Salah satu peserta ibadah di Timika, Papua dikenakan pasal makar
PRESS RELEASE No. 774/SK-RILIS/IV/2016
(Jakarta, 7 April 2016) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Filep Karma mengecam tindakan represif aparat gabungan TNI/Polri dalam pembubaran kegiatan damai “Doa Pemulihan Bangsa Papua” di Timika, Papua yang berujung pada pengenaan pasal makar ke salah satu peserta ibadah.
Berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan baik dari media maupun dari orang yang berada di lapangan pada waktu kejadian, pada tanggal 5 April 2016 pagi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Timika mengadakan kegiatan doa bersama di halaman Gereja GKII Golgota di Timika, Papua. Namun ketika kegiatan masih berlangsung, tiba-tiba aparat gabungan TNI/Polri membubarkan kegiatan dengan mengeluarkan tembakan ke atas beberapa kali dan menyerang kerumunan massa.
Aparat gabungan TNI/Polri memukul, menendang, menghantam dengan popor senjata puluhan peserta kegiatan. Ada pula satu anggota TNI yang menelanjangi anggota KNPB yang berinisial IT. Dua anggota KNPB berinisial AD dan AE juga terluka parah hingga harus dirumahsakitkan. Sejumlah spanduk, pakaian dan noken disita oleh polisi.
Penyerangan oleh aparat keamanan tersebut berujung pada ditangkapnya 15 anggota KNPB. 13 orang kemudian dibebaskan pada keesokan harinya dengan status wajib lapor hingga waktu yang belum ditentukan. Dua lainnya yakni Steven Itlay dan Yus Wenda masih ditahan di Polres Mimika hingga saat ini. Steven Itlay dikenakan pasal 106 yakni pasal makar.
“Kami mengecam penggunaan pasal makar tersebut karena lagi-lagi pasal tersebut digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua. Belum selesai PR (pekerjaan rumah) Jokowi soal tapol di Papua, kini malah jumlahnya mau ditambah lagi,” kecam Veronica Koman, pengacara publik LBH Jakarta.
Tercatat bahwa setelah bebasnya Filep Karma, berarti masih ada 44 tahanan politik (tapol) di Papua, berdasarkan laporan bulan Agustus/September 2015 dari organisasi Papuans Behind Bars. Meskipun beberapa dari tapol tersebut sudah dibebaskan, namun mereka masih terus menghadapi tuduhan dan menjalani investigasi.
Filep Karma, mantan tapol Papua yang baru saja dibebaskan setelah divonis 15 tahun penjara berkata, “Sepertinya ini disengaja untuk merampas/membatasi kebebasan berekspresi aktivis Orang Asli Papua. Ini cara-cara jaman feodal Belanda untuk membungkam para pejuang kemerdekaan Indonesia. Aneh bin ajaib, di jaman Indonesia modern yang demokrasi begini masih digunakan cara represif abad 18. Tidak apa kalau penggunaan cara-cara represif dan pasal makar masih digunakan karena ini membuktikan bahwa NKRI tidak bisa dipercaya. Hal ini akan mendorong semakin banyak yang simpati dengan penderitaan dan perjuangan orang Papua. Sebab saya sendiri sudah tidak percaya pemerintah ini masih ada nilai keadilan dan kemanusiaan terhadap orang Papua”.
“Pemerintah begitu takut dengan simbol-simbol identitas orang Papua, yang padahal simbol tersebut pernah bisa diakui dengan damai di jaman Gus Dur. Pemberangusan yang represif tidak akan bisa menghilangkan permasalahan di Papua. Penggunaan pasal makar malah akan semakin memperburuk situasi,” kata Alghiffari Aqsa, direktur LBH Jakarta.
Untuk itu, LBH Jakarta menuntut kepada Kapolres Mimika, Kapolda Papua dan Kapolri untuk segera menghentikan penyidikan dan membebaskan Steven Itlay; serta segera melepaskan Yus Wenda karena yang bersangkutan hanya diduga melanggar pasal 351 yang ancaman hukumannya maksimal hanya 2 tahun 8 bulan. LBH Jakarta juga menuntut keseriusan komitmen Presiden Jokowi yang ingin menyelesaikan persoalan tapol/napol di Papua.
Hormat kami,
LBH Jakarta dan Filep Karma
Kontak: Filep Karma (082198850159), Veronica (08170941833), Alghiffari (081280666410)