Sidang kembali terlambat 2 jam lamanya. Kali ini sidang terlambat karena hakim tak kunjung datang. Seperti yang sudah-sudah, sidang dugaan kriminalisasi terhadap 23 buruh kembali terlambat. PN Jakarta Pusat telah ramai sejak pukul 10.00 pagi. Massa dari berbagai elemen serikat buruh mulai memadati PN Jakarta Pusat. Mereka hadir guna memberikan dukungan terhadap kawan mereka, 23 buruh yang diduga mengalami kriminalisasi. Dukungan juga hadir dari perwakilan pekerja Freeport, mereka hadir karena merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa ke 23 buruh tersebut.
Agenda sidang terhadap 23 buruh pada 18 April 2016 lalu adalah pembacaan eksepsi atau nota keberatan. Meski terlambat selama 2 jam, sidang tetap berjalan. Sebanyak 21 eksepsi dibacakan ke 21 terdakwa dihadapan Majelis Hakim. 2 terdakwa tidak menghadiri sidang karena sakit, sehingga hanya 21 eksepsi yang dibacakan.
Materi eksepsi ke 21 terdakwa kurang lebih hampir sama, namun masing-masing eksepsi berbeda pada bagian kronologi. Perbedaan tersebut terjadi karena kronologi kejadian penangkapan pada unjuk rasa tolak PP 78 30 Oktober 2015 berbeda. Proses penyidikan masing-masing terdakwa pun berbeda-beda. Kesamaan dalam eksepsi ke 21 terdakwa ada pada point yang terkait dengan PP No. 78 tahun 2015, dasar unjuk rasa damai yang mereka lakukan, cacatnya prosedur penyidikan, syarat formil dan materi dakwaan yang tidak jelas, jaksa dianggap salah menerapkan hukum, serta masing-masing terdakwa menjelaskan kronologis penangkapan.
Eksepsi: PP 78 Memiskinkan Buruh
Terdakwa pertama, Azmir Zahara mengambil mic, sebentar menarik nafas kemudian membacakan eksepsinya. Eksepsi yang dibacakan Azmir, pada bagian pendahuluan lebar membahas tentang PP 78. Bagian ini yang nantinya akan sama dibahas oleh ke 20 terdakwa lainnya.
Menurut Azmir dalam pendahuluan eksepsinya, PP 78 tentang Pengupahan merupakan kebijakan yang dibuat untuk memiskinkan buruh. Hal tersebut dikarenakan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Jika ditaksir, jumlahnya hanya sekitar 11%. Lebih lanjut, Azmir yang juga merupakan seorang buruh menjelaskan bahwa kenaikan upah minimum harus berdasar pada standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Hal tersebut sesuai dengan amanat undang-undang.
“Tingkat upah di Indonesia yang didasarkan pada KHL saja masih berada pada peringkat bawah di Asia Tenggara, akan lebih parah jika menggunakan inflasi dan PDB,” kata Azmir lantang saat membacakan eksepsinya.
PP Pengupahan oleh Pemerintah disebut sebagai solusi dari PHK dan pengangguran. Dalam eksepsinya Azmir menyebut hal tersebut adalah omong kosong.
“PHK tidak menurun dan angka pengangguran tetap meningkat setelah berlakunya PP Pengupahan ini,” lanjut Azmir.
“PP Pengupahan merupakan usaha untuk mengkerdilkan peran serikat pekerja yang seharusnya diberi kebebasan mewakili pekerja,” Tambah Azmir.
Dalam eksepsi pada bagian pendahuluan ini, para terdakwa berusaha meyakinkan hakim bahwa unjuk rasa damai menolak PP 78 perlu dilakukan. PP Pengupahan dianggap sangat menguntungkan pemilik modal. PP 78 juga dianggap sebagai bagian dari agenda Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 4 pemerintah untuk mengundang sebanyak-banyaknya investasi yang minim proteksi terhadap buruh.
