Kertas Posisi Terhadap
Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
Ranperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta
Pendahuluan
Setahun lalu, Pemerintah Eksekutif DKI Jakarta mengajukan dua rancangan Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Raperda RZWP-3-K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSPJ). Gubernur mengajukan dua rancangan tersebut kepada DPRD untuk kemudian menjadi pengaturan baru atas sumber daya dan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Koalisi menerima versi terakhir pada 22 Januari 2016.
Untuk menilai apakah Perda tersebut sejalan dengan perlindungan terhadap nelayan tradisional, masyarakat pesisir, dan lingkungan hidup, telah ada berbagai kebijakan yang dapat menjadi alat untuk menganalisis rancangan perda tersebut.
Berbagai alat analisis tersebut dari mulai (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 terhadap Uji Materil UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (3) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil beserta perubahannya UU No. 1 Tahun 2014; (4) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang beserta dengan peraturan turunannya; (4) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan peraturan turunannya; (5) Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia Tahun 2014; (6) Permen KP No. 34/PERMEN-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil beserta dengan Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kabupaten/Kota; dan (7) Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Situasi Umum Teluk Jakarta
Kondisi Teluk Jakarta telah kritis, ditandai dari kemampuan pencucian alami (natural flushing) yang semakin menurun. Kondisi ini kemudian berdampak kepada terjadinya kematian ikan yang terus-terusan terjadi. Terakhir terjadi kematian ikan pada awal Desember 2015 di Pantai Ancol, yang tidak lama berselang terjadi juga di wilayah perairan Muara Angke. Kematian ikan tersebut tidak terjadi tiba-tiba tetapi terus-terusan berulang sejak tahun 1970-an. Ditambah lagi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta yang telah tinggi disebabkan oleh 13 sungai yang masuk keperairan Teluk Jakarta yang tidak kunjung diselesaikan masalah pencemarannya. Beban daya dukung Teluk Jakarta telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya dilihat dari penurunan muka tanah yang tinggi karena pembangunan di daratan Jakarta.
Pengelolaan Teluk Jakarta bertambah ruwet dengan munculnya Kebijakan Program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang dipaksakan oleh pemerintah pusat sebagai proyek investasi. Melalui kebijakan master plan pengembangan terpadu pesisir Ibukota Negara tersebut, mengatur pengembangan dan pendayagunan pantai, pengelolaan pesisir Kepulauan Seribu, Pantai Utara Jakarta hingga mengatur tentang mega proyek reklamasi.
Sekilas tentang Reklamasi
Secara singkat, reklamasi dilakukan secara ilegal di pesisir Teluk Jakarta sejak tahun 1980-an. Reklamasi sewenang-wenang yang melawan hukum tersebut kemudian diputihkan dalam Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995. Pasca Runtuhnya rezim Orde Baru, Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan Keputusan Menteri LH No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Lingkungan Hidup atas Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Pihak pengembang kemudian menggugat penilaian resiko reklamasi tersebut yang pada akhirnya di tingkat peninjauan kembali, Mahkamah Agung mengalahkan Kemen LH. Padahal di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memenangkan Men LH dan menolak gugatan dari pihak pengembang. Setelah periode tersebut reklamasi kembali masif ditambah lagi dengan terbitnya Peraturan Daerah tentang RTRW Jakarta 2030. Catatan khusus bahwa putusan pengadilan hanya menyangkut aspek formal prosedural sehingga dampak buruk tentang reklamasi masih mengancam dan beberapa telah terjadi akibat reklamasi.
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tahun 2008. Ketentuan tersebut dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 72 Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang menyatakan Keppres No. 52/1995 dinyatakan tidak berlaku bersamaan dengan ketentuan lain yang terbit untuk memutihkan reklamasi illegal.
Jakarta adalah kawasan strategis nasional, yang didefinisikan sebagai “wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.”[1]. Penetapan Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam Lampiran X PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional[2]. Maka, berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 maka kewenangan pengelolaan DKI Jakarta sebagai kawasan strategis nasional berada di tangan pemerintah Pusat[3].
Gubernur Ahok seperti mengangkangi berbagai peraturan dan tidak peduli terhadap peminggiranterhadap nelayan, pemiskinan terhadap nelayan, serta masyarakat pesisir akibat proyek reklamasi. Terbitnya empat izin yang hanya diakses di website membuktikan masyarakat nelayan tidak diberikan informasi yang memadai. Reklamasi Pulau G terbit pada Desember 2012, Pulau F dan Pulau I terbit Oktober 2015 dan terakhir Pulau K pada November 2015. Sehingga sangat jelas bagaimana Pemprov melanggar hukum. Ditambah lagi belum adanya Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang seharusnya menjadi pengaturan arahan dasar hukum penataan ruang di kawasan pesisir.
