Dugaan penyiksaan dan kesewenangan kepolisian terkait kasus tewasnya Siyono semakin menguat. Hari ini Komnas HAM, PP Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, PSHK, dan LBH Pers mengumumkan hasil otopsi yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI).
Hasil otopsi tim dokter forensik tersebut menegaskan beberapa temuan. Pertama, bahwa Siyono tidak pernah diotopsi sebelumnya. Hal ini menegaskan bahwa kepolisian terlalu cepat menyimpulkan penyebab meninggalnya Siyono dan tanpa melalui otopsi. Kedua, ditemukan banyaknya luka karena benda tumpul dalam tubuh Siyono. Lima tulang rusuk sebelah kiri dan satu tulang rusuk sebelah kanan patah. Ada tekanan yang kuat ke jantung. Hal inilah yang menurut tim dokter forensik menjadi penyebab tewasnya Siyono.
Terdapat luka di kepala, namun tim forensik menyampaikan bahwa luka di kepala bukanlah penyebab kematian Siyono. Kedua temuan tersebut mementahkan pendapat kepolisian yang menyatakan bahwa Siyono meninggal karena luka di kepala. Ketiga, tidak ditemukan adanya luka-luka disekitar tangan yang digunakan untuk pertahanan diri ataupun menyerang. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapat Kepolisian yang menyatakan Siyono melakukan perlawanan adalah bohong belaka.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta berpendapat bahwa hasil otopsi terhadap Siyono mengindikasikan adanya penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88. Setiap orang yang terlibat dalam dugaan penyiksaan ini harus bertanggung jawab dan diproses ke pengadilan. Berbagai peraturan perundang-undangan secara tegas mengatur mengenai larangan penyiksaan, seperti Pasal 422 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman maksimum 4 tahun penjara, Pasal 33 Undang-Undang HAM, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, dan bahkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Artinya sekalipun seseorang bersalah, maka hak untuk bebas dari penyiksaan tetap melekat. Terlebih terhadap Siyono yang tidak pernah mendapatkan proses hukum yang adil.
Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta berpendapat Kepolisian harus menyidik tuntas kasus tewasnya Siyono. “Tidak hanya dikenakan Pasal 422, Pasal 338 tentang pembunuhan ataupun Pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan yang menyebabkan mati, dapat dikenakan kepada pelaku penyiksaan”, ujar Alghif. Selain itu Alghif menegaskan bahwa Kepolisian harus dirombak secara besar-besaran, reformasi di Kepolisian sama sekali tidak ada kemajuan dalam hal profesionalitas penegakan hukum. Polisi seringkali “mengungkap kejahatan dengan kejahatan” karena penyiksaan merupakan kejahatan. Penelitian LBH Jakarta mencatat bahwa 83,3% orang yang diperiksa oleh kepolisian mendapatkan penyiksaan. Artinya 8 dari 10 orang yang diperiksa mendapatkan penyiksaan. Fakta lebih buruk bisa terjadi dalam penanganan terorisme oleh Densus 88 karena tidak ada akuntabilitas ataupun keterbukaan kinerja dari Densus 88.
Arif Maulana, Kepala Bidang Advokasi Fair Trial LBH Jakarta berpendapat bahwa kasus Siyono ini merupakan pintu masuk untuk mengevaluasi kinerja kepolisian, khususnya Densus 88. “Profesionalitas dan akuntabilitas harus dikedepankan”, menurut Arif. Arif berpendapat lembaga penegakan hukum yang punya power dan punya otoritas besar seperti kepolisian akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan jika tidak ada sistem koreksi yang efektif. Indeks effective correctional system Indonesia dalam sistem peradilan pidana hanya 0,1 (dari 1) menurut survei World Justice Project tahun 2015. “Sebuah keharusan untuk menciptakan sistem koreksi efektif di Indonesia, jika tidak, akan ada Siyono selanjutnya. Akan ada banyak lagi orang yang terancam akan disiksa”, tutup Arif.
Hormat Kami
LBH Jakarta
Nara hubung:
Alghiffari Aqsa : 081280666410.
Arif Maulana : 0817256167.