidak berlangsung lama.
28 April 2004, lebih dari 100 orang kelompok oposisi dari Pemerintah Thailand melangsungkan serangan di 10 pos polisi yang tersebar di provinsi Pattani, Yala dan Songkhla. Serangan dilangsungkan karena konflik berbasis agama antara Pemerintah Thailand dengan kelompok oposisi yang mayoritas beretnis Melayu dan beragama Islam yang sudah berlangsung lama di daerah Selatan Thailand.
Salah satu lokasi konflik pada saat itu adalah di Ban Krue Se yang terletak tujuh kilometer dari kota Pattani. Konflik bersenjata antara Pemerintah Thailand dengan kelompok oposisi kala itu menyebabkan 32 orang kelompok oposisi berlindung dalam Masjid Krue Se, sebuah Masjid berumur 425 tahun yang dianggap sebagai Masjid paling bersejarah di Pattani. Baku senjata berlangsung selama kurang lebih sembilan jam hingga tentara militer Thailand yang dikomandani oleh Jendral Panlop Pinmanee mengamankan Masjid Krue Se dengan membunuh 32 orang kelompok oposisi yang berada di dalamnya dengan senjata api kelas berat dan granat. Terdapat dua orang anak berumur 17 dan 18 tahun di antara 32 orang tersebut.
Tindakan Jendral Panlop Pinmanee dianggap merupakan tindakan yang berlebihan, mengingat Menteri Pertahanan Thailand, Chavalit Yongchaiyudh telah menginstruksikan Jendral Panlop untuk mengupayakan segala cara damai agar kelompok oposisi menyerah tanpa pertumpahan darah berapapun lamanya waktu yang dibutuhkan. Hal tersebut gagal dipenuhi oleh Jendral Panlop. Ia juga dianggap tidak proporsional dalam perintahnya untuk mengamankan Masjid Krue Se dikarenakan penggunaan senjata api kelas berat melawan kelompok oposisi yang dilaporkan hanya bersenjatakan golok dan satu senjata api.
Pelanggaran lain yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand dalam peristiwa Krue Se adalah bahwa hingga sekarang, hanya dibentuk satu komisi untuk menginvestigasi peristiwa Krue Se di Pattani, mengingat serangan 28 April 2004 dilancarkan di 10 Provinsi. Tidak ada inisasi dari Pemerintah untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat di sekitar lokasi kejadian serangan yang menciptakan trauma bagi masyarakat. Tidak ada kejelasan akan sanksi bagi pelaku pembantaian Masjid Krue Se. Tidak ada tindak lanjut penanganan 32 tubuh korban secara medis seperti otopsi yang seharusnya merupakan salah satu prosedur hukum agar jelas dan terang sebab kematiannya.
Tidak belajar dari pengalaman, Pemerintah Thailand kembali melakukan tindakan represif dan tidak proporsional kepada demonstran yang merupakan Muslim dalam aksi damai menuntut pembebasan kawan-kawannya yang juga seorang Muslim dan ditahan dengan tuduhan menyelundupkan senjata milik negara untuk kelompok oposisi, padahal mereka secara sukarela menjadi satuan pertahanan desa di Selatan Thailand. Demonstrasi dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2004 di depan lahan seberang pos polisi yang terletak di Tak Bai, Narathiwat dengan jumlah massa aksi sekitar 2.000 orang, dengan tuntutan membebaskan kawan-kawan yang dituduh menyelundupkan senjata. Aksi demonstrasi yang berlangsung damai menjadi peristiwa berdarah ketika ada batu yang dilempar kepada kepolisian tanpa diketahui siapa yang melempar. Seketika itu juga, polisi menganggap para demonstran akan melakukan suatu gerakan perlawanan dan segera membalas dengan menyemprotkan gas air mata dan penembakan senjata api.
Penembakan senjata api kepada massa demonstran menyebabkan 7 orang meninggal dunia. Sesaat setelah penembakan tersebut, polisi kemudian mengepung aksi massa dan kemudian memerintahkan aksi masa untuk menempelkan badan ke tanah dan meletakkan tangan di belakang badan. Para aksi massa juga dibiarkan setengah telanjang dengan melucuti baju mereka. Setelah ribuan orang aksi massa berada dalam posisi tersungkur di lantai, mereka mulai dipindahkan kedalam truk untuk dibawa ke tempat detensi. Komandan Deputi Sinchai Nujsathit mengakui bahwa lebih dari 1.300 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk dan bergegas ke Provinsi Pattani yang memakan waktu lima jam dengan jarak tempuh 150 kilometer (9,32 mil). Para demonstran yang ditangkap dimasukkan ke dalam truk tanpa memikirkan keadaan masing-masing demonstran dan kapasitas truk serta perjalanan yang cukup lama. Hal-hal tersebut menyumbang lebih banyak kematian selain yang diakibatkan dari tembakan senjata api sebelumnya. Total terdapat 78 orang yang meninggal akibat sesak napas dan stress selama perjalanan.
Kejadian tersebut kemudian dinamakan sebagai Peristiwa Tak Bai. Pelanggaran hak asasi manusia telah dilakukan oleh Pemerintah Thailand, bahwa tindakan represif dari Militer Thailand tidak proporsional dengan aksi damai yang dilakukan massa aksi. Peristiwa Tak Bai terjadi enam bulan setelah peristiwa Krue Se yang notabenenya mengulang hal yang sama. Masyarakat juga seringkali mendapat pandangan bahwa Pemerintah Thailand tidak beritikad baik untuk mengusung peristiwa Krue Se dengan memberikan sanksi bagi para pelaku pembunuhan massal 32 orang dalam Masjid Krue Se, justru mereka selalu mengatakan bahwa mengingat masa lalu tidak akan berbuah apapun, terlebih kasus Krue Se sudah dianggap selesai.