Poin kedua yang disampaikan para terdakwa secara garis besar adalah tentang pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini. Hal tersebut dikarenakan, menurut para terdakwa, perbuatan para terdakwa bukan merupakan tindak pidana. Unjuk rasa damai diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, yang sanksi terberatnya adalah pembubaran, bukan pemidanaan. Pembubaran pun telah dilakukan, sehingga perkara seharusnya telah selesai.
Eksepsi: Terdakwa Menilai Dakwaan Cacat
Pada kesempatannya dihadapan Majelis Hakim, para terdakwa menyampaikan permasalahan terkait cacatnya dakwaan kepada mereka. Seluruh terdakwa dengan tegas menyatakan kepada Majelis Hakim bahwa mereka tidak pernah diperiksa sebagai tersangka. Pada malam ketika para terdakwa ditangkap hingga panggilan sidang menemui para terdakwa, mereka hanya diperiksa sebagai saksi.
Para terdakwa pun menyesalkan tindakan Kepolisian yang melakukan pemeriksaan kepada para terdakwa tidak sesuai dengan aturan. Pada malam ketika para terdakwa ditangkap, mereka langsung diperiksa. Aparat kepolisian tidak memperdulikan kondisi para terdakwa. Para terdakwa yang pada malam itu masih berstatus sebagai saksi diperiksa dalam kondisi basah kuyup, lapar, babak belur, dan berdarah-darah.
Waktu berlalu, tidak ada kabar terkait perkembangan kasus mereka. Setelah tiga bulan lamanya, setelah diperiksa sebagai saksi, mereka mendapat surat panggilan sebagai tersangka. Secepat itu pula berkas mereka dilimpahkan ke Kejaksaan. Bahkan, hal yang lebih ganjil dari perkara ini terjadi kepada seorang terdakwa atas nama Muhamad Rusdi.
Rusdi tidak ditangkap pada unjuk rasa damai tanggal 30 Oktober 2015 lalu. Tidak pernah diperiksa oleh penyidik, bahkan sebagai saksi. Entah angin apa yang menyebabkan dirinya mendapatkan surat panggilan sebagai tersangka.
“Bagaimana mungkin, saya yang tidak pernah diperiksa, bahkan sebagai saksi. Tapi tiga bulan kemudian saya mendapat surat panggilan sebagai tersangka,” jelas Rusdi.
Proses penyidikan yang seperti itu yang menjadi alasan para terdakwa menganggap proses penyidikan terhadap mereka cacat prosedur. Bahkan, ada indikasi terjadi pemalsuan dokumen.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengakui sendiri kalau dakwaan semata-mata didasarkan pada berkas dari penyidik. Jaksa tidak menggunakan kewenangannya sebagai pengendali/penguasa perkara (dominus litis). Jaksa pun tidak meneliti kebenaran dari berkas penyidikan. Sehingga dakwaan terhadap 23 buruh didasarkan hanya pada berkas penyidikan yang cacat prosedur.
Pada eksepsinya pula, para terdakwa mengkritisi syarat formil dan materil dakwaan. Para terdakwa menganggap bahwa dakwaan kepada mereka tidak cermat, tidak lengkap, dan tidak jelas. Dalam persidangan, setelah berkali-kali ditanyakan oleh para terdakwa, jaksa tidak pernah menjelaskan posisi para terdakwa dalam tindak pidana yang dituduhkan.
Dalam kasus ini, ke 23 buruh dikenakan pasal 55 ayat (1) KUHP yang menjadi dasar dakwaan kepada mereka. Secara garis besar pasal tersebut menyebutkan peran pelaku dalam sebuah tindak pidana. Pelaku dalam pasal 55 ayat (1) KUHP dibagi menjadi 3 kriteria, pelaku, orang yang menyuruh melakukan, dan orang yang turut serta melakukan. Hal tersebut yang ditanyakan para terdakwa dan penasehat hukumnya sejak sidang pertama. Hingga sidang eksepsi, para terdakwa tidak mendapat kejelasan peran terkait tindak pidana yang dituduhkan kepada mereka.
