Jakarta, bantuanhukum.or.id—Rabu (23/03) pukul 13.00, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) membacakan Keputusan MKDKI. Putusan tersebut dibacakan atas pengaduan Nomor 12/P/MKDKI/III/2014 dari Rosyidah. Laporan tersebut didasari atas dugaan pelanggaran disiplin dan malpraktek oleh beberapa dokter dari RS Hermina yang menyebabkan kematian anaknya, Alm. Rachman Octarianda. Dalam Keputusan MKDKI, MKDKI menyatakan tidak memiliki kewenangan memutuskan apakah terjadi malpraktek atau tidak, karena kewenangan tersebut dipegang oleh penegak hukum (pengadilan-red).
Sebelumnya, pada 14 Februari 2014, Alm. Rachman Octarianda, 10 tahun, dibawa oleh Rosyidah dan suaminya ke RS Hermina karena lemas dan membutuhkan cairan. Dokter RS Hermina mengatakan bahwa Alm. Rachman Octarianda perlu dibawa ke ICU. Pasien dan keluarga menolak untuk membawa Alm. Rachman ke ICU, sampai membuat surat resmi penolakan pemindahan ke ICU dan pernyataan untuk berpindah rumah sakit. Namun saat keluarga Alm. Rachman Octarianda sedang keluar untuk mencari rumah sakit lain, Alm. Rachman, yang masih anak-anak, langsung dibawa ke ICU tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari keluarga.
Di dalam ICU Alm. Rachman diikat, dibius, dan dipasang alat pernapasan. Keluarga korban yang baru tiba di rumah sakit tiba-tiba melihat Alm. Rachman dalam keadaan sudah diikat. Menurut penuturan Rosyidah, sebelum dibius, Alm. Rachman masih dalam keadaan segar bugar. Petaka tersebut kemudian terjadi, setelah dibius dan dipasang alat bantu pernapasan listrik di ruang ICU padam, hal tersebut menyebabkan Alm. Rachman yang telah dipasangi alat pernapasan menjadi koma. Tak lama berselang, seorang petugas kesehatan naik ke atas badan Alm. Rachman dan menyogokkan besi tipis sepanjang 30 cm ke tenggorokan Alm. Rachman dan Alm. Rachman langsung meninggal. Alm. Rachman meninggal dalam keadaan mulut menganga dan mata terbelalak.
Pasca kematian sang ananda, penderitaan Rosyidah bukannya mereda, namun justru semakin bertambah. Berbagai dugaan kecurangan dan mandeknya proses hukum seakan menambah kedukaan Rosyidah dan suaminya yang kehilangan anak pertamanya. Saat bermediasi di Dinas Kesehatan, Rosyidah tidak melihat ada itikad baik dari RS Hermina untuk mengakui kecacatan prosedur. Bahkan, saat Rosyidah mengadu ke Ombudsman RI, Dinas Kesehatan mengirimkan surat kepada Ombudsman RI bahwa Rosyidah dan RS Hermina telah berdamai. Padahal perdamaian itu tidak pernah terjadi.
Setelah itu, ketika sidang pemeriksaan disiplin di MKDKI. Rosyidah melihat berbagai dugaan pemalsuan tanda tangan Rosyidah pada berkas rekam medis. Dalam alat bukti surat yang diajukan oleh RS Hermina, Rosyidah mendalilkan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani dokumen permohonan ICU. Justru Rosyidah membuat surat penolakan ICU.
“Jaman sekarang kan nge-scan pake komputer gampang,” ujar Rosyidah pada saat berkonsultasi dengan LBH Jakarta.
Dalam pemeriksaan keterangan di muka persidangan disiplin, ia menyampaikan di muka persidangan bahwa ia tidak pernah menandatangani beberapa dokumen yang diajukan oleh RS Hermina sebagai alat bukti surat. Namun MKDKI tidak menggubris keterangan Rosyidah dalam memperjuangakan keadilan, misalnya dengan mendatangkan Saksi Ahli yang berkapasitas untuk menilai keaslian tanda tangan. Akhirnya, pada bagian pertimbangan Majelis dalam Keputusan MKDKI, MKDKI masih menggunakan alat bukti surat tersebut sebagai pertimbangan untuk membuat Keputusan.
Kekecewaan mendalam menyelubungi Rosyidah manakala MKDI mengeluarkan keputusan.
“Saya sangat kecewa dengan MKDKI. Pertama saya sudah menunggu lama sekali keluarnya keputusan ini, dua tahun tanpa kabar, tanpa kejelasan. Saya hanya diperiksa satu kali. Dalam pemeriksaan itu juga saya sudah berulang-ulang mengungkapkan kepada Majelis berbagai dugaan pemalsuan dokumen. Mana pernah saya buat surat permohonan ICU? Justru saya membuat surat penolakan ICU. Eh, pas kita lagi keluar cari rumah sakit baru, anak saya malah diam-diam dimasukkan ke ICU. Tapi apa, MKDKI tidak pernah mendengarkan suara saya. Mana pernah MKDKI melakukan usaha untuk menilai apakah rekam medis anak saya dipalsukan atau tidak. MKDKI percaya-percaya saja pada rekam medis itu,” terangnya lirih.
Dua tahun telah berlalu sejak kematian sang anak, kesedihan akibat kehilangan sang buah hati tampaknya tak kan lekang dimakan waktu. Kejadian tersebut masih terekam dalam ingatan Rosyidah yang menyaksikan sendiri kepergian sang buah hati.
“Anak saya masuk ke rumah sakit sehat-sehat saja. Cuma butuh cairan. Masih bisa ketawa, meluk bapaknya. Pas diikat anak saya meronta-ronta minta solat dulu, suster gak kasih. Gimana rasanya melihat anak kita meninggal di depan kita ditusuk besi di tenggorokannya? Saya lihat sendiri mulut anak saya menganga dan matanya melotot,” kenang Rosyidah. (Dema)