Seperti biasa, sejak pukul 10.00 pagi, pelataran Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah dipenuhi buruh, pengacara, dan masyarakat umum. Mereka datang untuk mendukung dan menyaksikan sidang Kriminalisasi 26 aktivis, Senin (16/05). Namun ada yang tidak biasa, kali ini sidang tidak diwarnai oleh orasi-orasi atau performance art yang satir mengkritik peradilan sesat.
Pagi ini, perhatian para pendukung ke 26 aktivis tertuju pada kehadiran perwakilan dari Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Dr. Hotman Paris Hutapea, S.H., M.H.. Ia menyatakan dukungan Peradi kepada 26 aktivis korban kriminalisasi, terkhusus kepada rekan sejawat sesama advokat, Tigor dan Obed. Wakil Ketua Umum DPN Peradi, Dr. Hotman Paris Hutapea, S.H., M.H., didampingi Wakil Ketua Bidang Pembelaan Profesi, Bahrain, S.H., M.H. menggelar Konferensi Pers mewakili Ketua Umum-nya yang berhalangan hadir, Fauzie Yusuf Hasibuan. Di depan para pewarta, Hotman dengan tegas menyatakan kasus ini sungguh dibesar-besarkan dan menghabiskan tenaga, serta uang negara.
“Mudah-mudahan Majelis Hakim tahu bahwa ini persidangan yang dibesar-besarkan, apalagi tidak ada kerugian masyarakat dan fasilitas negara. DPN Peradi menghimbau agar Majelis Hakim arif dan bijaksana dalam melihat perkara ini. Tidak hanya melihat dari Formal Undang-Undang saja. Sejak zaman Soeharto kita sudah biasa demo dimana-mana, bahkan saat 1998 para massa aksi merusak Gedung MPR/DPR, tapi tidak ada yang dipidana. Itu sudah jadi budaya politik kita, pembelajaran bagi demokrasi. Kami sangat prihatin,” jelas Hotman Paris.
Sidang terdakwa 23 buruh dengan agenda pembacaan putusan sela dimulai pukul 14.20 WIB. Meski terlambat lebih dari tiga jam, ruang sidang Kartika IV tetap penuh sesak saat persidangan dimulai. Penonton sidang tetap setia selama berjam-jam bercokol di sekitaran ruang sidang, tidak patah arang. Sayang, arang itu kemudian habis, besi binasa. Kesetiaan penonton sidang tidak berbuah manis karena sidang harus ditunda hingga 30 Mei 2016. Alasannya, hakim belum siap untuk membacakan putusan sela.
Kekecewaan penonton sidang, penasehat hukum, dan para terdakwa kian memuncak setelah mengetahui sidang dengan terdakwa Tigor, Obed, dan Hasyim juga harus ditunda sampai 30 Mei 2016. Untuk yang kedua kalinya, jaksa tidak berhasil menghadirkan keempat saksinya. Riuh decak penonton sidang semakin bergemuruh setelah mengetahui, untuk kedua kalinya pula, jaksa penuntut umum hanya menyampaikan ketidakhadiran saksi secara lisan di muka pengadilan, tanpa menghadirkan bukti yang memverifikasi ketidakhadiran saksi beralasan.
Sebelum sidang ditutup, Penasehat Hukum menyampaikan beberapa hal, diantaranya: kekecewaan terhadap Penuntut Umum yang sering datang terlambat; permohonan kepada hakim untuk menetapkan batas toleransi keterlambatan; kekecewaan terhadap saksi dari Penuntut Umum yang tidak hadir selama dua kali sidang; dan permohonan kepada hakim untuk menentukan langkah yang akan ditempuh bila para saksi yang bersangkutan tidak hadir untuk ketiga kalinya.
“Jaksa ini, datang tidak datang tunjangannya dibayar negara. Harap jaksa memberi informasi, terlambat ya bilang terlambat,” ungkap Saor Siagian salah satu Tim Penasehat Hukum ke 26 aktivis. “Harap Majelis Hakim menentukan batas toleransi keterlambatan agar kami tidak membuang banyak waktu,” tambahnya.
Namun permohonan itu ditanggapi layah-layah oleh Majelis, dengan kebijaksanaan duplikat rentetan sidang sebelumnya, kembali, Majelis Hakim membiarkan potensi keterlambatan terus berulang di Senin mendatang dengan mempercayai itikad baik para pihak untuk datang tepat waktu – tanpa menetapkan batas toleransi keterlambatan.
Terkait ketidakhadiran para saksi untuk kedua kalinya, Penasehat Hukum mengingatkan ketentuan dalam Pasal 159 KUHAP dan Pasal 224 KUHP. Pasal 159 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memanggil paksa saksi yang tidak hadir di muka pengadilan walaupun sudah dipanggil secara sah. Lebih lanjut, Pasal 224 KUHP mengatur ancaman pidana untuk orang yang dengan sengaja tidak memenuhi panggilan sebagai saksi. Sontak para pengunjung melaung bersahut-sahutan. “Aparat penegak hukum tapi tidak taat hukum,” teriak para pengunjung sidang.
Merasa dua pekan disandera, Terdakwa dan Penasehat Hukum juga meminta hakim menetapkan agenda cadangan jika empat saksi dari Penuntut Umum tidak datang juga untuk yang ketiga kalinya,
“Kami memohon kebijaksanaan Majelis Hakim untuk menyudahi hak Penuntut Umum menghadirkan saksi-saksi tersebut, dan agenda sidang diteruskan dengan pemeriksaan saksi dari Para Terdakwa,” kata Febi Yonesta salah satu Penasehat Hukum ke 26 Aktivis.
Namun nampaknya Majelis Hakim tidak sehaluan dengan Penasehat Hukum dalam menafsirkan kewibawaan pengadilan. Kembali Majelis Hakim memberi kesempatan kepada Penuntut Umum untuk mencoba menghadirkan saksi untuk yang ketiga kalinya. Kewibawaan pengadilan lebih ditafsirkan oleh Majelis Hakim sebagai alasan untuk berkali-kali menyuruh diam para penonton sidang yang memekau menggerutu, tiap kali melihat persidangan dilecehkan oleh ketidakprofesionalan Penuntut Umum maupun kepolisian sebagai penyidik maupun pelapor.
Melihat potensi pelecehan terhadap persidangan oleh kelakuan para penegak hukum, Penasehat Hukum menguraikan ironi yang terjadi, “Terdakwa ini di kursi terdakwa hanya karena demonya terlambat satu jam. Bagaimana dengan para penyidik melecehkan pengadilan ini? Ini adalah pelecehan.” “Mohon dicatat, kami tidak menerima alasan secara lisan. Sehingga menurut kami tidak ada alasan. Alasan kami tidak terima, karena tidak ada bukti,” Tutup Saor. (Dema)