Proses Partisipasi yang ‘Basa-Basi’, Tidak Terbuka dan Tidak Transparan
Partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik dan alasan dari pengambilan keputusan publik merupakan salah satu ciri dari penyelenggaraan negara demokratis.
Sehubungan dengan partisipasi aktif masyarakat dalam pembentukan Perda, M. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono menegaskan bahwa ada tiga akses yang perlu disediakan bagi masyarakat. Pertama, akses terhadap informasi; kedua, akses partisipasi dalam pengambilan keputusan yang meliputi hak masyarakat untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, partisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan ketiga, akses terhadap keadilan (access to justice) dengan menyediakan mekanisme bagi masyarakat untuk menegakkan hukum lingkungan secara langsung. Sifat dasar dari peran serta adalah keterbukaan dan transparansi.
Pada dasarnya keikutsertaan masyarakat (partisipasi) dalam proses pembentukan Perda diatur dan dijamin oleh Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pedoman teknis penyusunan Perencanan RZWP3K, konsultasi publik dilakukan antara lain melalui rapat, musyawarah/rembug desa, dan lokakarya. Konsultasi publik adalah suatu proses penggalian dan dialog masukan, tanggapan dan sanggahan antara pemerintah daerah dengan pemerintah, dan pemangku kepentingan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Namun faktanya proses penyusunan kedua Ranperda telah melanggar ketentuan partisipasi masyarakat, terutama perempuan yang diatur dalam undang-undang ataupun pedoman teknis. Tidak pernah ada konsultasi publik, kepada masyarakat nelayan, masyarakat di pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu, serta kelompok lain yang akan terdampak signifikan khususnya perempuan, kecuali ketika Ranperda tersebut akan disahkan. Proses konsultasi publik yang dilakukan terkesan basa-basi, hanya untuk memenuhi aspek formil legislasi karena masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk mempelajari rancangan peraturan melalui media publik dan masyarakat seolah diundang untuk ‘menyetujui’ Ranperda yang akan disahkan. Pun, dokumen kedua Ranperda tersebut tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Padahal Pasal 14 ayat 2, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan bahwa “Mekanisme penyusunan RSWP-3-K (Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), RZWP-3-K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), RPWP-3-K (Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), dan RAPWP-3-K (Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan Masyarakat.” Selanjutnya, dalam ayat 3 disebutkan, “Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan.”
Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa Nelayan Tradisional dan Masyarakat Pesisir
Dalam Ranperda RZWP3K, pertimbangan yuridis merujuk Pasal 9 UU No. 27 Tahun 2007 yang menyatakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam pengaturan di dalam batang tubuh Ranperda, tidak sekalipun menunjukkan keberpihakan kepada nelayan tradisional dan nelayan skala kecil selaku pemangku kepentingan utama yang rentan. Padahal nelayan tradisional telah diakui dalam UU No. 27 Tahun 2007 sebagai Pemangku Kepentingan Utama sebagai pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Fakta data BPS terakhir tahun 2008, terdapat 257 perahu kapal tanpa motor dan 692 kapal perahu motor tempel berukuran dibawah < 5GT.
Pasal 42 Raperda RZWP3K menyatakan mengenai Kebijakan Pengembang Zonasi Perikanan Tangkap yang salah satunya adalah mengembangkan zona perikanan tangkap tradisional. Tetapi tidak terdapat penjelasan bagaimana pengembangan zona perikanan tangkap tradisional tersebut. Perda ini seolah-olah buta terhadap fakta bahwa perikanan tradisional melakukan operasional di wilayah yang tidak lebih dari 0-4 mil laut. Jarak 0-4 mil laut tersebut telah ditetapkan oleh kawasan reklamasi sehingga sangat jelas bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2007. Dapat disimpulkan Perda RZWP-3-K ini melakukan pelanggaran dengan melalaikan kewajiban melindungi nelayan tradisional.
Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan atau Raperda Reklamasi?
