Sidang ke 20 kasus kriminalisasi 26 aktivis kembali digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (30/08). Sidang ini memasuki agenda mendengarkan keterangan saksi yang meringankan terdakwa. Tim kuasa hukum para aktivis menghadirkan empat orang saksi yang akan didengar keterangannya. Namun, dengan pertimbangan efisiensi waktu maka majelis hakim memutuskan hanya 2 orang saksi yang akan didengar keterangannya kali ini yakni saudara Gregorius Budi Wardoyo dan saudara Wirdan Fauzi.
Pada persidangan ini Wirdan Fauzi rekan sejawat dari Tigor Gemdita Hutapea dan Obed Sakti memberikan keterangan kepada majelis hakim seputar keterlibatan dua rekan sejawatnya pada unjuk rasa buruh 30 Oktober 2015. Wirdan yang juga Pengacara Publik LBH Jakarta kepada majelis hakim menyampaikan bahwa dirinya bersama Tigor dan Obed ditugaskan oleh LBH Jakarta untuk mendampingi unjuk rasa buruh pada saat itu. Sebelumnya, Wirdan juga menyampaikan sebelum unjuk rasa 30 Oktober 2015 para pimpinan serikat buruh kepada Direktur LBH Jakarta meminta pendampingan.
“Pendampingan unjuk rasa dalam mekanisme kerja LBH Jakarta adalah proses pendokumentasian sampai dpada keadaan yang membutuhkan pendampingan hukum oleh Pengacara Publik LBH Jakarta,” terang Wirdan.
Lebih lanjut Wirdan juga menyampaikan kronologis terkait apa yang ia dan rekan-rekannya lakukan saat tiba di lokasi unjuk rasa buruh tolak PP 78 pada 30 Oktober 2015 lalu. Wirdan menerangkan bahwa ia sudah berkordinasi dengan Kapolres Jakarta Pusat saat itu. Kepada Kapolres Jakarta Pusat Wirdan meyampaikan posisi dan kapasitas LBH Jakarta sebagai pendamping unjuk rasa. Selanjutnya wirdan melakukan komunikasi dengan para pimpinan dari massa serikat buruh bahwa tim pendamping dari LBH sudah hadir di lokasi unjuk rasa.
“Kami (tim pendampingan dari LBH Jakarta) mengambil jarak yang aman dan terpisah dari massa unjuk rasa pada saat itu. Kami berada di dekat pos polisi,” jelas Wirdan.
Proses pembubaran dan penangkapan massa unjuk rasa buruh diakui Wirdan sangat cepat pada saat itu. Diawali penembakan air dari mobil water canon berturut-turut hingga kemudian disusul dengan penembakan gas air mata dan penangkapan yang disertai pemukulan. Wirdan mengatakan saat penembakan gas air mata, ada sekelompok pasukan Turn Back Crime yang menghampiri massa unjuk rasa lalu melakukan penangkapan. Wirdan juga mengingat apa yang terjadi dan menimpa rekan sejawatnya, terutama Obed Sakti.
“Saya mendengar suara teriakan “apa itu kamu?”, saya melihat bahwa ada massa unjuk rasa yang dikejar pasukan Turn Back Crime. Ternyata yang dikejar saudara Obed, dengan spontan saya mengejar polisi yang mengejar Obed tersebut, dan ketika saya menghampiri polisi yang mencekek Obed pada saat itu, saya mengatakan bahwa Obed merupakan bagian dari LBH Jakarta dan bukan bagian dari maksa aksi. Namun polisi tersebut mengatakan “apa kamu? Monyet kamu, mundur kalau tidak saya tangkap,” ingat Wirdan.
Seperti kita ketahui, massa unjuk rasa (buruh) yang ditangkap dan dipukuli kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya, termasuk Tigor dan Obed. Dalam kondisi lelah dan luka-luka ke 26 aktivis tersebut menjalani pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan secara marathon dari pukul 23.00 hingga pukul 06.00. Diketahui, seusai pemeriksaan ke 26 aktivis tersebut menolak untuk menandatangani BAP tersangka, hal tersebut dilakukan karena ke 26 aktivis yang tertangkap melalui kuasa hukumnya menganggap penyidik tidak memiliki alasan untuk menjadikan mereka tersangka.
“Pada saat itu kita tidak menandatangani BAP tersangka karena penyidik tidak punya alasan untuk menjadikan mereka tersangka, secara spontan penyidik mengatakan “ini perintah atasan bang”. Lalu kita meminta berita acara penolakan sebagai tersangka dan kemudian Tigor, Obed serta Hasyim menandatangani berita penolakan tersebut,” ujar Wirdan.
Hal menarik terjadi pada persidangan kali ini, jaksa penuntut umum ditegur oleh majelis hakim karena dianggap mengulang dan memberikan pertanyaan berbelit-belit. (Bonny)