Jakarta, bantuanhukum.or.id – Sidang pengujian UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana kembali dilanjutkan oleh Mahkamah Konstitusi, Rabu (13/04). UU tersebut diuji karena di dalam UU tersebut kewenangan penyidik begitu besar, situasi tersebut mampu menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sidang kali ini merupakan sidang lanjutan untuk mendengarkan keterangan ahli dan saksi.
Pihak pemohon, Ichsan Zickry dari LBH Jakarta dan kawan-kawan menghadirkan Dr. Muamarar Siahaan sebagai ahli serta Bibit Samad Rianto dan Candra M. Hamzah sebagai saksi. Tidak hanya mendengarkan keterangan ahli dan saksi, pada sidang kali ini, MK juga mendengarkan keterangan dari pihak terkait. Pihak terkait dalam Sidang Pengujian UU No.8 Tahun 1981 ini merupakan Kejaksaan yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum Yudi Christian.
Secara garis besar agenda persidangan tersebut mengungkapkan bahwa KUHAP yang dulu dianggap sebagai sebuah karya agung. Hal tersebut dikarenakan dalam KUHAP terdapat nilai-nilai yang menjunjung tinggi HAM, namun hal tersebut tidak lagi relevan dalam kondisi hukum saat ini. Maruarar Siahaan dalam keterangannya di persidangan mengungkapkan bahwasannya perlu ada pembaharuan dalam KUHAP agar sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat.
“Sudah lebih dari 35 tahun diberlakukan, KUHAP sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehinga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru,” terang Maruarar.
“Secara tekstual KUHAP tidaklah bermasalah, namun kini dalam mengimplementasikannya akan menjadi bermasalah, bahkan dapat menjadi masalah konstitusi,” lanjut Maruarar dalam memberikan keterangan sebagai ahli dalam perkara nomor 130/PUU-XIII/2015 ini.
Beberapa fakta mengejutkan pun disampaikan saksi dalam persidangan. Bibit Samad Rianto yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK periode 2009-2011, menceritakan pengalamannya saat masih aktif menjabat di Kepolisiaan. Dalam kesaksiaannya ia mengaku pernah disodorkan setumpuk dokumen SP3 yang harus di tanda tangani. Dari setumpuk dokumen tersebut, Bibit hanya menandatangani sepertiganya saja, hal tersebut dikarenakan hanya sepertiga kasus saja yang pantas untuk di SP3-kan menurutnya. Akibat sikap dan perbuatannya tersebut, Bibit pun pernah dikirimi surat kaleng ancaman.
Sementara Candra M. Hamzah yang juga mantan Komisioner KPK menceritakan pengalamannya saat menjabat di KPK. Ia dengan tegas menjelaskan bahwasannya KPK tidak boleh mengeluarkan SP3, sehingga proses dari mulai penyelidikan hingga penyidikan dilakukan dengan sangat hati-hati akuntabel.
“Jaksa Penuntut Umum sudah aktif memberikan saran dan nasehat sehingga tidak ada bolak-balik perkara seperti proses di Kepolisian pada umumnya,” terang Candra.
Pihak terkait juga turut memberikan keterangan dihadapan Hakim MK. Yudi Cristian sebagai perwakilan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) menungkapkan alasan-alasan Urgently seorang Jaksa penuntut umum harus dilibatkan sedini mungkin dikarenakan sering kali seorang penyidik dalam memberikan dokumken P-21 tidak disertai dengan berkas perkara tahap dua, selain itu dengan adanya bolak-balik perkara menyebabkan berlarut-larutnya nasib seorang tersangka.
Pasal yang diuji dalam UU No. 8 tahun 1981 KUHAP merupakan Pasal 14 huruf b, Pasal 14 huruf I, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139. (Ayu)