Tindakan Pemerintah dalam penanganan konflik di Selatan Thailand selalu memiliki pola yang sama, di antaranya adalah Militer dan Kepolisian Thailand selalu dilengkapi oleh senjata kelas berat, Militer dan Polisi selalu bersifat represif kepada massa yang merupakan Muslim, tidak adanya kejelasan sanksi bagi pelaku yang melakukan pembunuhan massal baik di peristiwa Krue Se maupun Tak Bai, tindakan diskriminatif kepada masyarakat Muslim.
Sejak Tahun 2004 hingga saat ini kekerasan telah menelan korban lebih dari 6500 orang mati terbunuh dan 11.500 orang luka-luka. Selain itu pemberlakukan Darurat Militer dan instrumen hukum keamanan lainnya di Selatan Thailand juga mengakibatkan sering terjadinya penangkapan sewenang-wenang, Polisi seringkali menangkap seseorang secara sewenang-wenang hanya didasarkan pada fakta bahwa orang tersebut bersekolah di sekolah tertentu atau hanya didasarkan karena sanak saudaranya pernah terlibat dalam tindak kekerasan pada masa lalu. Akan tetapi, perlakuan seperti ini hanya dilakukan Pemerintah Thailand kepada masyarakat Selatan Thailand yang mayoritas Muslim.
Merupakan suatu kewajiban Negara untuk memenuhi, melindungi dan menghargai hak asasi manusia meskipun mereka memiliki pandangan yang berbeda dari pandangan mayoritas, begitu pula jika seseorang memiliki pandangan yang berbeda dengan Negara. Kejadian di Selatan Thailand mempertontonkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand kepada warganya sendiri. Lebih buruknya lagi, terdapat unsur diskriminasi dalam pelanggaran tersebut yang berbasis etnis dan agama. Pemerintah Thailand seakan tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan konflik di Selatan Thailand, dapat dilihat dari dua peristiwa berdarah yang telah dijabarkan di atas. Tanpa adanya penegakan sistem hukum yang berkeadilan oleh negara maka peristiwa berdarah lain hanya akan disusul oleh peristiwa berdarah lainnya.
Menjelang peringatan 12 Tahun peristiwa Takbai, tindakan represif dan non legal dari Kepolisian dan Militer Thailand kembali dilakukan kepada masyarakat Melayu Muslim baik di Patani maupun di luar Patani. Tanggal 10 hingga 12 Oktober 2016 lalu, tercatat 44 orang (8 perempuan dan 36 laki-laki) ditangkap di Bangkok, Thailand. Penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang oleh Kepolisian Thailand dengan alasan untuk mencegah meningkatkan tindak terorisme mengingat akan ada peringatan Peristiwa Tak Bai pada 25 Oktober 2016[1]. Tindakan Kepolisian tersebut juga merupakan tindakan diskriminatif terhadap masyarakat Patani, bahwa Kepolisian telah menstigma buruk peringatan Peristiwa Tak Bai tanpa didasari alasan yang jelas. Hingga tanggal 15 Oktober 2016, terdapat total 48 mahasiswa Muslim ditangkap secara sewenang-wenang oleh Kepolisian Bangkok didasari informasi dugaan plot bom yang muncul pada awal bulan Oktober lalu. Dari 48 pemuda yang ditangkap, 25 di antaranya dibebaskan tanpa tuduhan dan sisanya ditahan di penjara atau di fasilitas militer[2].
Hak Asasi Manusia tidak pernah terlepas dari tanggung jawab Negara, Melindungi (Protect), Menghormati (Respect), dan Memenuhi (Fulfill) adalah keharusan. Kenyataannya di Patani, Pelanggaran Hak Asasi Manusia terus berlangsung dengan maraknya pembunuhan dengan cara-cara diluar prosedur hukum, impunitas terhadap aparat militer dan kepolisian yang melakukan pelanggaran ham, penghilangan paksa, hingga pembungkaman hak berpolitik masyarakat. Negara Thailand memiliki kewajiban dalam hal pemenuhan hak asasi masyarakatnya, hal tersebut mencakup tindakan pencegahan, perlindungan dalam hal terjadinya pelanggaran, rehabilitasi korban dan masyarakat akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, hingga pemberian kompensasi kepada korban dan keluarga korban. Perlindungan hak asasi masyarakat Patani juga merupakan kewajiban Negara dan bahkan kewajiban utama Negara untuk menjamin hak-hak warganya. Tanpa pandang bulu dan tanpa terkecuali..
Julio Castor Achmadi
[1] The Federation of Patani Students and Youth (PerMAS), http://www.turanisia.com/declaration-thai-states-conduct-continuation-human-rights-violations-prejudices-discrimation-towards-people-patani/ diunduh 20 Oktober 2016.
[2] World Bulletin, http://jurnalislam.com/2016/10/17/ormas-islam-thailand-kecam-penangkapan-48-mahasiswa-muslim-polisi-bangkok/ diunduh 18 Oktober 2016.
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.[/box]