Patut dijelaskan secara khusus bahwa, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak mengatur secara khusus mengenai penataan ruang di laut. Pasal 6 ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri”. Dari ketentuan tersebut, UU Penataan Ruang hanya mengatur mengenai penataan ruang secara umum tetapi tidak secara khusus mengenai ruang laut. Terkait ruang laut, telah ada ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Ketentuan UU Pesisir dan UU Kelautan seharusnya menjadi dasar hukum dalam alokasi dan penataan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tetapi Raperda RTR Kawasan Strategis Pantura Jakarta melanggar ketentuan mengenai pengaturan khusus mengenai ruang pesisir dan laut. Dasar hukum yang menjadi dasar pengaturannya adalah UU No. 26 Tahun 2007 yang lebih berorientasi kepada daratan. Sementara UU Pesisir dan UU Kelautan tidak menjadi ruh utama dalam berbagai pengaturan Ranperda RTRKSPJ. Yang terjadi adalah Raperda tersebut lebih berorientasi daratan dengan memaksakan kepentingan reklamasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Jakarta telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dalam Lampiran X PP No. 26 Tahun 2008. Dengan penetapan itu maka pengelolaan dan pemanfaatan di wilayah kawasan Strategis Nasional adalah kewenangan dari Pemerintah Pusat. Perda RTR ini melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a, c, Ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007.
Ranperda yang Buta Gender dan Tidak Memperhitungkan Situasi Perempuan Nelayan dan Pesisir
Bagi perempuan nelayan dan pesisir, perampasan wilayah kelola nelayan serta merta memperparah rentang kehancuran kehidupannya. Perempuan dijauhkan secara paksa dari sumber daya laut yang digeluti sebagai sumber kehidupannya. Padahal, Perempuan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan alam, termasuk laut dan pesisir. Bagi perempuan, tanah dan sumber daya alam adalah hidup, dan nyawa mereka, karena tidak hanya memberikan tempat untuk hidup tetapi juga menyediakan sumber-sumber kehidupan bagi kelangsungan keluarga dan komunitasnya. Peran gender perempuan mengharuskan mereka berinteraksi lebih akrab dengan sumber daya alam dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan juga memiliki peran dalam penyelamatan ekosistem pesisir, antara lain melestarikan ekosistem mangrove demi mempertahankan dan memenuhi kehidupan mereka serta keluarganya. Perempuan pun memanfaatkan ekosistem di sekitar mangrove, seperti mencari kepiting bakau, teripang, ikan, atau mencari kerang agar bisa menunjang kehidupan keluarga ketika cuaca tidak lagi bersahabat untuk melaut.
Privatisasi telah berdampak sangat buruk bagi perempuan di seluruh dunia terutama perempuan miskin di pesisir yang kehilangan akses pada sumber daya publik. Karena seringkali hubungan tenurial kepemilikan sumber daya berkaitan dengan relasinya dengan laki-laki. Bahwa pemberian hak eksklusif pada pemilik modal telah memicu ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam dan mereproduksi kemiskinan pada komunitas pesisir, khususnya nelayan tradisional. Terlebih hingga kini tidak pernah ada pengakuan identitas perempuan nelayan.
Ranperda ini dalam prosesnya tidak pernah memperhitungkan situasi khusus perempuan di pesisir Teluk Jakarta. Tidak pernah ada data terpilah gender maupun kajian dampak yang berbeda terhadap perempuan. Karena meskipun situasi yang dialami sama, namun peran gender telah menjadikan perempuan mengalami dampak yang berbeda. Hal ini yang abai dan tidak dilihat, sehingga kedua Ranperda ini merupakan aturan yang ‘buta gender‘ dan tidak memperhitungkan situasi perempuan di pesisir Teluk Jakarta.
Keberadaan perempuan nelayan sangat penting di dalam aktivitas perikanan. KIARA mencatat sedikitnya 48 persen pendapatan keluarga nelayan dikontribusikan oleh perempuan nelayan. Perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran. Pertama, pra-produksi. perempuan nelayan berperan dalam menyiapkan bekal melaut. Kedua, produksi. Sebagian kecil perempuan nelayan melaut. Ketiga, pengolahan. Perempuan nelayan berperan besar dalam mengolah hasil tangkapan ikan dan/atau sumber daya pesisir lainnya. Keempat, pemasaran. Peran perempuan nelayan sangat besar: mulai memilah, membersihkan, dan menjual. Dalam pada itu, 17 jam dimanfaatkan perempuan nelayan untuk bekerja. Fakta lain juga menunjukkan, sekitar 47 persen dari jumlah perempuan nelayan yang bekerja di bagian pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan ikan. Demikian pula di usaha pergaraman, perempuan nelayan berperan penting, mulai dari membersihkan hingga mengakut garam yang diproduksi.
