Sidang kasus kriminalisasi 26 aktivis kembali digelar PN Jakarta pusat, Selasa (23/08). Persidangan ini merupakan sidang yang ke 19 kalinya, agenda persidangan kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi dari jaksa penuntut umum serta saksi yang meringankan para terdakwa. Melalui kuasa hukumnya ke 26 aktivis yang dikriminalisasi menghadirkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa. Sedangkan pihak Jaksa Penuntut Umum sendiri menghadirkan saksi yang kelima dan merupakan anggota kepolisian dari satuan Ditreskrim Polda Metro Jaya bernama Reinhard Marpaung.
Persidangan yang diagendakan pada pukul 10.00 WIB terlambat sampai dengan 5 jam dan baru dimulai pada pukul 15.00 WIB. Hal ini tentu saja membuat para peserta sidang baik para terdakwa, kuasa hukum terdakwa maupun peserta sidang kecewa.
Persidangan 23 Buruh
Majelis hakim memulai persidangan dengan perkara 23 terdakwa buruh dengan agenda mendengarkan kesaksisan dari saksi yang dhadirkan oleh jaksa. Jaksa penuntut umum menghadirkan Reinhard Marpaung dari Ditreskrim Polda Metro Jaya. Hampir pada semua pertanyaan dari kuasa hukum Reinhard selalu memberikan jawaban yang sama, yaitu lupa. Hal ini tentu saja tidak memberikan keterangan yang efektif dan signifikan terkait persidangan untuk mengungkap kebenaran materil dari kasus kriminalisasi ini. Bahkan, di awal-awal ia memberikan keterangan sebagai saksi, Reinhard selalu membaca Berita Acara Pemeriksaan dan dokumen-dokumen lain yang dibawanya ke persidangan. Hal tersebut yang kemudian membuat para kuasa hukum terdakwa mengajukan keberatan pada majelis hakim. Majelis hakim kemudian meminta saksi agar menjawab sesuai dengan pengetahuannya bukan dengan membaca dokumen.
Selanjutnya, keterangan-keterangan yang disampaikan oleh saksi sering sekali bertentangan dengan keterangan yang disampaikannya di dalam BAP. Apa yang tertulis pada BAP bertolak belakang dengan apa yang saksi sampaikan dalam persidangan. Salah satunya adalah saat saksi ditanya terkait keterlibatannya dalam penangkapan pada unjuk rasa buruh. Dalam BAP tertulis lokasi dan rincian nama dari para buruh yang ia tangkap, namun dalam kesaksiannya pada persidangan Reinhard menyampaikan bahwa ia lupa lokasi dan hanya ingat menangkap 8 orang. Selanjutnya, kesaksian tersebut ia bantah sendiri bahwa ia hanya menangkap 3 orang.
Diwakili oleh Arif Maulana dari LBH Jakarta, kuasa hukum para terdakwa menyampaikan keberatannya atas kesaksian saksi kepada majelis hakim. Mereka menganggap Reinhard Marpaung dengan seluruh kesaksiannya telah merendahkan pengadilan.
“Keterangan yang disampaikan saksi jauh dan berubah-ubah dari apa yang tertulis di BAP,” protes Arif.
Asfinawati yang juga merupakan kuasa hukum para buruh, menganjurkan agar majelis hakim mempertimbangkan untuk mengaplikasikan Pasal 174 KUHAP tentang keterangan palsu dalam sebuah persidangan dan ancaman pemidanaannya.
Kesaksian lain yang cukup membuat riuh seluruh peserta persidangan adalah keterangan saksi yang menyatakan adanya situasi kerusuhan pada saat buruh melakukan unjuk rasa menolak PP pengupahan di 2015 silam. Hal tersebut berbeda dengan keterangan 4 (rekan) saksi yang sudah terlebih dahulu menyampaikan kesaksisannya pada persidangan. Keempat saksi tersebut menyatakan bahwa unjuk rasa buruh pada saat itu berjalan lancar dan tidak ada kerusuhan. Namun saat majelis hakim menanyakan kembali pertanyaan yang sama kepada saksi, saksi buru-buru meralat keterangannya dan menyatakan tidak ada kerusuhan pada unjuk rasa buruh saat itu.
Majelis hakim menutup persidangan 23 buruh sebelum maghrib. Hakim kemudian menskors persidangan dan dilanjutkan dengan agenda persidangan 2 pengacara publik LBH Jakarta serta 1 Mahasiswa.
Direktur LBH Jakarta Berikan Kesaksian
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa dalam kesempatan kali ini memberikan kesaksian yang meringankan terdakwa. Alghif memberikan keterangan seputar keterlibatan LBH Jakarta dalam unjuk rasa buruh menolak PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Ia juga menegaskan posisi 2 Pengacara Publik LBH Jakarta yang seharusnya memiliki hak imunitas untuk tidak dituntut secara perdata dan pidana pada saat melakukan tugas profesinya, dengan itikad baik sesuai dengan UU Bantuan Hukum maupun UU Advokat.
Dalam kesaksiannya, Alghif menerangkan bahwa pasal yang didakwakan kepada 26 aktivis adalah pasal yang biasa digunakan pada zaman Orde Baru dalam melakukan tindakan represif, pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi masyarakat. Alghif juga menyampaikan bahwa LBH Jakarta merasa perlu melakukan pendampingan dalam unjuk rasa buruh pada 30 oktober 2015 lalu karena para buruh sedang memperjuangkan haknya.
“Kami (LBH Jakarta) perlu mendampingi para buruh karena PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan sangat merugikan buruh, juga karena ada pernyataan-pernyataan dari Menko Polhukam pada saat itu yang akan merepresi unjuk rasa buruh,” terang Alghif.
Alghif juga menegaskan bahwa keterlibatan LBH Jakarta dalam unjuk rasa pada saat itu dalam agenda pendampingan yang sebelumnya sudah dimintakan oleh beberapa serikat buruh melalui para pimpinannya, sehingga keberadaan LBH pada saat itu adalah sebagai pendamping dan bukan bagian dari unjuk rasa.
Kejadian yang menimpa ke 26 aktivis ini sangat disayangkan oleh Alghif, bahkan kekecewaan tersebut sudah ia tunjukan saat pertama kali ke 26 aktivis tersebut ditangkap. Alghif yang pada saat kejadian pada tanggal 30 Oktober 2015 datang ke Polda Metro Jaya mendapati para aktivis yang ditangkap mengalami kekerasan. Nasib serupa juga dialami oleh 2 Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Tigor dan Obed sudah bilang bahwa ia dari LBH Jakarta tapi mengapa mereka justru semakin dipukuli,” kata Alghif mengungkapkan kekecewaannya.
Alghif juga melihat mobil komando yang dirusak dan termasuk mendengar pengakuan para buruh, bahwa barang-barang yang diletakkan di mobil komando berupa tas, HP dan dompet banyak yang hilang. Lebih lanjut, Alghif juga menyampaikan bahwa kasus 26 aktivis ini memiliki karakteristik yang berbeda karena sarat dengan desakan dari elit pemerintah.
“LBH Jakarta biasa mendampingi unjuk rasa yang berlangsung hingga malam hari, namun tidak ada penangkapan, polisi biasanya hanya membubarkan, apa yang terjadi pada unjuk rasa buruh 30 Oktober 2015 mungkin karena ada desakan dari elit pemerintah, sehingga mereka ditangkap,” jelas Alghif.
Sidang ditutup pada pukul 20.00. Majelis Hakim menutup persidangan dan akan melanjutkan sidang kembali pada Selasa, 30 Agustus 2016 pekan depan. (Bonny)