Seorang laki-laki berbaju hitam berteriak di lobi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. “Hidup buruh, Hidup Buruh, Tolak PP 78”. Tak lama berselang 4 orang laki-laki berbadan tegap menyergapnya. Laki-laki berbaju hitam tersebut kemudian dijatuhkan, diseret, tak ketinggalan, cacian juga meluncur dari mulut keempat laki-laki berbadan tegap tersebut. Belum selesai teatrikal yang dilakukan oleh buruh, polisi menghentikan teatrikal tersebut.
Suasana sidang lanjutan kriminalisasi terhadap 23 buruh, 2 pengabdi bantuan hukum dan 1 mahasiswa di PN Jakarta Pusat (09/05) sempat terjadi ketegangan. Salah seorang polisi membubarkan aksi teaterikal yang dilakukan buruh di pelataran PN Jakarta Pusat. Teatrikal tersebut dilakukan para buruh dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Mereka mengilustrasikan kejadian yang menimpa ke 26 aktivis pada tanggal 30 Oktober.
Dalam sidang kali ini, agenda persidangan atas terdakwa 23 buruh adalah mendengar tanggapan eksepsi dari jaksa penuntut umum. Sementara bagi Tigor, Obed dan Hasyim adalah pemeriksaan saksi dari jaksa penuntut umum.
Tanggapan Jaksa atas Eksepsi
Persidangan kembali terlambat hingga 2 jam dari waktu yang ditentukan, pukul 11.00 WIB. Tepat pukul 13.00 WIB sidang baru dimulai. Jaksa penuntut umum sergap langsung membacakan tanggapan atas eksepsi para terdakwa dan kuasa hukum. Dalam tanggapannya atas eksepsi yang diajukan kuasa hukum para terdakwa, dengan tegas jaksa penuntut umum meminta Majelis Hakim untuk meneruskan perkara ini.
“Surat dakwaan sudah jelas, cermat, dan lengkap, keberatan tidak didasarkan argumentasi yuridis yang sah, dan keberatan melampaui ruang lingkup keberatan, karena telah memasuki pokok perkara,” kata jaksa penuntut umum dihadapan Majelis Hakim.
Dalam tanggapan eksepsinya, jaksa mendalilkan bahwa dakwaan telah jelas dan lengkap karena telah menyebut waktu dan tindak pidana yang dituduhkan. Padahal dalam eksepsinya penasehat hukum ke 23 buruh mempertanyakan unsur delik yang dirumuskan serta peran para terdakwa dalam tindak pidana yang dituduhkan. Lebih lanjut, jaksa penuntut umum juga tidak memberikan jawaban atas bagian eksepsi dari terdakwa Pujo.
“Dimana kejelasan tempat tindak pidana terjadi tidak dijawab oleh jaksa, unjuk rasa tidak dilakukan di Jl. Medan Merdeka,” ungkap Pujo paska persidangan.
Selanjutnya jaksa juga mendalilkan bahwa perkara ini harus tetap dilanjutkan karena memutuskan ada atau tidaknya tindak pidana merupakan materi pokok perkara.
Dalam sidang tersebut pun jaksa tidak mempertimbangkan tindakan brutal aparat kepolisian yang menggunakan baju bertuliskan turn back crime, padahal hal tersebut merupakan bagian dari eksepsi yang diajukan oleh penasehat hukum. Berdasarkan UU ITE alat bukti yang berupa foto-foto brutalitas aparat pada tanggal 30 Oktober lalu mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Atas eksepsi mengenai perubahan dakwaan dimana KUHAP menyatakan bahwa perubahan dakwaan selambat-lambatnya dapat dilakukan selama 7 hari sebelum persidangan. Jaksa penuntut umum mengatakan dalam tanggapannya bahwa hal tersebut diperbolehkan karena tidak signifikan untuk perkara.
Apa yang disampaikan jaksa penuntut umum dalam menjawab eksepsi dari terdakwa 23 buruh pun tak jauh berbeda dengan jawaban atas eksepsi dari kuasa hukum terdakwa. Sementara untuk sidang terdakwa Tigor, Obed, dan Hasyim, agenda sidang yang seharusnya memasuki agenda pemeriksaan saksi dari jaksa penuntut umum, yaitu saksi Hendro Pandowo, Susatyo Purnomo Condro, Sairan, dan Firman Alamsyah, ditunda. Hal tersebut dikarenakan jaksa penuntut umum tidak dapat menghadirkan para saksi.
Dalam persidangan kali ini juga masih banyak terlihat aparat kepolisian yang membawa senjata api. Saat tim LBH Jakarta bermaksud mewawancarai Kapolsek Adri, mengenai aturan tentang senjata api di lingkungan pengadilan, beliau menolak untuk memberi keterangan. Seorang laki-laki berpakaian sipil, menganjurkan tim LBH Jakarta untuk tidak mewawancarai Kapolsek Adri, “Jangan mancing-mancing, Mbak,” katanya. Kapolsek pun hanya menjawab, “yang pake pistol disuruh keluar saja.” Namun hingga sidang dimulai aparat kepolisian yang membawa senjata api masih terlihat hilir mudik di dalam pengadilan.
Saat tim LBH Jakarta menghadiri audiensi dengan Komisi Yudisial, pihak Komisi Yudisial juga sepakat bahwa tindakan aparat kepolisian yang membawa senjata api di depan ruang sidang membahayakan keselamatan hakim, dan laporan tersebut akan ditindaklanjuti. (Dema)