Dalam konteks ini, penting disebutkan jumlah rumah tangga nelayan, terutama perikanan tangkap, yang berpotensi terdampak proyek reklamasi di tiga kota/provinsi, yaitu: Jakarta Utara di Provinsi DKI Jakarta, Bekasi di Provinsi Jawa Barat, dan Tangerang di Provinsi Banten. Adapun datanya sebagai berikut:
Nama Provinsi Jumlah Rumah Tangga Nelayan
DKI Jakarta 3.238
Jawa Barat 46.457
Banten 6.614
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016
Ranperda Yang Melanggar Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Dalam konsultasi publik terkait dengan dua Ranperda Reklamasi, Pemda DKI Jakarta, melalui Kepala Bappeda, mengklaim bahwa telah ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai landasan penyusunan Ranperda RZWP3K dan Ranperda RTRK KSPJ. KLHS merupakan salah satu instrumen pencegahan kerusakan lingkungan hidup di dalam UU 32 Tahun 2009 untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP)[4]. Salah muatan penting di dalam KLHS yaitu mengenai kajian terhadap kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan.
Ada empat masalah utama dari KLHS yang telah dibuat dan diklaim oleh Pemda DKI Jakarta. Pertama, dokumen KLHS tidak pernah sekalipun dipublikasikan sehingga masyarakat tidak dapat mengetahui kebenaran kajian tersebut, terutama terkait kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kedua, Menurut Andi Guna Wibisana[5], salah satu elemen pembangunan berkelanjutan yaitu keadilan intra generasi, artinya ketika dua Ranperda di atas meminggirkan nelayan skala kecil, Ranperda tersebut belum mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana mandat wajib UU 32 Tahun 2009. Ketiga, KLHS seharusnya memastikan tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, namun menurut Alan Koropitan[6], pembangunan reklamasi akan menurunkan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim karena menurunkan keanekaragaman hayati laut dan pesisir. Keempat, pembangunan seharusnya memastikan adanya keadilan antar generasi supaya kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang dimiliki oleh generasi yang akan datang, tidak lebih buruk dari kualitas yang dimiliki oleh generasi sekarang[7].
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta memandang Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Ranperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta melanggar hak asasi manusia, serta berpotensi akan memperkuat peminggiran dan pemiskinan bagi nelayan, perempuan nelayan dan masyarakat Pesisir. Kedua Rancangan Perda ini juga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Terdapat lima kesimpulan kami atas 2 Ranperda reklamasi tersebut, antara lain:
1. Dua Ranperda tersebut mengabaikan syarat partisipasi masyarakat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dan membuka akses yang mudah terhadap dokumen Ranperda.
2. Adanya pelanggaran terhadap UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana hak-hak masyarakat nelayan tradisional tidak dilindungi dalam Raperda tersebut, terlebih kepada kelompok rentan lainnya yang akan terdampak seperti perempuan nelayan dan pesisir yang tidak dipenuhi hak-haknya.
3. Dua Ranperda tersebut merupakan rancangan peraturan yang ‘buta gender‘ dan tidak memperhatikan situasi khusus perempuan di pesisir Teluk Jakarta, sehingga melanggar Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
4. Dua Ranperda tersebut juga tidak mengindahkan adanya UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Ihwal tersebut terlihat dari nihilnya dasar pertimbangan hukum atas UU tersebut dan orientasi daratannya yang tidak mendasarkan kepada perspektif sebagai negara kepulauan dan kelautan.
5. Jika Ranperda sudah mengintegrasikan KLHS, prinsip pembangunan berkelanjutan wajib menjadi dasar Ranperda tersebut, bukan hanya sekedar menjadi dokumen formalitas.
Atas nama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke-Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia-Solidaritas Perempuan-Lembaga Bantuan Hukum Jakarta-Indonesia Center for Environmental Law-Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan-Koalisi Perempuan Indonesia-Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
M. Ramli (FKN Muara Angke), 087877364691
Muhammad Taher (KNTI Jakarta), 0877 8200 0723
Marthin Hadiwinata (DPP KNTI) 0812 860 30 453
Arieska Kurniawaty, (SP), 081280564651
Nunung (KPI), 085717232669
Rayhan Dudayev (ICEL) 0856 9560 1992
Tigor (LBH Jakarta), 081287296684
Moestaqiem Dahlan (Walhi), 081314456798
Farid (KIARA), 085717337640
Busyra (PBH Dompet Dhuafa), 085375904107
[divider]
[1] Pasal 1 angka 28 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
[2] Lampiran X PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pada angka 20. menyebutkan Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta,
Banten, dan Jawa Barat) (I/A/1).
[3] Lihat Pasal 8 ayat (1) huruf a, c, Ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007
[4] Pasal 15 ayat (1) UU 32 Tahun 2009
[5] Ahli Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia
[6] ahli kelautan yang juga Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB)
[7] Andri G.Wibisana, Elemen-elemen Pembangungan Berkelanjutan: Keadilan Intra dan Antar Generasi, hal. 14