Siaran Pers
Rekayasa isu kebangkitan komunis menimbulkan keresahan di masyarakat dan dengan sukses mengalihkan perhatian kita dari isu korupsi dan ketidakadilan sosial. Bermula dari adanya upaya penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia 1965-1966, berbagai ormas dan purnawirawan jendral yang menolak, kemudian menghembuskan isu bahwa upaya penuntasan kasus tersebut akan membangkitkan Partai Komunis Indonesia dan komunis. Berbagai praktek kebebasan berekspresipun kemudian diberangus. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia melakukan sweeping dan penyitaan yang tidak berdasar. Orang yang memakai baju kaos Pencinta Kopi Indonesia dikriminalisasi, acara diskusi dibubarkan, dan nonton bersama dilarang. Bahkan baju kaos Munir pun disita karena dianggap terkait dengan komunisme.
Tidak hanya berdampak terhadap kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi, isu kebangkitan komunisme juga berdampak terhadap kerja-kerja bantuan hukum serta advokasi keadilan sosial di masyarakat. Serikat yang sedang berjuang dilabel komunis, aktivis keadilan agraria dan pejuang masyarakat adat dianggap akan membangkitkan PKI, dan pengacara publik pun dilabel sebagai pengacara PKI. Masyarakat yang masih phobia terhadap isu komunis akan dengan mudah terpengaruh. Masyarakat yang dibela kemudian menjadi saling curiga ataupun takut. Kemudian masyarakat yang seharusnya mendukung kerja bantuan hukum dan advokasi enggan untuk membantu. Bahkan bukan tidak mungkin, aparatur pemerintah langsung curiga. Bantuan hukum dan advokasi menjadi terhambat akibat rekayasa isu komunis tersebut.
Berikut sebagian contoh kasus di lapangan yang merupakan bentuk hambatan terhadap kerja bantuan hukum dan advokasi:
– Kegiatan teater seperti Monolog Tan Malaka di Bandung dibubarkan oleh sekelompok massa karena dianggap menyebarkan faham komunis, begitu pula dengan aktifitas literasi yang diselenggarakan di kampus ISBI Bandung. Di Garut LBH Bandung memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yg memperjuangkan hak atas tanah dan berujung pada program redistribusi tanah oleh pemerintah, tidak luput juga dinyatakan ditunggangi oleh Oknum PKI. Padahal kegiatan itu jelas merupakan upaya penyelesaian sengketa agraria dan menjadi agenda pemerintah melalui kementrian agraria dan tata ruang
– Di Kendal, di mana LBH Semarang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah, Babinsa turun ke masyarakat dan menunjukkan foto aktivis-aktivis yang dituduh PKI. Padahal mereka bukan PKI, melainkan aktivis yang konsisten membantu masyarakat tanpa pamrih.
– Seorang purnawirawan jendral menuduh advokasi redistribusi lahan sebagai upaya membangkitkan PKI. Padahal program redistribusi lahan yang merupakan bagian dari advokasi keadilan agraria dan sedang dijalankan oleh Kementrian Agraria.
– Sebuah ormas menuduh LBH Jakarta sarang komunis. Padahal LBH Jakarta merupakan sebuah lembaga hukum yang secara profesional membela korban pelanggaran HAM.
– Beredar pesan di media sosial bahwa pada tanggal 7 Mei 2015 akan diadakan pertemuan kebangkitan PKI dengan tema “Seni dan Budaya” di kantor LBH Jakarta. Padahal sama sekali tidak acara tersebut. Bahkan, kantor LBH Jakarta kosong, tidak ada acara sama sekali pada tanggal tersebut.
– Advokasi menolak reklamasi dianggap sebagai perjuangan yang meniru cara-cara komunis. Film Rayuan Pulau Palsu pun dilarang diputar di beberapa tempat.
Oleh karena itu, Kami LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, dan LBH Surabaya yang juga tergabung dalam GEMA DEMOKRASI mendesak dan menyerukan:
1. Presiden agar menertibkan institusi Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia yang melakukan sweeping dengan alasan mencegah penyebaran ajaran komunisme;
2. Kemenkopolhukam RI untuk segera mengkoordinasikan seluruh instansi/lembaga/badan serta kementerian terkait demi terjaganya situasi politik, hukum dan keamanan di negeri ini dengan tidak melakukan intimidasi terhadap gerakan aktivis yang disebabkan adanya provokasi isu bangkitnya kembali komunisme;
3. Badan Pembinaan Hukum Nasional/Kementrian Hukum dan HAM agar mencegah adanya stigma terhadap kerja bantuan hukum, dan pencarian keadilan oleh masyarakat;
4. Komisi Hak Asasi Manusia (Komnasham) agar melakukan pemantauan dan perlindungan terhadap pengacara publik yang juga merupakan bagian dari pembela HAM;
5. Pemerintah daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota agar tidak terprovokasi dengan adanya isu komunisme dan menyikapi secara bijaksana atas gerakan aktivis HAM dan Pembela Hukum/Keadilan demi masyarakat pencari keadilan;
6. Masyarakat agar tidak mudah terpancing provokasi isu kebangkitan komunisme yang disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab;
Semarang, 22 Mei 2016
LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, dan LBH Surabaya.
Nara hubung:
LBH Bandung: Arip Yogiawan (081214294445)
LBH Semarang: Zainal (085727149369)
LBH Jakarta: Alghiffari Aqsa (081280666410)
LBH Yogya: Didin (087738514141)
LBH Surabaya: Faiq (081336181940)