“Harusnya dakwaan menjelaskan secara lengkap unsur-unsur dalam pasal pidana yang dipenuhi oleh tindak pidana yang dituduhkan. Namun, dakwaan tidak menjelaskan peran para terdakwa dalam tindak pidana yang dituduhkan, apakah sebagai pelaku, orang yang menyuruh melakukan, atau orang yang turut serta melakukan,” terang Maruli Tua salah satu penasehat hukum para terdakwa.
Dalam kesempatannya membacakan eksepsi, salah satu terdakwa atas nama Muhamad Rusdi juga sempat memutarkan video. Video tersebut memutar sebuah aksi dari BEM SI yang melakukan unjuk rasa hingga pukul 22.00 WIB. Rusdi juga memutar aksi solidaritas atas kematian Angeline yang dilakukan pada malam hari. Bahkan polisi pun terlibat dalam aksi tersebut. melalui video tersebut Rusdi coba menjelaskan perlakuan yang berbeda terhadap unjuk rasa buruh dan menjelaskan bahwa jaksa melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum atas kasus yang tengah dialami Rusdi dan kawan-kawannya sesama buruh.
Rusdi, dalam eksepsinya mengatakan bahwa peraturan Kapolri tidak memenuhi unsur pasal 216 KUHPyang dijadikan dasar dalam dakwaan. Lebih lanjut, dalam UU No. 9 tahun 1998 pun tidak diatur pembatasan waktu untuk berunjuk rasa.
“Sebelum terjadi kriminalisasi terhadap kami, sebelum buruh melakukan unjuk rasa menolak PP 78, unjuk rasa hingga malam hari lazim dilakukan karena tidak dilarang dalam undang-undang,” jelas Rusdi.
Eksepsi: Brutalnya Aparat Kepolisian
Suasana ruang Kartika IV PN Jakarta Pusat hening tiap kali terdakwa sampai pada bagian kronologis penangkapan. Sesekali pengunjung sidang secara serentak menarik nafas mendengar peristiwa yang dialami para buruh. Dengan jelas para terdakwa menceritakan perlakuan aparat kepolisian yang brutal malam itu.
Azmir Zahara yang pada saat pembubaran berada di mobil komando (mobil dengan pengeras suara) merasakan kekejaman aparat yang memukulnya menggunakan bambu. Mobil komando dihancurkan. Terdakwa Ahmad Novel mengalami robek di dahi setelah diseret dan dipukuli. Terdakwa Suparno mengalami pecah bibirnya setelah tendangan mendarat di bibirnya.
Bringasnya aparat kepolisian malam ketika mereka membubarkan unjuk rasa buruh, terekam kuat dalam benak para terdakwa. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendarat ke tubuh para terdakwa malam itu. Para terdakwa merasakan diperlakukan tidak sebagai manusia, ditelanjangi, dicekik, diikat, bahkan polisi sengaja melempar gas air mata ke dalam mobil dalmas yang berisi para terdakwa.
Selain kekerasan secara fisik, kekerasan verbal juga dilakukan para polisi berbaju Turn Back Crime saat membubarkan aksi pada tanggal 30 Oktober 2015. Dihadapan Majelis Hakim, Dian Septi menyampaikan hal tersebut.
“Turun lo! Turun gak! Anjing semua!” Kata Dian dihadapan Majelis Hakim. Dengan jelas Dian menggambarkan perilaku brutal polisi. Ejekan-ejekan bahkan masih terngiang dengan jelas di telinga Dian. “Bahkan polisi mengejek Marsinah, buruh perempuan dari Sidoarjo yang ditembak vaginanya,” kata Dian. Polisi pun sempat melontarkan kata-kata yang tidak hanya merendahkan dirinya sebagai buruh, namun juga sebagai perempuan. Polisi tersebut mengatakan agar Dian sebagai perempuan diam di rumah saja, jangan ikut berunjuk rasa. “Mbaknya perempuan, jangan suka demo, kasihan anak, perempuan tugasnya masak, bukan demo” kenang Dian.
