A. Situasi dan Kondisi Kebebasan Berorganisasi dan Berserikat 3 Tahun Terakhir di Indonesia
Situasi dan kondisi kebebasan berorganisasi dan berserikat dalam 3 tahun terakhir di Indonesia bukan semakin membaik tetapi semakin buruk. Hal tersebut terkonfirmasi dari pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, dalam 3 tahun terakhir, yang mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Kasus | Tahun 2010 | Tahun 2011 | Tahun 2012 |
Pelanggaran Kebebasan Berorganisasi dan Berserikat |
8 |
11 |
10 |
Bila dipersentasekan, pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta mengenai pelanggaran Kebebasan Berorganisasi dan Berserikat dalam 3 tahun terakhir, sebagai berikut;
Pola Pelanggaran Kebebasan berorganisasi dan Berserikat dalam 3 tahun terakhir, diantaranya; Pemerintah tidak mengakui keberadaan organisasi dan melakukan diskriminasi, dialami oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) dan Tidak diberikan izin pendirian dan pembubaran kegiatan, dialami oleh Komunitas Falun Gong, dan para pelaku yang melakukan pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berserikat didominasi oleh negara, menjadi pelaku aktif dan melakukan pembiaran.
B. Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Berorganisasi dan Berserikat
Solusi untuk memutus rantai pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berserikat di Indonesia diantaranya sebagai berikut;
1. Cabut UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Bahwa UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan haruslah dicabut, karena UU tersebut diproduksi oleh pemerintahan orde baru untuk merepresif dan membungkam seluruh masyarakat sipil. Namun pencabutan UU No. 8 tahun 1985 bukan dengan dengan RUU Ormas yang saat ini sedang dibahas di DPR RI. Tapi mencabut UU 8/1985 melalui UU Pencabutan sebagaimana diatur oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 menyediakan rujukan tersendiri. Pada Lampiran II tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB II HAL-HAL KHUSUS huruf C PENCABUTAN angka 223, diketahui bahwa peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui peraturan perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. Artinya, untuk mencabut UU 8/1985 dapat menggunakan (dasar hukum) UU pencabutan tersendiri, sebagaimana dimaksud pada angka 227.
Isi UU pencabutan pada dasarnya memuat dua pasal, yaitu Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan dan Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan. Sedangkan format penulisan UU pencabutan merujuk pada Lampiran II tentang TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN huruf E BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG.
2. Lakukan Penegakan Hukum Yang Tegas Bagi Pelaku Yang Melakukan Pelanggaran Kebebasan Berorganisasi dan Berserikat.
Meskipun secara hukum nasional dan internasional Buruh dan masyarakat sipil mempunyai hak untuk berorganisasi dan berserikat, bahkan yang dijamin dalam Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945, khususnya di kalangan buruh bahwa kebebasan berserikat secara nyata belum dirasakan. Dimana para buruh ketika berorganisasi dan berserikat banyak yang di PHK secara sewenang-wenang, tetapi negara tidak melakukan penegakkan terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran hak buruh dalam berserikat. Bahkan ironisnya, Negara menjadi pelaku yang aktif menghambat masyarakat sipil untuk berorganisasi, seperti yang dialami oleh Falun Gong, yang sampai saat ini dikekang oleh pemerintah untuk berorganisasi dan berserikat.
Langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan DPR, untuk menjamin hak masyarakat sipil dan buruh untuk berorganisasi dan berserikat bukanlah dengan memproduksi peraturan perundang-undangan yang menimbulkan dan melestarikan pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berserikat melalui RUU Ormas dan Permendagri No. 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (Permendagri 33/2012) dengan merujuk (dalam konsideran “Mengingat”) UU 8/1985. Tetapi hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan aparatusnya yaitu menindak pelaku yang melanggar kebebasan berorganisasi dan berserikat melalui penegakan hukum yang tegas dan tanpa diskriminasi, melalui aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 21 tahun 2000 tentang Kebebasan Berserikat serta UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. saat ini aturan hukum lebih dari cukup untuk menindak segala jenis kekerasan baik yang dilakukan sendiri-sendiri ataupun bersama-sama secara organisasi. Masalah sesungguhnya ialah soal kemauan untuk menegakkan hukum secara tegas, adil, dan profesional.
3. Hentikan Proses Pembahasan dan Rencana Pengesahan RUU Ormas dan Ganti Dengan RUU Perkumpulan.
Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) merupakan usul inisiatif DPR, yang disiapkan untuk menggantikan UU Ormas yang lama, yaitu UU No. 8 Tahun 1985. Saat ini, RUU Ormas masih dibahas oleh DPR, melalui sebuah Panitia Khusus (Pansus), bersama dengan Pemerintah (yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri).
Pembahasan RUU Ormas telah berjalan sejak Oktober 2011. Pada 12 April 2013, DPR dan Pemerintah sempat memutuskan untuk menunda pengesahan RUU Ormas karena begitu banyak penolakan. Akhirnya, DPR dan Pemerintah menyepakati naskah terakhir RUU Ormas per 11 April 2013.
Pada 20 Mei 2013, DPR dan Pemerintah melanjutkan kembali pembahasan RUU Ormas. Mereka merencanakan pengesahan RUU Ormas pada 25 Juni 2013.
Persoalan RUU Ormas bukan terletak pada pasal-pasalnya, tapi pada konsep dasar pengaturannya. Dimana RUU tersebut mengalami kesalahan fundamental, telah salah kaprah dan salah arah, karena menimbulkan kekacauan mendasar dengan menempatkan RUU Ormas sebagai “UU payung” yang akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan menciderai ruang gerak kemerdekaan berorganisasi di Indonesia. Undang Undang Dasar 1945 telah memayungi undang undang dan memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul.
Disamping itu pula RUU Ormas ini mencampuradukkan badan hukum Yayasan (dan juga perkumpulan) ke dalam kategori Ormas. Ribuan yayasan yang sudah ada selama ini (yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, kesehatan, seni budaya, dll) akan terseret ke ranah politik di bawah kendali pengawasan Pemerintah (Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri)/Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik. Konsekuensinya, Yayasan dapat dibekukan hingga dibubarkan, bukan hanya melalui instrumen UU Yayasan, tapi juga ditambah dengan UU Ormas yang baru.
Maka tujuan dibentuknya RUU Ormas, tersebut bukanlah untuk memperkuat dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil dan buruh untuk berorganisasi dan berserikat, tetapi untuk melakukan kooptasi dan mengawasi sektor masyarakat sipil dan buruh karena dianggap membahayakan negara, yang sesungguhnya negara lah, yang harus diawasi sektor masyarakat sipil dan buruh, dimana menurut Lord Acton : “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Secara kerangka hukum, sesungguhnya pengaturan organisasi di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Non-Membership Organisation (organisasi tanpa anggota), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU Yayasan; dan 2) Membership Based Organisation (organisasi berdasarkan keanggotaan), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan warisan Belanda (Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum).
Oleh karenanya, RUU Ormas harus dihentikan proses pembahasan dan rencana pengesahanya, segera digantikan dan dibahas dengan RUU Perkumpulan. Alasan perlunya RUU Ormas sebagai instrumen pencegah kekerasan hingga upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas ormas sudah dijawab oleh berbagai peraturan terkait seperti KUHP/KUHPerdata, UU Serikat Buruh/Pekerja, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang hingga UU Anti Terorisme dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Jakarta, 20 Juni 2013
Hormat kami
LBH Jakarta
Kontak;
Resta, 085695630844, Maruli 081369350396 (LBH-Jakarta); Gatot 081270555444 (FalunGong);
Nining 081317331801 (Kasbi).