Tidak hanya itu, barang-barang yang dirampas dari terdakwa banyak yang belum dikembalikan. Diantaranya: Handphone Xiaomi milik Azmir; uang 1,5 juta rupiah, STNK motor, KTP, Kartu BPJS, Hanphone, dan Powerbank milik Riki Fauzi; Laptop Toshiba 14 inch, dompet, uang 1 juta rupiah, dan 7 buah handphone yang dititipkan dalam tas Wahyuni; dan Handphone Samsung milik Yana.
Dalam eksepsi ini para terdakwa berusaha menyampaikan bahwa dakwaan jaksa tidak sesuai fakta. Terdakwa membantah jaksa yang tidak menyebutkan locus delicti (tempat tindak pidana) dilakukan. Perlu kita ketahui bersama bahwasannya Istana Negara tidak terletak di Jalan Medan Merdeka. Para terdakwa juga berusaha meyakinkan hakim bahwa yang harusnya duduk di kursi ‘pesakitan’ adalah polisi yang bertindak represif.
Para terdakwa juga membantah dakwaan yang menyatakan para terdakwa melaksanakan solat Jumat di depan istana, karena massa aksi melakukan solat Jumat di depan patung kuda. Kemudian, para terdakwa juga membantah bahwa mereka tidak menuruti perintah polisi untuk membubarkan diri. Hal tersebut dikarenakan para terdakwa tidak mendengar peringatan dari polisi sebanyak tiga kali sebagaimana didalilkan dalam dakwaan jaksa. Selain itu, saat ditembak water canon, semua massa aksi sudah bergerak mundur menjauhi Istana Negara, menjauh untuk pulang.
Situasi pada malam itu cukup ramai, ada puluhan ribu buruh, mobilisasi lama, mobil komando juga kesulitan bergerak karena terhalang lautan manusia yang berduyun-duyun membubarkan diri. Namun polisi tiba-tiba menembak gas air mata dan langsung menghajar para terdakwa. Bahkan, para terdakwa mendalilkan, sebelum dan saat dianiaya pun, tidak ada yang melakukan perlawanan. Pengakuan dari para terdakwa pun mengundang decak penonton sidang. Bagaimana tidak, selain kekerasan fisik, banyak kekerasan verbal yang makin menunjukan jongkoknya moralitas personel-personel yang bertugas.
Setelah para terdakwa membacakan eksepsinya satu persatu. Sidang dilanjutkan oleh pembacaan eksepsi Penasehat Hukum. Materi eksepsi kurang lebih sama dengan yang dibuat oleh Penasehat Hukum untuk Terdakwa Hasyim yang disidangkan bersama Tigor dan Obed. Diantaranya: pengadilan tidak berwenang karena menurut undang-undang sanksi untuk unjuk rasa adalah pembubaran; Peraturan Kapolri tidak memenuhi unsur Pasal 216 KUHP yang dijadikan dasar dakwaan; dakwaan error in persona karena kesalahan identitas; dakwaan tidak jelas, cermat, dan lengkap; dan dakwaan tidak sesuai fakta.
Dalam petitum, Penasehat Hukum memohon kepada Majelis Hakim untuk: menerima keberatan Penasehat Hukum dan 23 pejuang buruh untuk seluruhnya; menyatakan PN tidak berwenang mengadili perkara; menyatakan dakwaan batal demi hukum, atau harus dibatalkan, atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima; menyatakan perkara tidak diperiksa lebih lanjut; memulihkan nama baik para terdakwa pada kedudukan semula; dan membebankan biaya perkara pada negara. (Dema)